Yogi menoleh, melihat ke arah wanita yang duduk di sebelahnya yang nampak terlihat sedang kesal. Dia kembali fokus dengan kemudinya, tetapi kedua sudut bibirnya melengkung membentuk senyum tipis.
"Kenapa wajahmu seperti itu?" tanyanya.
Maudy menoleh, "Kenapa dengan wajahku?"
Bukan menjawab, wanita itu malah balik bertnya membuat Yogi terkekeh pelan.
Maudy mengernyitkan kedua alisnya, masih dengan ekspresi kesal. Matanya menyipit menatap wajah Yogi dari samping.
"Tunggu. Kenapa tadi kau ada di sana? Apa kau sedang mengikutiku?" selidik Maudy.
Yogi menoleh, lalu mengangkat kedua bahunya tak acuh.
"Hanya kebetulan saja," jawabnya datar.
"Aku melihatmu bersama Zidane. Apa yang sedang kau rencanakan sebenarnya?" tanya Yogi beberapa saat setelah terdiam, fokus dengan kemudi mobilnya.
"Itu ... bukan urusanmu!" jawab Maudy ketus.
Yogi terkekeh pelan. Dia menoleh, melihat Maudy dengan tatapan tajam.
"Jangan coba-cob
Annisa tak mau beranjak dari tempatnya. Dia terus menangisi makam sang ayah yang baru saja selesai dikuburkan.Bahkan walau derasnya hujan mengguyur seluruh tubuhnya, Annisa tidak peduli. Dia belum bisa ikhlas menerima kepergian papanya yang begitu sangat tiba-tiba.Hatinya sangat sakit dan terluka, kini dia tidak memiliki siapa pun lagi. Satu-satunya orang yang begitu berarti dalam hidupnya telah pergi untuk selamanya."Sayang, ayo kita pulang." Zidane memayungi tubuh Annisa agar tidak kehujanan.Zidane berjongkok, merangkul bahu Annisa mengajaknya untuk pergi dari sana, tetapi istrinya itu menolak ajakannya."Kamu pulang duluan saja. Aku masih ingin di sini," ucap Annisa lirih. Suaranya serak akibat menangis.Zidane menghela napas, sendu matanya menatap istrinya yang begitu rapuh dan terluka."Aku mengerti perasaanmu saat ini," ucap Zidane."Tidak. Kau tidak mengerti perasaanku. Tidak ada yang mengerti apa yang aku rasakan sa
Setelah turun dari mobilnya, seorang wanita memakai kacamata hitam dan menjadikan kerudung sebagai penutup wajah agar orang-orang di sekitar tidak mengenalinya. Dia berjalan tergesa memasuki sebuah restoran ternama menuju ruangan private yang sudah dipesankan oleh seseorang yang mengajaknya bertemu.Wanita itu menghela napas, dia melepas kacamata dan kerudungnya begitu sudah sampai di tempat tujuan. Dia mendudukkan tubuhnya di kursi tepat di hadapan seorang pria paruh baya yang sudah datang lebih awal."Kenapa kau ingin bertemu denganku sekarang?" tanya Sarah.Ya, wanita paruh baya itu ialah Sarah, dan pria yang ditemuinya itu tak lain ialah Hari."Kau tahu ini sangat berbahaya, orang akan mencurigai kita," ucap Sarah.Nampaknya wanita paruh baya itu sedang kesal karena Hari memaksa ingin bertemu di saat situasi dan kondisi yang tidak memungkinkan.Hari tersenyum tipis, tak acuh dengan kekesalan yang ditunjukkan oleh wanita yang duduk di had
Kedua tangan Zidane mengepal erat, rahangnya mengeras disertai tatapan elang yang begitu tajam menatap layar monitor yang memperlihatkan kejahatan seseorang yang dia kenal terhadap Reza."Ini." Dokter Raka menyerahkan amplop berwarna cokelat kepada Zidane. "Semua itu bisa kau serahkan kepada kepolisian untuk dijadikan bukti," sambungnya.Zidane menerima amplop tersebut, lalu memeriksanya. Di sana terdapat hasil laporan dari laboratorium mengenai obat palsu yang dikonsumsi oleh Reza dan larutan obat berbahaya yang ditemukan di ruang rawat Reza sebelum pria paruh baya itu dinyatakan meninggal dunia.Dokter Raka juga menyerahkan flashdisk berisi rekaman yang sempat Reza rekam dan dia titipkan kepada dokter Reza untuk berjaga-jaga juga rekaman cctv aksi kejahatan yang dilakukan oleh Hari."Sebelumnya, Pak Reza pernah meminta tolong kepada saya untuk memasang cctv di ruang rawatnya beberapa hari sebelum kesehatan beliau kritis kemudian dinyatakan meninggal dun
Kedua alis Annisa mengerut dengan pandangan tajam menatap wajah Zidane. Dia mencoba untuk mencerna maksud perkataan suaminya baru saja."Apa maksudmu? Siapa yang ingin menguasai perusahaan?" tanyanya menyelidik."Aku baru saja mendengar kabar saat ini Bu Sarah dan Pak Hari sedang mempersiapkan rapat dengan para direksi mengenai kepemimpinan perusahaan," jelas Zidane."Pak Hari yang akan menggantikan posisi papamu karena dia memiliki saham terbesar di perusahaan setelah digabungkan dengan saham milik Bu Sarah," sambungnya lagi."Apa?!" pekik Annisa.Kedua bola matanya membulat karena terkejut dengan berita yang baru saja dikatakan oleh Zidane."Kenapa bisa mereka?" tanyanya dengan ekspresi tak percaya.Zidane mengeluarkan amplop yang dia dapatkan dari Dokter Raka, kemudian memberikannya kepada Annisa.Meski bingung, gadis itu mengambil benda yang suaminya berikan, perlahan dia membuka dan melihat isi di dalamnya.Annisa t
Zidane menghela napas, dia tahu istrinya sedang emosi oleh karena itu dia tetap tenang menghadapinya agar tidak menciptakan sebuah kesalahpahaman."Sayang, tenang.""Bagaimana aku bisa tenang kalau aku tahu penyebab meninggalnya Papa? Kamu tidak akan mengerti karena kamu tidak ada dalam posisi seperti aku sekarang," ujar Annisa, geram.Tatapan matanya masih menyiratkan kebencian. Annisa memalingkan wajah ke arah lain, lalu berjalan menjauhi Zidane dan duduk di tepi samping ranjang."Mungkin aku tidak mengerti perasaan kamu sekarang, tapi Papa Reza sudah aku anggap seperti papaku sendiri. Bagaimana mungkin aku akan diam saja membiarkan semua ini terjadi? Membiarkan pelaku berkeliaran bebas begitu saja?"Seketika itu Annisa terdiam, amarahnya sedikit mereda. Dia menghela napas panjang, tertunduk sambil menutup wajah dengan kedua telapak tangannya.Zidane duduk di samping Annisa, mengusap lembut bahu gadis itu penuh rasa sayang."Kita pa
Dering alarm berbunyi nyaring memenuhi seluruh ruang kamar, membangunkan Annisa dari lelapnya tidur semalam. Dia mengejapkan mata, mengumpulkan puing-puing seluruh kesadarannya.Annisa beranjak bangun lantas segera mematikan alarm yang berbunyi tepat pukul lima pagi. Gadis itu menoleh kepada suaminya yang masih terlelap dalam mimpi.Lamat manik berwarna cokelat itu menatap wajah sang suami yang nampak sangat tampan walau sedang tertidur. Tanpa sadar, bibirnya mengembang membentuk senyum tipis. Wajahnya pun mendadak merona kala otaknya mengingat kejadian semalam.Refleks, Annisa menyentuh bibirnya sendiri yang sudah tidak perawan lagi karena telah disentuh oleh suaminya. Annisa segera memalingkan wajah, menarik napas untuk mengendalikan jantungnya yang berdenyut tidak karuan."Kenapa pagi-pagi begini kamu melamun, Sayang?"Suara itu menyadarkan Annisa dari lamunannya. Dia refleks berbalik untuk melihat ke arah sumber suara. Namun, dia hanya berani m
Selepas selesai mengucapkan kalimat salam disertai memutar kepala ke arah kiri, Annisa langsung merangkak mendekati Zidane yang duduk tepat di depannya. Dia mengulurkan tangan kanan, lalu menempelkan bibirnya pada punggung telapak tangan suaminya itu.Zidane tersenyum tipis saat kembali merasakan sentuhan bibir sang istri di tangannya setiap kali selepas salat berjamaah. Tangan kirinya yang bebas langsung terangkat mengusap lembut puncak kepala yang masih berbalut dengan kain mukena, lalu mendaratkan sebuah kecupan hangat di sana."Aku selalu berdoa agar hubungan kita langgeng sampai maut memisahkan," ucap Zidane bersungguh-sungguh.Annisa terpaku tanpa berucap sepatah kata pun. Pandangannya cukup lama menatap manik suaminya yang nampak begitu teduh setiap kali sedang menatapnya.Tiba-tiba saja sebuah rasa bersalah berselimut di dalam dada saat tersadar dirinya belum melakukan tugasnya sebagai seorang istri. Dia merasa sangat bersalah karena belum bisa me
Annisa merenggangkan tubuhnya dari dekapan Zidane. Menatap seraut wajah tampan itu dengan manik yang berbinar teduh. Detik berikutnya dia menghela napas panjang."Aku tidak tahu harus berkata apa kepadamu, Zidane," ucapnya lirih."Kau begitu tulus, tetapi aku masih belum bisa membalasnya. Kau bahkan tahu selama ini aku hanya memanfaatkanmu," ucapnya lagi.Zidane tersenyum sambil menatap manik cantik sang istri, lalu mengusap puncak kepala gadisnya yang masih mengenakan kain mukena."Aku tidak merasa sedang dimanfaatkan," jawab Zidane lembut. "Aku justru malah menikmatinya," sambungnya lagi.Pandangan suami istri itu beradu cukup lama, seolah sedang menyelami kedalaman isi dalam hati masing-masing."Apa kamu tidak akan melepaskan kain mukenamu?" tanya Zidane memecah keheningan."Ah, ya." Annisa tersadar dari lamunannya. Dia memundur, sedikit menjauh dari Zidane sambil mengalihkan pandangannya.Pria beralis tebal itu hanya tersen