Perlahan Jillian membuka mata, memindai sekitar lalu tatapannya jatuh pada sisi ranjang di mana Kenzo tertidur dengan menelungkupkan setengah tubuh sambil menggenggam tangannya.
Padahal pria itu memilih kamar Royal Suite yang memiliki satu ranjang nyaman untuk si penunggu dan jaraknya hanya beberapa meter saja dari ranjang Jillian tapi Kenzo malah duduk di kursi dan terlelap di samping Jillian.Jillian mengeratkan genggaman tangan Kenzo bermaksud membangunkannya dan pria itu terusik lantas menegakan punggung.“Sayang ….” Kenzo bergumam, mata sayunya tampak merah karena mengantuk.“Ken … haus.” Setengah merengek Jillian mengatakannya.“Sebentar ….” Kenzo beranjak dari kursi untuk membawakan Jillian air minum.Satu gelas air mineral yang Kenzo bawakan langsung dihabiskan oleh Jillian.“Haus, sayang?” tanya Kenzo basa-basi sambil menyimpan gelas kosong diTapi kemudian si Cantik terusik karena Mommynya banyak bicara. Bibir mungil si Cantik terlepas dari puting Jillian disusul tangis kencang yang membahana di kamar itu. “Keeeeen.” Jillian menatap horor si Cantik yang menangis atau lebih tepatnya berteriak, membuka mulutnya lebar dengan pejaman mata yang sangat erat. “Coba … susuin lagi, pindahin si Cantik ke sebelah kanan.” Kenzo memberi solusi. “Gimana cara pindahinnya?” Jillian merengek. “Aku juga enggak tau, coba kamu angkat.” Kenzo melongok ke arah pintu, berharap sang suster peka dan mendengar tangis si Cantik lalu datang membantu mereka. “Angkat gimana? Dia rapuh banget … coba kamu ambil, Ken.” “Ambil gimana?” Kenzo juga belum bisa menggendong si Cantik. Si Cantik masih terlalu kecil dan rapuh, Kenzo takut sampai menyakiti si Cantik karena ia belum berpengalam
Bima dan kedua orang tuanya datang menjenguk, Kenzo yang memberi mereka kabar mengenai kelahiran si Cantik. Dan sekarang si Cantik sedang dikuasai bunda juga Bima di ranjang khusus penunggu yang masih berada di ruangan itu. Mereka berdua seolah tenggelam dalam dunianya sendiri bersama si Cantik, melupakan Jillian yang kini duduk termangu di atas ranjang menatap lurus ke arah Kenzo yang sedang berbincang di sofa dengan ayahnya Bima. Benak Jillian mencari-cari alasan pasti kenapa ia bersedia membatalkan perjanjian perceraian dengan Kenzo. Bukan karena ia merasa Kenzo sangat baik, perhatian dengan sikap pria itu yang seakan tulus mencintainya. Sesungguhnya Jillian masih merasa Mutiara belum benar-benar pergi dari hati Kenzo, buktinya ketika emosional Kenzo masih menyebut nama Mutiara dan membandingkannya dengan Jillian. Jahat, kan? Tapi Jillian ber
Keesokan harinya Dila datang membawa banyak berkas agar bisa Kenzo tanda tangani, gadis itu juga membawakan pakaian kerja Kenzo karena a Kenzo memiliki janji bertemu seorang klien penting siang nanti. Kenzo sudah meminta ijin tiga hari untuk mengerjakan pekerjaannya dari rumah. Di atas ranjang yang bagian kepalanya dibuat menegak, Jillian mengawasi Dila dan Kenzo yang terlihat serius membicarakan urusan pekerjaan. Ada setitik cemburu yang mulai mengotori hati Jillian melihat kedekatan antara Kenzo dan Dila walaupun Kenzo bersikap formal dan profesional begitu juga Dila. Pasalnya saat ini Jillian tidak sedang dalam kondisi terbaik, badannya membengkak dan wajahnya pucat tanpa makeup. Yang paling parah adalah perutnya bergelambir bekas tempat si Cantik selama sembilan bulan tumbuh dan berkembang sebelum lahir ke dunia. Jillian memberengutkan wajah ketika Kenzo tidak senga
“Sayang ….” Suara bisikan pelan yang masih bisa Kenzo dengar itu membuatnya menoleh ke ambang pintu. Kenzo lantas tersenyum kepada sosok wanita cantik yang sedang berjalan mendekat. Rambut Jillian dicepol asal memamerkan lehernya yang jenjang dan gaun tidur berbahan satin itu memetakan tubuh Jillian memberikan siksaan tersendiri bagi Kenzo yang belum bisa menyentuh Jillian hingga masa nifasnya selesai. “Kamu kenapa malah ngelamun di sini?” Jillian bertanya setengah menegur ketika bokongnya sudah mendarat di atas pangkuan Kenzo dan kedua tangannya melingkar di leher pria itu. Entah sejak kapan juga Kenzo melamun di ruang kerja usai tadi menyelesaikan pekerjaan yang dikirim Dila padanya. Beberapa hari ini memang benaknya berisik sekali dengan berbagai macam pikiran di saat semestinya ia bahagia dan tenang karena Jillian akan menjadi miliknya untuk selamanya dan si Cantik
Ini adalah untuk pertama kalinya Kenzo menjejakkan kaki di perusahaan milik Augusta Maverick. Perusahaan milik Asing yang bertahan paling lama di Indonesia. Kalau bukan karena taruhannya adalah keluarga kecilnya, Kenzo tidak akan sudi menerima perusahaan milik Augusta Maverick. Kenzo langsung disambut oleh seorang pria menggunakan stelan jas formal, sangat Augusta Maverick sekali. Dan ketika ia mengedarkan tatapannya ke sekeliling loby yang ramai pada jam makan siang—ia seperti sedang berada di bursa saham New York. Semua berpakaian kerja ala-ala pialang saham di sana lengkap dengan dasi dan jas untuk pria dan stelan blazer untuk wanita. Di perusahaan yang pernah Kenzo pimpin tidak seketat ini, hanya para petinggi saja memakai pakaian formal untuk membedakan kedudukan mereka. “Mr. Maverick is already waiting in his room,” ujar pria bernama Daniel yang
Satu hari setelah Jillian mengetahui Kenzo membiayai pengobatan ibunya Amira. “Yang … duit jajan aku kok belum kamu transfer?” Jillian bertanya sambil mengangkat ponselnya ke udara memberitau bahwa baru saja ia mengecek saldo rekeningnya dan belum bertambah. “Lupa ya? Apa duitnya abis dipake bayar pengobatan ibunya tante Amira?” serobot Jillian padahal Kenzo sudah membuka mulutnya untuk memberi penjelasan. “Bukan begitu sayang, hari ini enggak tahu kenapa m-banking eror … aku coba transfer sekarang ya.” Kenzo mengeluarkan ponselnya dari saku celana, seharian ini selain sibuk, memang setelah berulang kali dicoba—Kenzo tidak bisa mengakses rekeningnya melalui m-banking. “Ga usah lah, urusin aja tuh ibunya tante Amira,” ujar Jillian sambil melengos keluar kamar. “Ya?” Kenzo melongo, kedua alisnya terangkat membuat kerutan di keningnya. Satu minggu setelah Jilli
“Mau sampai kapan lo ngehindarin gue terus?” Kin berdiri tepat di depan Jillian menghalangi langkah wanita itu yang selama beberapa minggu semenjak kembali berkuliah selalu menghindarinya. Jillian akan menundukkan kepala bila harus terpaksa berpapasan dengan Kin lalu berjalan cepat agar cowok itu tidak bisa menyusul atau bila sudah melihat Kin dari jauh—Jillian lebih baik mengambil jalan memutar. Sebesar itu kekesalan Jillian kepada Kin yang telah dengan sengaja—hanya demi nama baik keluarga—menyerahkannya kepada polisi. Jillian akhirnya mendongak menatap Kin nyalang. “Minggir lo!” serunya, mendorong dada Kin kasar. “Jill … gue minta maaf, denger gue dulu!” Kin mencengkram tangan Jillian yang tidak berhenti meronta. “Lo enggak ada kuliah lagi, kan? Gue mau ngomong sama lo … sebentar aja, gue mau jelasin sama lo.” “Udah jelas, enggak perlu lo jelasin lagi!” seru Jillian
“Daddy pulaaaang!” seru Jillian yang tengah menggendong si Cantik melangkah mendekati pintu lift yang terbuka menampilkan sosok pria tampan pujaan hatinya. Kenzo menjatuhkan tasnya lalu merentangkan kedua tangan setelah keluar dari lift dan kini Jillian beserta si Cantik berada dalam pelukannya. “Kalian wangi sekali,” kata Kenzo yang telah puas mendaratkan banyak kecupan di wajah Jillian dan si Cantik. “Iya donk, tadi mommy sama Cantik mandi bareng … aku udah bisa mandiin si Cantik lho, Yang.” Jillian begitu bahagia ketika menceritakan prestasi sebagai Ibu yang akhirnya bisa memandikan sang buah hati meski sudah terlambat dua bulan lamanya. “Waaaw, hebat!” Kenzo memuji, memberikan hadiah kecupan lagi di bibir Jillian. “Aku mandi dulu ya,” kata Kenzo yang merasa tidak nyaman dengan tubuhnya yang lengket karena seharian berada di proyek. Kenzo bergegas