Ketukan pintu kamar membuat mata Fasya terbuka lebar. Dia langsung terbangun dengan rasa pusing yang menyerang kepalanya. Fasya melirik jam yang sudah menunjukkan pukul dua pagi. Siapa yang mengetuk pintu di dini hari seperti ini? "Mbak Fasya?" Suara itu membuat Fasya mengerutkan dahinya. Dia melirik ke samping dan tidak melihat Adnan di sana. Ternyata pria itu belum kembali. Dengan lemas, Fasya bangkit dan bergegas membuka pintu kamar. Kenapa Pak Yanto membangunkannya? Saat pintu terbuka, Fasya terkejut melihat apa yang ada di hadapannya saat ini. Pak Yanto menatapnya khawatir sambil memapah tubuh seseorang. Siapa lagi jika bukan Adnan? Keadaan pria itu begitu kacau. Fasya yakin jika Adnan setengah sadar kali ini. "Mas Adnan kenapa, Pak?" tanya Fasya panik. "Saya kurang tau, Mbak. Tadi ada taksi yang anter Pak Adnan. Turun-turun Pak Adnan udah mabuk dan luka gini." Fasya meringis melihat wajah Adnan. Terdapat luka di sudut bibirnya. Apa pria itu kembali bertengkar? Mema
Di sebuah lorong rumah sakit, terlihat sudah banyak orang yang berkumpul. Hampir semua keluarga Atmadja satu-persatu mulai datang untuk melihat kondisi kakek. Kesehatannya yang tiba-tiba menurun pagi ini membuat semua orang panik. Termasuk Fasya dan Adnan, mereka merasa bersalah dengan apa yang terjadi. Seharusnya mereka bisa menjaga kakek, tetapi kenyataannya mereka malah menambah beban tentang masalah keluarga mereka. Meskipun sudah berusaha untuk menutupi semuanya, tetap saja perlahan semua akan segera terbongkar. "Sudah berapa kali kesehatan kakek menurun sejak tinggal sama kalian? Ini yang bikin Tante nggak percaya sama kalian!" Tante Sarah tampak marah pada Fasya dan Adnan. Mendengar kemarahan itu, Fasya hanya bisa menunduk. Membantah pun percuma karena dia memang merasa bersalah di sini. Seharusnya dia bisa menjaga kakek dengan baik, bukan malah membuat kesehatannya menurun. Fasya bukanlah seorang Atmadja, tentu beban yang ia tanggung jauh lebih besar. Adnan sendiri tidak men
Hanya tinggal menunggu waktu. Untuk saat ini, satu detik pun sangatlah berharga. Apa yang Adnan katakan pada Mitha adalah seperti menanam sebuah bom. Jika waktunya tiba, maka bom itu akan meledak. Di saat itu terjadi, Adnan akan duduk manis menikmati drama kehancuran Denis. Jahat? Adnan tidak munafik. Dia tidak mau membohongi dirinya sendiri jika menghancurkan Denis adalah hal yang tidak ia sukai. Selama ini Adnan hanya diam karena ia sangat menghormati kakek dan Om Bayu. Namun setelah dilihat-lihat, Denis dan Ibunya benar-benar tak tahu malu. Mereka semakin berulah dengan mengusik kehidupan pribadi Adnan. Adnan memang pendiam, tetapi bukan berarti dia suka jika harga dirinya diinjak atau kehidupannya diusik. Intinya jangan mematikan kobaran api dengan minyak tanah. "Makan dulu," ucap Adnan pada Fasya yang melamun. Saat ini mereka berdua tengah berada di kantin rumah sakit. Bertujuan untuk mengisi perut kosong setelah jam makan siang sudah lewat dua jam yang lalu. Meski
Malam gelap telah Datang. Terlihat seorang pria tengah berjalan menjauh dari pintu utama sebuah rumah. Denis, pria itu berjalan lesu dengan tatapan sedih. Bukannya langsung pergi, dia malah bersandar pada Mobil tanpa tenaga. Kepalanya masih terngiang-ngiang akan kalimat perpisahan yang Mitha ucapkan. Wanita itu memilih mundur. Menyerah pada hubungan mereka karena kebohongan yang ia buat. Seperti karma, bukan hubungan Adnan dan Fasya yang hancur, melainkan hubungannya dengan Mitha yang berada di ujung tanduk saat ini. Wanita itu tidak mau menemuinya lagi. Tentu Denis menyesal, dia menyesal dengan apa yang sudah terjadi. Meskipun dia menyembunyikan semua masalahnya dengan Adnan pada Mitha, bukan berarti perasaannya adalah sebuah kebohongan. Denis berani bertaruh apapun jika perasaannya pada Mitha terbukti palsu. Pria itu benar-benar mencintai calon istrinya. Ah, mantan calon istrinya. Hati Denis kembali sakit mengingat fakta tersebut. Itu juga yang membuatnya dengan nekat mene
Dari balik pintu, Fasya membuka telinganya lebar. Terdengar suara ribut dari luar kamar. Malam sudah semakin larut, tetapi secara tiba-tiba suara gaduh mulai membangunkan tidurnya. Apa terjadi sesuatu di luar sana? "Nek!" teriak Fasya sambil memukul pintu. Dia benar-benar penasaran dengan apa yang terjadi. Tidak mungkin jika tiba-tiba ada perampok, bukan? "Nenek!" teriaknya mulai panik. Fasya kembali mendekatkan telinganya untuk mendengar sesuatu. Kali ini dia tidak mendengarkan apapun. Fasya benar-benar khawatir. Dia takut jika terjadi sesuatu pada kakek dan neneknya. Suara telepon membuat Fasya terkejut. Dengan cepat dia menghampiri kasur dan memgambil ponsel jadul dari bawah bantal. Dia harus cepat sebelum kakek mendengar suara dering yang nyaring itu. Adnan, pria itu mengubunginya. "Halo, Mas?" sapa Fasya cepat. "Kakek larang saya buat ketemu kamu." Fasya menutup mulutnya tidak percaya. Jadi suara ribut yang ia dengar itu karena kedatangan Adnan. Pria itu benar-b
Gila. Sepertinya Fasya sudah benar-benar gila. Entah bagaimana bisa dia berakhir di dalam mobil bersama Adnan. Semua terjadi begitu saja dan ia memilih untuk melarikan diri. Adnan tidak menculiknya. Fasya dengan sadar dan tanpa paksaan setuju menerima ajakan pria itu. Tanpa peduli bagaimana orang rumah akan bereaksi setelah tahu jika ia menghilang. Genggaman hangat membuat Fasya menoleh. Melihat senyum Adnan yang teduh membuat perasaan Fasya menghangat. Seolah menerbangkan semua rasa khawatir yang menyerangnya sedari tadi. Otak Fasya berpendapat jika apa yang ia lakukan saat ini adalah salah, tetapi sayangnya hatinya berkata lain. Fasya senang berada di dalam mobil ini, bersama Adnan, menjauh dari masalah. "Kita mau ke mana, Mas?" "Ke tempat yang jauh." "Ke mana?" "Puncak?" tanya Adnan ragu. "Oke." Mendengar jawaban Fasya, Adnan kembali tersenyum lega. Genggaman tangannya semakin erat, seolah tidak ingin kehilangan gadis itu lagi. Membawa Fasya pergi adalah rencana
Puncak Bogor masih menjadi tempat pelarian Adnan dan Fasya. Mereka berdua sepakat untuk memutus komunikasi dengan keluarga untuk sementara. Bahkan Adnan memilih untuk mematikan ponselnya agar bisa lebih tenang saat berdua dengan Fasya. Mereka benar-benar memanfaatkan waktu yang ada untuk saling mendekatkan diri. Tak terasa malam telah tiba. Seperti janji Adnan, dia yang akan menyiapkan makan malam. Dengan bantuan Mbok Yem tentu saja. Jika bukan karena keinginan Fasya, tentu dia tidak mau berkutat di dapur. Bukan bermaksud pamrih, tetapi Adnan sudah berjanji pada dirinya sendiri untuk menjadi versi terbaik bagi Fasya. Selama ia bisa, maka Adnan akan berusaha melakukan apapun keinginan istrinya. Tanpa imbalan. Dengan Fasya yang memberikan kesempatan kedua saja sudah membuat hati Adnan melayang dan berbunga-bunga. Setelah makan malam, Fasya memilih untuk ke kamar lebih dulu. Setelah pintu tertutup rapat, dia menyentuh dadanya yang berdegup kencang. Ini gila! Fasya merasa jantungn
Pagi hari telah datang. Celah jendela mulai dimasuki oleh cahaya yang begitu terang. Disertai dengan kicauan burung merdu yang membuat suasana hati menjadi tenang. Yang kemudian membangunkan seorang wanita yang mulai mengerang. Fasya, mantan gadis yang semalam telah resmi menjadi seorang wanita itu mulai membuka mata. Cahaya yang menyilaukan mata membuatnya menarik selimut untuk menutupi wajahnya. Dia sudah kembali bersiap untuk melanjutkan tidurnya. Namun sesuatu mulai menyadarkannya. Mata Fasya terbuka lebar. Dia menurunkan selimut dan melihat keadaan kamar yang sepi. Fasya terduduk sambil memperhatikan keadaan sekitar dengan bibir terbuka. Setelah itu dia melihat keadaan dirinya sendiri. Semuanya sama, baik kamar dan penampilannya terlihat sangat kacau. Malam pertama. Fasya menutup wajahnya yang memanas saat mengingat kejadian semalam. Entah bagaimana bisa mereka berakhir untuk menyalurkan kehangatan bersama? Fasya tidak pernah menduga sebelumnya. Namun setelah terjadi, d