Aku masuk ke kamar dan membersihkan lukaku sendiri. Rasanya sakit sekali ketika alkohol menyentuh lukaku. Lebih sakit saat air mataku tidak mengering sejak tadi. Aku tidak tahu ke mana Mas Abi membawa Rania. Yang jelas, dia memilih meninggalkanku dibanding menenangkan wanita yang katanya hanya sahabatanya itu. Kuyakin semua wanita yang ada di posisiku akan merasa sakit hati. Dia tahu Rania sakit dan malah sengaja menunjukkan kalau dia mencintainya. Bukankah itu salah? Harusnya Mas Abi bisa tegas agar Rania paham bahwa yang ada dipikirannya itu salah. Apa memang Mas Abi memiliki perasaan untuknya? Rania memang lebih cantik dan seksi daripadaku. Jika dia lulusan master di Australia, sudah pasti dia juga memiliki otak yang nggak bisa diremehkan. Bukankah ini semua perbandingan yang sempurna? Bibirku terasa perih dan kepalaku pusing. Sakit fisik, hati, dan mental, semuanya sudah bercampur menjadi satu. Kukira Mas Abi memang benar mencintaiku. Kukira dia akan memprioritaskan diriku di atas
Saat menuju datang bulan ini aku benar-benar diuji habis-habisan. Enggak di rumah, enggak di kampus, kurasa semuanya sedang berkoalisi untuk menggebukiku satu per satu. Hari ini aku benar-benar lelah mengurus administrasi dan ke sana sini menemui dosen hanya untuk tanda tangan. Sekarang aku istirahat sebentar di perpustakaan. Tempat ini memiliki sirkulasi AC paling bagus di antara ruangan lain. Selain itu, aku juga mau mencetak satu jilid draft lagi di sini. Tepat setengah jam sebelum perpustakaan tutup, aku keluar. Beruntung kali ini nggak ada orang iseng yang mengerjai lokerku. Aku masih belum ada waktu untuk mengurusi pecundang itu. Nanti dulu. Aku selesaikan skripsi ini, setelahnya dia nggak akan kulepaskan begitu saja. Aku sudah memastikan lokerku aman dan tepat berada di dekat CCTV. Kalaupun ada yang mau macam-macam, aku bisa langsung meminta bukti. Sebelum pulang, aku mau ke toilet dulu. Ada tuntutan dari dalam tubuhku untuk segera dikeluarkan. Nggak baik nahan pipis. Iya, kan?
Aku meminjam ponsel Bu Ratmi untuk menghubungi Sherin. Aku hapal nomornya. Dia langsung menjemputku karena jarak kosnya dan kampus sangat dekat. Aku menjadi benalu lagi di kosannya. Aku minta dibelikan makan dan meminjam bajunya untuk berganti. Pakaianku sudah tidak nyaman dan membuatku teringat dengan suasana di toilet tadi. Aku benar-benar seperti kucing yang baru keluar dari got, sangat menyedihkan. “Rin, aku cerita besok aja, ya, aku harus segera pulang.” Kulihat jam memang sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. “Iya. Pak Abi tadi juga ngehubungi gue. Gue kira lo lagi ke kafe atau ke mana untuk fokus ngerjain skripsi.” Ternyata dia masih peduli denganku. Aku meminjam uang Sherin untuk membayar taksi pulang. Saat ini, kepalaku benar-benar penat dan rasanya ingin meledak. Aku bersumpah, besok aku akan mengurus dan mengadukan ini ke pihak kampus. Aku sampai di rumah sekitar pukul sebelas malam. Mas Abi yang membukakan pintu untukku. Dia memberikan tatapan cemas yang membuatku ingi
“Mama kemarin ke mana?” Pertanyaan itu yang kudapat prtama kali di pagi hari ketika Aksa melihatku. “Mama lagi kuliah.” “Sampe malam?” Aku mengangguk. Dia kemudian memelukku. “Aksa kangen,” katanya. Anak ini benar-benar pintar sekali membuatku terharu. “Nanti kita main, ya. Mau ke mana? Makan es krim? Ke playzone? Atau ke taman?” “Beneran?” Dia terlihat sangat antusias dan berjingkat-jingkat. Aku yang salah. Aku yang belum bisa membagi manajemen waktu. Kalau urusan skripsi dan Aksa saja membuat keteteran, kapan aku bisa mulai menjadi penerjemah? Aku yakin hari ini bisa leha-leha. Aku hanya perlu menunggu jadwal sidang. Aku ke kampus pun hanya untuk mengambil barang-barangku. Pagi ini sama seperti kemarin, aku dan Mas Abi masih sama-sama diam. Percayalah momen seperti ini lebih menakutkan daripada beradu argumen membahas pendapat yang berbeda. “Kita ke kampus bareng, motormu masih di sana, kan?” tanya Mas Abi. “Nggak usah, aku bisa pesen ojek online, nanti pinjam uang Bik Tun.”
Jika ini mimpi maka akan kubenci orang yang membangunkanku. Ini terlau indah dan terlalu membuatku seperti terbang. Aku belum pernah merasakannya, tapi kurasa ini surga dunia. Kami, aku dan dirinya sudah bersatu. Tidak ada yang memisahkan kami. Setiap deruan napasnya bisa kunikmati dengan jelas, begitu pula denganku. Aku tidak menjamin masa depan bahagia. Aku juga tidak tahu jika besok, lusa, satu minggu, satu bulan, atau satu tahun ke depan kami akan sama-sama menangisi kesalahan dan pertengkaran. Malam ini aku merasa menjadi wanita paling bahagia. Setiap sentuhannya membuatku seperti terbang ke langit ke tujuh. Dia membawaku ke suatu tempat yang hanya kami berdua yang tahu. Aku merasa begitu dicintai dan disayangi. Dia memperlakukanku dengan sangat lembut sampai membuatku tak sadar jika masih di bumi. Di saat kesadaranku kembali, barulah aku sadarbetapa memalukannya apa yang kami lakukan. Aku seperti kehilangan rasa malu. Tapi, di depan suami memang tidak perlu menunjukkan rasa malu
Aku sudah berusaha untuk berjalan dengan langkah yang normal, tapi tetap saja ada yang beda. Ada sesuatu mengganjal di suatu tempat di sana. Aku harap tidak ada yang mencurigaiku macam-macam. Hari ini aku harus ke kampus walau tubuhku sangat lelah. Aku juga kurang tidur. Ketika bertemu dengan Mas Abi, aku akan memukulnya sampai puas. Sebentar, kenapa aku harus memukulnya? Kan, aku juga menikmati. Ah, sudahlah! Aku jadi malu sendiri jika mengingat itu. Sekarang aku sudah berada di ruang operasional keamanan bersama Wawa. Kami menemui satpam dan menjelaskan semua kronologi yang kualami. Beruntung Pak Satpam mengizinkan kami untuk melihat CCTV. Dia juga menemani. Ada CCTV yang ada di ujung koridor. Terlihat aku yang masuk ke toilet pada pukul 15.32. Kemdian, pada pukul 15.35 ada dua orang yang masuk. Mereka mengenakan hoodie dan kepala yang tertutup tudung. Setelahnya ada lima orang lagi yang masuk. Seingatku, hari itu toilet tidak ramai. Aku memang me
Di sinilah aku berada. Aku dan Wawa menghampiri segerombolan mahasiswa yang berada di salah satu meja kantin. Ini memang wilayah yang sering mereka pakai. Selain Jessica dan keenam sahabatnya, di meja ini juga ada beberapa cowok. Aku tidak mengenal mereka, entah dari jurusan ilkom atau jurusan lain. Yang jelas mereka semua terlihat akrab. Wawa tanpa gentar langsung membelah kerumunan itu dan berhadapan dengan Jessica. Semua orang yang ada di kantin memperhatikan kami. Aduh Wawa, dia malah menggiringku untuk menjadi pusat perhatian! “Lo yang ngerjain Una, kan?” Tanpa pembukaan apalagi ucapan salam, Wawa langsung bertanya ke Jessica. Wanita berambut kecokelatan yang sedang duduk itu hanya memperhatikan Wawa dengan ekspresi terganggu. Bola mata kebiruannya seolah mengisyaratkan kalau dia tidak tahu apa-apa. Kemudian, dia beralih menatapku. Aku bisa lihat sorotan merendahkan darinya. “Siapa, ya?” tanya Jessica. Nah, apa kubilang, Jessica nggak mungkin kenal aku. Di jurusan yang seangk
“Strategi gue berhasil. Akhirnya lo ngaku. Sebenernya gue nggak yakin-yakin banget. Tapi, setelah mengaitkan dengan gosip yang lo ditolak Kak Alex setelah bertahun-tahun pedekate, gue coba aja. Ternyata berhasil. Hati-hati Jes, lo nggak kenal siapa Una. Kalau lo tahu posisinya dia sekarang, pasti lo langsung sujud di kaki—”“Wa, aku malu. Kita jadi tontonan. Udahan aja, yang jelas udah jelas kalau mereka yang lakuin.” Aku menarik tangan Wawa untuk menjauh, tapi dia menolak. Sebenarnya aku lebih takut kalau Wawa keceplosan mengenai hubunganku dengan Mas Abi. Lagian, Jessica tahu dari mana tentang hubungan kami? Aku sama sekali nggak pernah terlihat akrab dengan Mas Abi saat di kampus. Jangan bilang dari Kak Alex? Tapi, kayaknya enggak, deh.“Perbaiki dulu tabiat lo supaya gue bisa terkesan,” ucap Kak Alex ke Jessica. Setelah itu dia pergi lagi. Dia tidak menghadap ke arahku. Dia nggak bicara denganku. Memangnya aku berharap apa? Kak Alex sudah memberi batasan yang jelas antara kami.“S