Share

Tindakan Nekat Nadzifa

Satu tahun kemudian

“Farzan,” teriak suara nyaring dari luar flat. Tak hanya itu ketukan pintu bertubi-tubi juga terdengar membuat pekak telinga Farzan.

Desahan pelan keluar dari sela hidung pria bertubuh tinggi itu. Dia melirik malas ke arah pintu yang masih tertutup rapat. Farzan menghentikan aktivitasnya menyiapkan keperluan untuk dibawa ke Menteng Dalam. Hari ini ia akan menginap di rumah keluarga Harun.

Setiap kali mendengar suara itu, Farzan selalu seperti ini. Ketenangannya selama satu tahun tinggal di apartemen menjadi terusik karena kehadiran Nadzifa.

Gadis itu sering bertandang ke flat hampir setiap hari. Dia juga kerap masuk tanpa izin dari Farzan. Parahnya lagi, Nadzifa menjadikan flat-nya sebagai tempat menumpahkan keluh kesah seraya meneguk bir.

“Farzaaaaan,” panggilnya lagi meniru suara Tarzan.

Astaghfirullah,” bisik Farzan sambil mengelus dada sendiri.

Seperti itulah reaksinya ketika mendengar teriakan ala Tarzan dari Nadzifa. Beruntung gadis itu hanya tetangga seberang flat, bukan gebetan atau pacarnya.

“Iya sebentar, Mbak,” sahut Farzan enggan.

Dia melangkah gontai menuju pintu. Begitu pintu terbuka, mata elang Farzan menangkap sosok yang sedang nyengir kuda sembari memperlihatkan kantong berisi makanan.

“Waktunya makan siang. Lo pasti belum makan. Nih gue beliin mie goreng Aceh. Enak deh,” celoteh Nadzifa memasuki flat.

“Aku rencananya mau makan siang di rumah, Mbak,” sahut Farzan mengekor dari belakang.

Sesuai dengan permintaan dari Nadzifa, Farzan diminta untuk tidak memanggil dirinya sendiri dengan sebutan ‘saya’. Katanya terlalu formal dan menggelikan. Ck!

Nadzifa melirik dengan ekor mata sambil berdecak. “Ya udah sih, makan lagi aja entar. Lagian Cikarang – Jakarta ‘kan lumayan jauh. Pasti lo lapar lagi entar.”

“Tapi, Mbak—”

“Nggak ada tapi. Ini kalau nggak dimakan mubazir loh. Gue ‘kan nggak kenal siapa-siapa di sini,” sela Nadzifa mengambil sendok dari tempatnya.

Satu tahun berkeliaran di flat ini, Nadzifa sudah menganggap flat milik Farzan seperti miliknya sendiri. Astaga! Untung dia tidak tidur juga di sana.

“Nih makan,” katanya menyerahkan mie goreng khas daerah Nanggroe Aceh Darussalam itu.

Farzan mengangkat bahu, kemudian duduk dengan pasrah di kursi. Percuma berdebat dengan Nadzifa, jika pada akhirnya kalah. Gadis itu keras kepala bukan main. Sekali lagi, beruntung dia bukan gebetan, pacar apalagi calon istri.

Amit-amit, kalau kata Farzan.

“Balik sore dong besok?” tanya gadis itu ketika Farzan menyuap mie goreng yang dibawanya.

“Tergantung,” jawab Farzan mengunyah mie goreng. Ternyata rasanya enak, dia suka dengan mie yang kaya bumbu dan rempah ini.

“Tergantung apanya?” selidik Nadzifa kepo.

Farzan tidak menjawab pertanyaan gadis itu. Dia malah menyuap lagi satu sendok hingga habis.

“Nanti aku bawakan makanan buat Mbak kalau udah balik,” katanya setelah mie goreng tandas, “belum pernah coba masakan Kak Arini, ‘kan? Rasanya enak banget.”

Nadzifa menumpu dagu di atas kedua tangan yang bertautan. “Lo sering banget muji Kak Arini. Sayang banget ya sama dia?”

Pemuda itu menelan ludah mendengar perkataan Nadzifa. Dia meneguk air putih hingga habis.

“Pasti sayang lah ya. Secara dia yang rawat lo dari kecil,” lontarnya lagi kemudian.

Farzan hanya tersenyum singkat. Tangannya meraih serbet, lalu menyeka sudut bibir.

Mata hitam lebar Nadzifa mematut lama Farzan. Dia mengamati pemuda itu beberapa saat.

“Gue udah kenal sama lo setahun, tapi kenapa sih nggak pernah lihat lo bawa cewek ke sini? Nggak pernah juga dengerin curhatan lo tentang cewek yang ditaksir.” Nadzifa menarik napas pendek sebelum berkata lagi. “Lo nggak belok, ‘kan?”

Farzan auto tersedak begitu Nadzifa mengucapkan kalimat terakhir. Dia tidak habis pikir kenapa orang-orang yang kenal dengannya, berpikiran kalau dirinya tidak normal alias tidak menyukai perempuan.

“Aku normal kok, Mbak.”

“Trus kenapa nggak pernah cerita tentang gebetan atau bawa pacar ke sini?” Mata hitam Nadzifa menyipit seketika. “Paling cuma Bramasta yang sering bolak-balik ke sini.”

“Belum ada yang menarik perhatian,” tanggap Farzan singkat.

Nadzifa berdecak sambil geleng-geleng kepala. “Sumpah deh. Lo beda banget sama Mas lo. Satunya playboy dan satunya lagi enggak. Salut!”

“Jangan bahas masa lalu masku lagi, Mbak,” protes Farzan keberatan.

Sorry deh.” Nadzifa memukul pelan bibir sendiri. “Mulut ini kalau udah bahas cowok yang suka mainin perasaan cewek, nggak bisa direm.”

Farzan menuangkan air ke gelas, kemudian meminumnya. Sementara Nadzifa kembali mengamati pemuda itu. Tilikan matanya beralih lagi melihat dagu yang dihiasi belahan milik Farzan berlepotan dengan bumbu mie goreng.

“Tapi lo seriusan normal, ‘kan?” ulangnya lagi masih belum yakin.

Farzan mengangguk singkat.

“Masa sih?” Nadzifa masih ragu.

Pemuda itu menatap malas gadis yang duduk berhadapan dengannya.

Nadzifa berdiri, lalu membungkukkan sedikit tubuh ke depan. Dia memegang dagu Farzan dan menaikkannya sedikit ke atas. Setelah itu, ia memberi kecupan singkat di tempat yang dilumuri bumbu. Lidah gadis itu menyeka sisa bumbu yang ada di sana.

“Apa yang lo rasakan? Itu lo berdiri nggak?” bisiknya menyeringai seraya mengedipkan mata.

***

Kepala Farzan mendadak pusing setelah apa yang terjadi antara dirinya dan Nadzifa empat jam yang lalu. Dia tak pernah menyangka gadis itu berani menjilat dagunya, meski tujuannya hanya bercanda. Jangan ditanya lagi bagaimana reaksi pemuda itu.

“Mbak apa-apaan sih? Sekarang keluar dari flat saya dan jangan datang lagi ke sini!!” tegasnya membuat Nadzifa terkejut bukan main.

Gadis itu ternyata membangunkan harimau yang sedang tidur, sehingga mengaum seakan ingin mencabik-cabik tubuhnya hingga tak berbentuk. Melihat bagaimana marahnya Farzan, Nadzifa segera pergi meninggalkan flat itu membawa rasa malu.

Hingga saat ini mereka saling diam, tanpa ada komunikasi meski hanya lewat aplikasi chat.

Pada awalnya Farzan ingin pulang ke Menteng Dalam dengan menggunakan motor. Namun apa yang telah terjadi tadi siang membuat kepalanya terasa ingin pecah, sehingga ia menggunakan taksi online. Dia sampai menggerutu dan memaki Nadzifa setelah gadis itu pergi.

Farzan bersandar lesu di jok belakang taksi. Dia berusaha menepis bayangan kejadian empat jam yang lalu, tapi sia-sia.

Kenapa kepikiran sih? gumamnya dalam hati. Kepalanya menggeleng cepat.

Selang sepuluh menit kemudian, perhatian Farzan tersita ketika kendaraan jenis sedan itu berhenti di depan pagar tinggi kediaman keluarga Harun. Sudah saatnya turun dan bertemu dengan keluarganya di dalam. Hari ini akhir pekan, sudah pasti semua berkumpul di rumah sekarang.

Assalamualaikum,” ucap Farzan begitu memasuki rumah.

Menjelang salat Isya kediaman keluarga Harun tampak lengang. Farzan mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan yang sepi. Barangkali Brandon, Elfarehza dan Sandy sudah berangkat ke masjid untuk menunaikan salat Isya.

Dia melirik ke kamar Brandon dan Arini, tapi pintunya tertutup rapat. Karena lantai bawah sepi, Farzan memutuskan naik ke lantai dua menuju kamarnya. Ternyata di atas juga tidak ada orang.

“Tumben Al dan Kak Arini nggak ada,” bisiknya pada diri sendiri.

Rasa rindu kepada Arini seakan tidak bisa dibendung lagi. Dia ingin segera bertemu dengan wanita yang dicintainya, karena sudah lama tidak berkunjung ke sini.

Pemuda itu berencana mandi terlebih dahulu, kemudian salat. Namun keinginan itu diurungkan. Farzan memutuskan untuk menunaikan salat Isya terlebih dahulu, setelah itu baru mandi.

Fisiknya lelah sekali hari ini. Begitu pulang dari pabrik, dia diganggu dengan kehadiran Nadzifa. Apa yang terjadi tadi siang juga menambah penat hati dan pikirannya.

Setelah mengambil wudu, Farzan menunaikan salat Isya dengan khusyuk. Dia beristighfar berkali-kali sebelum takbir, agar bayangan kejadian tadi siang tidak lagi hinggap di pikiran.

Begitu menunaikan salat, ia bersiap-siap untuk mandi. Guyuran air sepertinya mampu menenangkan pikiran yang lelah. Farzan melangkah menuju pintu yang terbuka sejak tadi, berniat menutupnya dengan tangan menenteng tas berisi pakaian ganti.

“Mas?” Farzan terkejut melihat kehadiran Brandon di depan kamarnya.

Wajah kakaknya tampak kurang bersahabat. Seperti ada sesuatu yang mengganggu pria berusia empat puluh lima tahun itu.

“Baru sampai?” tanya Brandon.

“Iya. Aku mau mandi dulu. Tadi dari pabrik langsung pulang,” jawab Farzan setengah berbohong. Tentu saja ia tidak benar-benar dari pabrik.

“Nanti aja. Mas mau ngomong sebentar,” ujar Brandon dengan raut wajah serius.

Pemuda itu mengamati paras kakaknya dengan saksama. Dia merasa ada hal penting yang ingin dibicarakan.

“Di sini, Mas?”

Bran menggeleng. “Di ruang kerja,” sahutnya singkat.

Tanpa menunggu respons dari adiknya, Brandon langsung turun ke lantai bawah. Farzan menyusul di belakang, setelah meletakkan lagi tas ransel yang ada di tangannya.

“Duduk,” suruh Bran mengerling ke sofa panjang setelah berada di ruang kerja.

Dengan patuh, Farzan duduk di sofa menunggu kakaknya menyampaikan apa yang ingin dikatakan. Dia semakin penasaran.

“Mas mau tanya sesuatu, kamu jawab dengan jujur.” Brandon membuka pembicaraan.

Farzan mengangguk pelan di sela jantung yang berdebar. Dia berusaha memusatkan pikiran dengan apa yang akan disampaikan Brandon.

“Apa yang terjadi antara kamu dan Iin dua tahun yang lalu?”

Mata hitam Farzan melebar ketika mendengar pertanyaan kakaknya. Seketika saliva memenuhi rongga mulut, perlahan masuk ke tenggorokan.

Bersambung....

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status