Cakra kini benar-benar telah berada di rumah pak RT. Rumah petinggi lingkungan itu memang lebih besar dan megah dari yang lain. Ia diminta tidur di kamar anak sulung yang sedang kuliah di luar kota. Ia terlentang sambil melainkan gawai di tangan, bingung hendak menjawab apa atas pertanyaan Mega tadi.
[Kenapa tidak dijawab?]
[Maaf, mega. Kayaknya minggu ini aku belum bisa. Sekarang aku di nawangan,]
tak lama, centang ganda pun berubah warna. Mega telah membacanya, dan tulisan mengetik pun terlihat. Dalam hati, Cakra penasaran dengan jawaban yang akan segera muncul dari mantan istrinya itu. Mantan istri yang hingga kini masih kerap mengganggu tidurnya. Bahkan cintanya, masih melekat kuat di dasar hati.
[Ngapain ke sana?]
Ia merasa ada kecewa atau apalah, dari balik tulisan bernada pertanyaan itu. Hal itu, semakin menguatkan hatinya, bahwa mega pun hingga kini masih memiliki rasa yang sama. Hanya saja perempuan itu muda
"Langsung pulang sekarang, Mas?" Tanyanya ragu, sambil bergegas memutar kuda besi yang terparkir sendiri."Iya, mas. Kita langsung pulang saja. Sepertinya ini sudah siang, sebentar lagi saya harus kembali ke Pacitan,""Iya, mas. Mari kalau begitu,"Langkah Cakra yang akan menaiki motor itu terhenti karena seseorang yang tadi kembali mendekati. Ia terhenyak, rupanya pak moko belum pergi dari tempat itu."Bapak?""Apa benar? Kamu berteman dengan pak Soni?" Pak moko mencecar dengan tatapan tajam. Seakan masih belum percaya dengan penjelasan tadi. Mungkin saja, pria paruh baya itu penasaran, mengapa seorang Cakra yang selalu direndahkan itu bisa kenal dengan Soni."Benar, pak. Kami teman seperjuangan waktu kuliah dulu. Hanya saja kami berbeda jurusan," Jelas Cakra mengada-ada. Tetap berusaha untuk menutupi jati dirinya dari siapapun, termasuk pak moko dan keluarganya. Kecuali seorang saja, yaitu Mega.
Motor terus melaju, hingga beberapa menit kemudian berhenti di depan pintu pagar tertutup. Ia turun dari motor dan memencet bel. Tak lama, seorang perempuan yang ia taksir sebagai art itu membuka pintu dan memintanya masuk.Setelahnya, ia tertegun atas kedatangan seorang perempuan yang dirindukan. Apalagi ketika menatap mata sayu itu."Mega?" Lirihnya, matanya tak berkedip saat melihat sosok kian mendekat. Hingga akhirnya ikut duduk di sofa yang berhadapan dengan Cakra.Ia melihat, badan itu lebih kurus dibanding dengan waktu itu. Hanya satu yang hingga kini tidak berubah. Wajah cantiknya."Apa kabar?" Tanya Cakra ragu. Netranya pun ragu untuk berlama-lama menatap wajah itu. Ia memilih untuk mengalihkan pandangan."Baik," Mega menjawab singkat. Perempuan itu memilih untuk kembali menundukkan kepala.Hingga beberapa saat mereka berada dalam keheningan. Sampai kebisuannya terpecah ketika ada pe
"Lintang!" Mega memekik. Perempuan itu sampai bangkit dari tempat duduknya."Diam kamu. Sudah, masuk ke kamar sana!" Perintahnya pada sang adik."Mbak sudah kena guna-guna laki-laki itu, kan?""Hati-hati kalau bicara!""Ada apa, ini?" Suasana mendadak hening. Semua mata tertuju pada seseorang yang baru saja masuk ke dalam rumah, melihat tak percaya pada ketiga orang di ruang tamu."Ibuk?" Mega dan adiknya bersamaan memanggil tak percaya pada sosok membelalak. Masih tak percaya dengan yang ia lihat.Bagaimana tidak? Menantu yang dulu sangat mereka benci itu, kini mendadak datang lagi. Apalagi melihat kondisinya kali ini, bukannya semakin terpuruk, tetapi sebaliknya. Itulah yang membuat bu moko menatap tajam ke arah cakra, memperhatikan penampilan dari atas ke bawah. Sama sekali tak menunjukkan kehidupan susahnya.Namun, bu moko segera menepis semua prasangka itu. Ia menggele
"Pak cakra, ternyata sudah ada di sini?" Itu suara Lidya, gadis mengenakan batik itu tiba-tiba menyusul duduk di depan cakra."Iya, lid. Kebetulan kamu kesini, aku mau minta tolong,""Apa?" Lidya bertanya antusias, matanya berbinar."Minta tolong buat nyarikan tas branded sama ponsel terbaru. Buat ibu dan adik perempuan Mega,"Lidya mengerjap, tak lantas menanggapi perkataan cakra barusan. Jauh di dasar hatinya, ada rasa kecewa. Entah perasaan apa? Ia bahkan tak memahami, perasaan aneh yang kerap mengganggu pikiran saat bersama dengan lelaki itu."Barang mahal?" Tanya Lidya sedikit bergumam. Gadis itu pasti paham, apa maksud cakra membelikan barang mahal itu pada mantan ibu mertua dan adik iparnya."Iya. Mereka memberikan syarat itu, kalo aku mau kembali sama mantan istriku," Jawab cakra.Jawaban itu, tentu saja membuat Lidya menggeleng tak percaya. Dalam hati ia merasa kas
"Cakra?" Seru pak moko dan istrinya, ketika melihat siapa yang datang. Apalagi diiringi dengan bisik-bisik para tamu."Itu bukannya mantan suami Mega yang miskin itu, ya? Ngapain dia datang lagi?" Begitulah suara yang terdengar dari beberapa orang."Maaf, pak. Buk. Saya kemari untuk mengantarkan ini," Ucapnya sambil menyerahkan bungkusan pada bu moko.Ia tersenyum miring, tak sabar melihat raut wajah suami istri itu ketika melihat apa isinya."Tas?" Suara bu moko bergumam lirih. Namun, cakra bisa mendengarnya dengan jelas. Terlihat wanita berdandan menor itu menatap suaminya dengan mata membulat.Diangkatnya tas itu dari dalam bungkus, lalu dipegang tinggi. Diamatinya dengan teliti, mungkin memastikan, barang itu asli atau palsu.Hingga tanpa sadar, beberapa orang kerabatnya mendekat. Juga dengan wajah tercengang."Kamu beli tas mahal itu?" Salah satu bertanya, membuat bu moko te
Tak menunggu lama, ia telah tiba di rumah makan miliknya. Dengan beberapa menu makanan dan minuman terhidang di atas meja. Melahap makanan, hingga tangannya berhenti karena gawai berdering. Nama Lidya nampak memenuhi layar cerahnya."Iya, Lidya?""Mas cakra di mana?""Aku makan di luar. Ada apa?""Buruan pulang, ya. Bapak di kos. Mau ketemu sama mas cakra, katanya," Suara dari ujung telepon itu sukses membuatnya membelalak."Bapak?" Tanyanya lagi. Masih belum percaya dengan yang didengar dari Lidya di sana."Iya, mas. Bapak. Mau ketemu sama mas, katanya," Suara Lidya lagi, kali ini lebih diperjelas dari sebelumnya."Eh. Iya, bentar dulu, ya. Aku, masih makan ini," Ia menjawab dengan suara kikuk.Dalam hati heran sendiri, untuk apa pak Damar itu datang ke kota? Apakah hanya untuk bertemu dengannya?"Ada apa, ya? Jangan-jangan .... " Ia menggeleng cepat, menepis pikir
Suara pak Damar seperti petir dan kilat, menyambar di tengah hari yang panas. Suaranya memekakkan telinga, juga membuat hati terasa kecil sekali. Anehnya, berhadapan dengan pria miskin itu, cakra tak mampu berkutik. Ia hanya bisa tersenyum getir. Senyum pahit yang sangat dipaksakan."Bapak titip ini, nak cakra." Tiba-tiba pria itu menaruh sesuatu dalam genggaman tangan cakra. Terasa keras benda padat, dengan permukaan halus.Liontin, ia membelalak ketika melihatnya, "apa ini, pak?" Tanyanya tak mengerti."Ini titipan dari ibuk, nak. Benda milik ibu satu-satunya, ia ingin memberikan ini pada laki-laki yang cocok melindungi Putri kesayangannya,"Deg!Cakra kaget? Tentu saja. Meski telah memiliki firasat tersebut, tetapi ia tak percaya jika kenyataannya akan seperti ini. Ia harus menerima sebuah benda berharga dari orangtua Lidya.Sementara di sisi lain, ia telah menerima syarat yang diajukan oleh pak moko.
Hari masih pagi. Masih berada di ujung jarum jam yang mengarah pada anhka enam. Ia sengaja duduk dulu di depan TV, sambil menyalakannya dan melihat asal."Mas!"Wajahnya menoleh, seperti suara Lidya berada di depan pintu rumahnya. Memang benar, gadis itu masuk tanpa diminta. Menaruh rantang susun di atas meja, tanpa duduk terlebih dahulu."Mas. Bapak ingin kejelasan segera," Ungkap Lidya tanpa basa-basi.Namun, cakra masih bergeming di tempatnya. Ia memasang wajah datar, enggan untuk menjawab. Hingga beberapa menit, hingga gadis itu jengah dan berhembus kesal."Mas!"Kali ini, baru cakra mau mengarahkan wajahnya pada Lidya yang nampak menahan marah."Kok malah diam, sih?""Memang aku harus apa?" Cakra menyerobot dengan suara cepat. Tatapan elangnya tajam berkilat-kilat. Kali ini Lidya yang bungkam, mungkin ada rasa takut dalam hatinya."Kenapa tiba-tiba bapakm