Mata hitam lebar Nadzifa melihat Farzan dan Bramasta bergantian. Tanpa diminta, gadis itu sudah duduk di kursi yang masih kosong di meja kedua pemuda itu berada. Dia mengibaskan rambut panjang yang terurai di depan bahu ke belakang.
“Nggak nyangka loh bisa ketemu lo lagi di sini,” ujar Nadzifa semringah.
Farzan tak menyangka gadis yang pernah ditolong dulu masih ingat dengan dirinya. Apalagi saat itu Nadzifa sedang mabuk berat. Ketika pulang pun ia masih hangover.
“Mbak tinggal di Jakarta?” tanya Farzan kemudian.
“Iya. Keluarga gue tinggal di sini, tapi gue sih tinggal di daerah Cikarang.” Nadzifa melambaikan tangan memanggil pelayan. Dia menambah lagi minuman beralkohol sama seperti sebelumnya.
“Eh, lo yang waktu pagi itu, ‘kan?” Pandangan Nadzifa beralih kepada Bramasta.
“Iya, Mbak.” Bram mengulurkan tangan memperkenalkan diri. “Bramasta, panggil aja Bram. Sahabatnya Farzan.”
Pemuda berkacamata itu mengerling kepada Farzan yang kembali menyeruput soft drink-nya.
“Oh, jadi nama lo Farzan ya?” Nadzifa manggut-manggut semringah.
“Panjangnya Farzan Harun, Mbak. Anak pengusaha terkenal,” terang Bram menepuk bangga pundak sahabatnya.
Raut wajah Nadzifa berubah seketika. Senyum lebar yang sejak tadi menghias wajahnya langsung memudar.
“Anak Sandy Harun?” gumamnya pelan.
Bramasta mengangguk cepat. “Betul banget, Mbak.”
“Adik Brandon Harun?” sambungnya merapatkan gigi. Tangan yang tadi berada di atas meja, perlahan turun ke bawah lalu mengepal erat di atas paha.
“Benar lagi Mbaknya,” sahut pemuda itu antusias.
Farzan menendang kaki Bram sebagai bentuk protes. Dia tidak suka jika dirinya dikait-kaitkan dengan Sandy dan Brandon. Pemuda itu hanya ingin dikenal sebagai orang biasa, bukan salah satu pewaris tahta The Harun’s Group.
“Mbak ambil S2 ya di Zürich waktu itu?” Bram mengajukan pertanyaan sambil menyangga dagu di telapak tangan.
Farzan sejak tadi diam, memilih mendengar percakapan kedua orang ini.
“Enggak,” sahut Nadzifa singkat.
“Trus?”
“Cuma liburan aja.” Nadzifa mendadak sedikit ketus.
Bram berdecak sambil geleng-geleng kepala. “Luar biasa loh jalan-jalan ke luar negeri sendirian,” pujinya.
Gadis itu mengibaskan tangan berusaha terlihat santai sekarang. “Sebenarnya gue kabur sih waktu itu.”
“Kabur?” Bram masih mengajukan pertanyaan. Dia mulai tertarik dengan Nadzifa. Ah, lebih tepatnya sejak pertama kali berjumpa, pemuda itu sudah kagum dengan kecantikannya.
“Kabur dari pertanyaan kapan nikah,” desah Nadzifa bersandar ke punggung kursi.
Bram menahan tawa mendengar jawaban gadis itu. “Kok bisa, Mbak?”
Gadis itu menggerakkan jari telunjuk, agar Bram mendekat sedikit. “Tebak umur gue berapa sekarang?”
“Ehmm ….” Bram membenarkan posisi frame kacamata yang sedikit turun sebelum menebak. “Kayaknya dua puluh lima tahun deh.”
Nadzifa menggoyangkan jari telunjuk ke kiri dan kanan seiringan dengan kepala menggeleng.
“Tiga puluh lima.” Kali ini Farzan bersuara setelah melirik sekilas kepada Nadzifa. Dia kembali fokus dengan soft drink yang baru saja diantarkan oleh pelayan.
“Sialan! Emang gue setua itu?” sungut Nadzifa keberatan.
Gadis itu mencolek bahu pelayan yang baru saja mengantarkan soft drink untuk Farzan.
“Bawa bir dua gelas lagi, Mas,” pintanya kepada pelayan.
Farzan dan Bram sama-sama melongo mendengar perkataan Nadzifa barusan. Mereka tidak menyangka gadis ini kuat minum alkohol.
“Mbak mau mabok lagi?” Bram tercengang. “Kalau nggak salah waktu itu Farzan cerita, Mbak juga mabok berat.”
Nadzifa tertawa menanggapi komentar Bram. “Habis kepala gue mumet. Tiap hari ditanyain tentang jodoh. Belum lagi disuruh kenalan sama cowok-cowok yang disodorkan sama Nyokap.”
Mata elang Farzan kembali beralih kepada Nadzifa. Dia mematut gadis itu beberapa saat.
“Makanya perbanyak ibadah, Mbak. Kalau pusing ngadu sama Tuhan, bukan banyakin minum alkohol.” Pemuda itu melipat kedua tangan di depan dada. “Alkohol bukan solusi atas permasalahan di dunia.”
“Mulai deh, mulai,” ledek Bram geleng-geleng kepala.
Nadzifa mendengkus dengan rahang mengeras. “Beda banget ya kakak sama adek,” celetuknya membuat kedua pemuda itu kembali bengong.
“Maksud Mbak apa?” Kening Farzan berkerut dalam. “Kenapa bawa-bawa kakak saya?”
Gadis itu mengikat rambut yang tadi terurai. Dia menarik napas singkat, kemudian tersenyum aneh.
“Ya maksud gue, semua orang tahu gimana masa lalu Brandon Harun. Cassanova dan udah pasti dekat dengan alkohol juga dong,” jelas Nadzifa terlihat santai.
“Mbak jangan sok kenal dengan kakak saya. Dia sama sekali nggak pernah nyentuh alkohol dari dulu,” sanggah Farzan keberatan. Dia mulai terganggu dengan kehadiran gadis ini sekarang.
Nadzifa memukul mulutnya pelan. “Oops, sorry. Ternyata gue termakan gosip yang beredar ya? Tapi bagian Cassanova-nya beneran, ‘kan?”
“Eh, ini kenapa jadi bahas Mas Brandon sih? Tadi ‘kan bahas masalah Mbak,” sela Bram menengahi. Dia tahu persis Farzan paling tidak suka jika ada yang menjelek-jelekkan Brandon.
Farzan mengambil ponsel dari atas meja, lalu mengantonginya lagi.
“Mau ke mana, Zan?” tanya Bram panik melihat Farzan berdiri.
“Pulang,” jawabnya singkat.
“Yah, jangan dong. Baru mau seru-seruan,” kata Bram dengan tatapan memohon.
Nadzifa menjadi sungkan, karena sudah mengusik ketenangan Farzan dengan celetukannya tadi.
“Sorry, Farzan. Gue nggak bermaksud jelekin kakak lo. Berarti gue salah paham dong selama ini, gara-gara desas-desus yang beredar,” ucap Nadzifa tak ingin pemuda itu salah paham.
“Ganti topik deh ya?” sambungnya lagi, “gue lagi butuh teman ngobrol nih sekarang. Daripada lari ke alkohol lagi.”
Farzan menarik napas panjang berusaha menenangkan diri. Dia bisa melihat keseriusan dari cara Nadzifa berujar. Pemuda itu duduk lagi di kursi yang tadi.
“Nah gitu dong. Jadinya ‘kan sama-sama enak,” lontar Bram senang.
Nadzifa memegang lengan Farzan dengan seulas senyum. “Mau maafin gue, ‘kan? Masa baru temenan udah berantem?”
Farzan mengangguk singkat, setelah mengerling kepada Nadzifa. “Apapun yang Mbak dengar tentang keluarga saya, itu semua nggak benar. Mengenai Mas Brandon, semua orang punya masa lalu. Yang penting sekarang dia udah berubah,” tuturnya lagi.
Gadis itu tersenyum miring. “Sekali lagi maaf ya? Gue benar-benar kemakan rumor.”
Pemuda berahang tegas itu bingung kenapa Nadzifa bisa tahu masa lalu Brandon yang seorang Cassanova? Jika dilihat-lihat, gadis ini berusia sekitar awal tiga puluhan. Bisa jadi ada keluarganya yang mengenal Brandon. Sesaat kemudian dia memilih untuk melupakannya.
“So, sekarang kita bisa berteman, ‘kan?” Nadzifa mengulurkan lagi tangannya.
Dengan cepat Bram menyambut uluran tangan Nadzifa. “Jelas, Mbak. Siapa sih yang nggak mau temenan sama cewek secakep Mbak.”
“Thanks.” Nadzifa tersenyum menanggapi pujian Bram barusan.
“Lo mau nggak temenan sama gue?” Dia mengalihkan pandangan kepada Farzan. “Lo udah nolongin gue loh waktu itu. Nggak kebayang kalau lo nggak ada.”
Farzan kembali menyesap soft drink yang kini tinggal setengah.
“Farzan orangnya nggak gampang bergaul dengan orang lain, Mbak. Lebih tepatnya selektif banget pilih teman.” Bram memberi komentar. “Tapi nanti kalau udah lolos seleksi, bakalan enak kok anaknya buat dijadikan teman.”
“Oya?” Nadzifa melirik Farzan tersenyum di sudut bibir. “Kok gue jadi tertantang ya?!”
“Boleh minta nomor telepon lo nggak?” Nadzifa menyerahkan gadget pipih miliknya kepada Farzan. “Walau kaku, tapi kayaknya lo enak dijadikan teman deh.”
“Banget, Mbak.” Bram mengambil ponsel tanpa disuruh. Dia langsung menyimpan nomor teleponnya dan Farzan.
“Done. Nomor saya dan Farzan,” gumam Bram kembali menyerahkan handphone.
“Thanks, Bram.”
“Jadi gimana? Mbak disuruh nikah sama orang tua?” Rupanya Bram masih kepo dengan Nadzifa.
Gadis itu mengerling kepada Farzan yang sibuk dengan ponselnya. Dia kembali tersenyum singkat setelah mengamati pemuda itu beberapa saat.
“Biasalah. Karena umur gue udah tiga puluh dua jadinya disuruh nikah cepetan.” Nadzifa menopang dagu di telapak tangan. Tilikan mata hitamnya beralih kepada Farzan. “Pusing gue.”
“Pusing kenapa? Mbak ‘kan cantik. Pasti banyak yang mau.”
Percakapan sekarang didominasi oleh Bramasta dan Nadzifa. Sementara Farzan memilih menyibukkan diri dengan bermain ponsel.
Nadzifa tertawa aneh. Sesaat kemudian dia mendesah pelan. “Tapi gue males kenal sama cowok yang cuma lihat fisik aja.”
Gadis itu meneguk bir yang baru saja diantarkan pelayan. “Nggak tahu sih, sejak dulu kayak ngeri gitu kalau jalin hubungan sama cowok. Lebih enak temenan.”
“Trauma sama cowok ya?” tebak Bram dengan sebelah alis naik ke atas.
Tilikan netra hitam Nadzifa berpindah kepada Farzan yang sudah mengalihkan perhatian melihat band tak jauh dari sana. Pemuda itu mulai bosan dengan topik perbincangan.
“Bukan gue, tapi tante gue sih.” Gadis itu tersenyum kecut.
“Trus Mbak jadi ikut-ikutan gitu?”
Bibir berisi penuh itu melengkung ke bawah ketika kepalanya mengangguk pelan.
“Sorry, gue permisi dulu. Jam malam udah habis,” sela Farzan berdiri lalu memasangkan jaket kulit ke tubuh tingginya.
“Baru jam sembilan, Zan. Masih sore ini,” balas Bram keberatan.
“Gue tadi janji pulang sebelum jam sepuluh sama Kak Arini,” jelas Farzan memasangkan resleting jaket.
Bram jadi ikutan berdiri. Dia tidak mungkin membiarkan Farzan pulang sendiri, karena mereka datang bersamaan.
“Maaf, Mbak. Saya ikutan pamit juga ya. Nanti chat aja kalau butuh teman ngobrol,” pamit Bramasta dengan wajah sungkan.
Nadzifa tertawa pelan sambil mengibaskan tangan. “Santai aja. Ntar gue hubungi deh.”
“Permisi dulu, Mbak.” Farzan melirik kepada Nadzifa yang masih duduk di kursinya.
“Oke. See you later, Farzan, Bram,”sahutnya melambaikan tangan.
Nadzifa mengawasi Farzan dan Bram sampai menghilang di ujung restoran setelah membayar pesanan mereka. Dia kembali melihat ponsel dan membuka daftar kontak.
“Farzan Harun,” bisiknya pelan. Senyum terurai lagi di sudut bibir. “Akhirnya gue punya akses masuk bertemu dengan lo secara langsung, Brandon.”
Bersambung....
Tiga bulan kemudianFarzan menyusun kardus berisikan barang-barangnya di dekat dinding. Dia menghitung jumlah, memastikan tidak ada yang tertinggal ketika dibawa nanti. Sebenarnya tidak banyak yang ia bawa dari rumah, hanya tiga kardus besar dan dua kardus kecil. Tak lupa juga satu koper berukuran besar berisikan pakaian.“Yakin mau pindah, Dek?” tanya Arini duduk di pinggir tempat tidur Farzan.“Iya, Kak. Capek kalau bolak balik Jakarta-Cikarang setiap hari. Apalagi kalau harus masuk hari Sabtu. Nggak ada waktu istirahat,” jawab Farzan seraya memasukkan peritilan barang yang akan diangkut ke dalam ransel.Benarkah itu yang menjadi alasan sebenarnya Farzan memutuskan pindah ke Cikarang dan tinggal di apartemen? Tentu tidak pemirsa. Pemuda itu tidak ingin terus-terusan bertemu dengan Arini, takut khilaf. Ditambah lagi tidak kuat melihatnya bermesraan dengan Brandon. (Duh, sabar yaa, Zan.)“Trus siapa ya
Suara alarm terdengar nyaring memekakkan telinga ketika subuh menjelang. Jika saja di sini adalah pedesaan, maka akan terdengar bunyi ayam jantan berkokok. Sayangnya kamar ini berada di gedung apartemen yang tinggi, sehingga tidak ada ayam jantan yang bertengger hanya sekedar untuk membangunkan penduduk. Tangan yang cukup berotot itu bergerak meraba atas nakas, tempat ponsel berada. Sepasang netra elang berwarna hitam perlahan terbuka, mencari tahu pukul berapa sekarang. Ah, seharusnya tidak begitu juga karena dia tahu persis jam berapa alarm diterapkan. Farzan langsung mengubah posisi menjadi duduk, karena sebentar lagi waktu subuh tiba. Dengan masih terkantuk, ia berusaha berdiri kemudian melangkah menuju kamar mandi untuk menggosok gigi. “Kalau mau salat Subuh jangan lupa gosok gigi, Dek. Mau ketemu sama manusia aja kita nggak pede kalau belum gosok gigi, apalagi ketemu sama Allah.” Nasihat yang kerap dilontarkan Arini, selalu terpatri di dalam ingatannya.
Nadzifa dan Farzan berdiri di depan flat masing-masing sebelum berpisah. Kucing kesayangan gadis itu sudah dikuburkan di tanah kosong belakang gedung apartemen. Jangan ditanyakan lagi bagaimana sedihnya ia saat kucing jenis persia himalaya tersebut menjelang dikubur.“Thanks banget ya udah bantuin,” ucap Nadzifa tersenyum singkat, “jangan tolak bantuan gue. Habis ganti pakaian, gue ke flat lo.”Awalnya Farzan keberatan, tapi Nadzifa kekeh untuk membantu. Gadis itu merasa bersalah, karena sudah mengganggunya pagi-pagi.“Oke. Nanti pencet bel aja, jangan ketuk-ketuk. Berisik,” tanggap Farzan.Gadis berambut panjang itu tertawa singkat. “Iya, bawel.”“Astaga, lo bener-bener kayak Nyokap gue deh,” sambungnya geleng-geleng kepala.Setelah itu Farzan memasuki flat untuk berganti pakaian. Ujung kaki celana katun bermotif kotak yang dikenakan terkena tana
Farzan mencari pakaian yang akan dikenakan dari lemari. Dia baru saja mandi selepas kembali dari bekerja. Hari ini ia pulang terlambat, karena ada meeting dadakan menjelang waktu kerja berakhir.Ketika akan mengenakan baju kaus, ponselnya berdering. Dengan semangat pemuda itu melangkah menuju nakas dan mengambil handphone dari sana. Senyum terurai di paras tampannya ketika melihat nama yang tertera di layar ponsel. Apalagi si penelepon menggunakan video call. Farzan segera memasang baju kaus, sehingga menutupi tubuh berototnya.“Assalamualaikum, Kakak Cantik,” sapanya setelah wajah cantik Arini terpampang di ponsel.Pemuda itu segera beranjak menuju meja makan, lalu meletakkan ponsel di sana. Dia menarik kursi dan duduk di sana.“Waalaikumsalam, Dek,” balas Arini dengan wajah mengerucut, “kamu kok jarang telepon sekarang?”Kening Farzan mengernyit saat mengingat kapan
Satu tahun kemudian“Farzan,” teriak suara nyaring dari luar flat. Tak hanya itu ketukan pintu bertubi-tubi juga terdengar membuat pekak telinga Farzan.Desahan pelan keluar dari sela hidung pria bertubuh tinggi itu. Dia melirik malas ke arah pintu yang masih tertutup rapat. Farzan menghentikan aktivitasnya menyiapkan keperluan untuk dibawa ke Menteng Dalam. Hari ini ia akan menginap di rumah keluarga Harun.Setiap kali mendengar suara itu, Farzan selalu seperti ini. Ketenangannya selama satu tahun tinggal di apartemen menjadi terusik karena kehadiran Nadzifa.Gadis itu sering bertandang ke flat hampir setiap hari. Dia juga kerap masuk tanpa izin dari Farzan. Parahnya lagi, Nadzifa menjadikan flat-nya sebagai tempat menumpahkan keluh kesah seraya meneguk bir.“Farzaaaaan,” panggilnya lagi meniru suara Tarzan.“Astaghfirullah,” bisik Farzan sambil mengelu
Sorot mata Farzan menegang seketika. Begitu juga dengan tubuhnya. Wajah pemuda itu berubah pasi, karena sang Kakak telah mengetahui apa yang terjadi antara dirinya dan Arini dua tahun yang lalu.Bayangan bagaimana panasnya mereka berciuman saat itu kembali terlintas. Farzan sangat menikmati setiap sentuhan Arini di bibirnya. Masih terasa bagaimana manis bibir wanita itu dan juga aroma segar yang terendus ketika mereka berciuman.Ketika itulah ia menyadari perasaan yang seharusnya tidak pernah ada, muncul di hatinya. Farzan mengakui bahwa ia menyayangi Arini bukan hanya sebatas Kakak, tapi sebagai seorang wanita. Jika saja wanita itu bukan istri dari Brandon, kakaknya, maka ia pasti akan merebutnya.“Apa yang kalian berdua lakukan dua tahun yang lalu?” ulang Brandon lagi menyentakkan Farzan.Suasana menjadi hening ketika Brandon menunggu jawaban Farzan. Hanya terdengar tarikan napas berat dari sela hidung mancung pemuda itu. Mata elang itu terp
Tiga hari kemudianFarzan pulang cepat hari ini. Tidak banyak pekerjaan yang dilakukan, sehingga bisa keluar dari pabrik tepat pukul empat sore.Seperti biasa, derap langkahnya begitu cepat ketika berjalan di lobi apartemen menuju lift. Tak perlu menunggu lama, kotak besi itu terbuka sehingga ia bisa memasukinya. Tubuh tinggi Farzan bersandar di dinding lift.Sorot mata elangnya menatap nanar pantulan diri di pintu lift yang kini tertutup. Tidak ada siapa-siapa di dalam, hanya dirinya yang tampak tidak bersemangat sama sekali.Semenjak mendapat ultimatum dari Brandon, Farzan tidak berhenti memikirkan solusi agar bisa mengatasi masalah yang dihadapi. Hingga saat ini ia belum menemukan jalan keluar.Begitu pintu lift terbuka, Farzan langsung melangkah ke luar. Dia berjalan dengan kepala tertunduk menuju flat. Lagi-lagi pandangannya terpaku ke arah flat Nadzifa yang masih tertutup rapat. Tiga hari ini, gadis itu tida
Dua bulan menjelang pernikahan AlyssaHari ini adalah acara lamaran Alyssa, keponakan Farzan yang paling kecil. Gadis itu memutuskan menikah di usia muda yaitu dua puluh tahun. Dia memiliki kisah cinta yang unik. Bayangkan Al dilamar oleh calon suaminya ketika masih kelas dua SMA.Semakin mendekati hari pernikahan Alyssa, membuat Farzan uring-uringan. Sepuluh bulan ini dilalui dengan penuh perjuangan. Berbagai cara dilakukan untuk mencari wanita yang cocok dijadikan calon istri, tapi hasilnya selalu nihil.Mengenai Nadzifa, gadis itu menghilang bagai ditelan bumi. Tidak ada kabar apa-apa darinya sejak sepuluh bulan terakhir. Dia juga tidak muncul di flat yang biasa ditempati.Farzan mulai khawatir dengan Nadzifa, karena kondisinya yang masih labil. Meski berusia lebih tua sembilan tahun darinya, pola pikir gadis itu masih belum matang. Cenderung kekanak-kanakan. Itulah yang membuatnya cemas.“Mungkin nggak sih Mbak N