Share

Merebut Perhatian

Bi Wati sedikit terheran begitu pagi menjelang karena kamar sebelah yang biasa kosong, pagi ini terdengar samar-samar suara orang berceloteh.

Bi Wati mengayunkan tangan hendak mengetuk pintu. Namun, ternyata pintu itu sudah terbuka terlebih dahulu yang membuat Bi Wati tersentak kaget.

Rani juga sama kagetnya. Dia yang berniat keluar kamar hendak berjemur, dikejutkan dengan kemunculan Bi Wati di depan pintu.

"Nona Rani? Kenapa Nona dari dalam kamar ini?"

"Ini sekarang kamar aku, Bi."

Dahi Bi Wati mengerut dan matanya menyipit setelah melihat ada benda seperti kelopak bunga yang tersemat di rambut Rani. "Ini apa, Nona? Kenapa ada bunga di rambut Nona Rani?"

"Oh itu," ucap Rani begitu Bi Wati mengambil sebuah kelopak bunga mawar merah dari rambutnya. "Tadi aku habis mandi pakai bunga tujuh rupa."

"Hah? Buat apa?" Kerutan di dahi Bi Wati semakin terlihat jelas.

"Soalnya tadi malam..." Rani segera merapatkan mulut ragu untuk bercerita pada Bi Wati jika semalam dia berciuman dengan Alan.

"Tadi malam apa, Nona?" tanya Bi Wati yang tampak penasaran setengah mati.

"Tadi malam aku dicium dedemit. Oh ya, Bi. Tolong bilangin ke Pak Hari, aku lagi nggak mau sarapan," ucap Rani yang sengaja mengalihkan pembicaraan agar Bi Wati tidak bertanya lebih banyak.

"Kebetulan Tuan Hari memang sudah berangkat tadi pagi-pagi sekali. Sama Tuan Alan juga. Tuan Hari titip pesen supaya saya tanya soal menu sarapan Nona Rani."

"Oh bagus lah kalau begitu. Aku pengin berjemur dulu. Bi Wati nggak perlu repot-repot siapin sarapan. Aku bisa masak sendiri."

Bi Wati mengangguk dan berbalik badan melanjutkan pekerjaannya yang lain. Namun, beberapa langkah berjalan, dia baru menyadari ada yang aneh dengan ucapan Rani.

Dengan dahi mengerut, Bi Wati terus berjalan sambil mengetuk-ngetukan jari telunjuk ke dagu.

"Eh, bentar. Tadi Nona Rani bilang semalam dicium sama dedemit. Kok bisa ya?"

Dug.

Karena kurang memperhatikan jalan, Bi Wati menabrak Jia yang mendongak dengan kedua mata merah dan berair.

Dari penampilannya, jelas jika Jia baru bangun tidur. Baju tidur merah muda yang dipakai semalam belum dilepas dan rambut gadis itu pun masih acak-acakan.

"Bi, Papa mana?" Isak Jia.

Bi Wati membungkuk agar pandangannya sejajar dengan Jia. "Tuan sudah pergi tadi pagi, Nona Jia. Yang ada cuma Nona Rani di taman belakang. Bagaimana kalau Nona Jia main sama Nona Rani sambil nunggu Tuan pulang?"

Jia mengangguk sambil terisak. Dia bergegas berjalan menuju taman belakang. Sedangkan Bi Wati hanya dapat menghela nafas pendek sembari menatap punggung Jia yang semakin menjauh.

Pancaran mata penuh belas kasih terlihat jelas di kedua manik mata wanita paruh baya itu. Melihat Jia yang kesepian karena ibunya koma dan ayah yang selalu sibuk, membuat hati Bi Wati merasa prihatin.

Sementara Jia yang sudah sampai di taman belakang melihat Rani yang tengah duduk melamun. Rani bahkan tak menyadari jika Jia duduk di sampingnya.

"Tante Rani lagi apa?"

Rani tersentak kaget dan menoleh ke arah Jia, "Eh, Jia. Enggak apa-apa. Tante lagi bosen aja."

"Sama. Jia juga lagi bosen," ucap Jia menyilangkan tangan di depan dada dengan bibir yang dimajukan. Tak berselang lama, Jia tersentak seolah tengah ingat akan suatu hal. "Tante, bagaimana kalau hari ini kita jalan-jalan?"

Dahi Rani mengerut saat membuat pertimbangan dan beberapa saat dia pun berkata, "Ayo. Tapi kita harus bilang dulu ke papa kamu."

"Enggak usah," seru Jia memanyunkan bibir. "Aku sebel sama Papa. Biarin aja."

Detik berikutnya, Jia melompat turun dari kursi dan berlari ke dalam rumah. Rani yang melihat tingkah Jia hanya bisa mengerutkan dahi. Pasalnya raut muka ngambek Jia begitu mirip dengan Alan.

Rani mengulurkan bibir, menahan tawa. Entah kenapa saat itu juga dia kembali teringat akan Alan dan ciuman tadi malam.

Seketika Rani menggelengkan kepala. Mengusir pikiran nakal yang hendak masuk ke otaknya.

Tak sampai setengah jam, Rani dan Jia sudah berada di mobil bersama seorang supir pribadi. Mereka berniat pergi ke rumah sakit mengunjungi Sandra. Sekalian Rani juga ingin melihat Rian yang sedang menjalani pengobatan.

Supir pribadi yang sudah biasa mengantar jemput Jia kemana saja, langsung menunjukan ruangan Sandra berada.

Awalnya Rani hanya ingin menunggu di luar bersama sang sopir. Namun, rasa penasaran membuatnya melongok ke dalam. Dia melihat Jia yang duduk di samping brankar, bercerita akan kegiatan sekolahnya yang sepi tanpa ditemani oleh ibunya.

Perlahan tapi pasti Rani mulai melangkahkan kaki mendekati Jia. Ditepuk pelan pundak kecil itu yang bergetar karena Jia menangis.

"Mama, kapan bangun sih? Jia kangen. Kalau Mama bangun, Jia pengin Mama temenin aku sekolah. Jia pengin kayak temen-temen Jia. Semuanya selalu sama Mamanya kalau sekolah."

"Jia," panggil Rani lirih. Dia menunduk untuk bisa mengecek raut muka Jia. "Kamu nggak apa-apa?"

Jia mengusap pipi dlmenggunakan satu tangannya yanga mungil. Kedua mata anak itu sudah merah dan basah.

"Jia sedih, Tante. Jia pengin Mama bangun," rengek Jia.

Rani berjongkok di samping Jia, menyejajarkan pandangannya dengan anak kecil yang tengah haus akan kasih sayang itu.

"Kamu nggak usah sedih ya. Mama Jia pasti bangun kok."

"Tapi kapan, Tante?"

Rani terdiam sejenak sebab dia sendiri pun tak tahu jawaban dari pertanyaan Jia. Lalu dia tersenyum sambil mengusap rambut Jia.

"Suatu hari nanti."

"Di sekolah, bakal ada kontes masak cooking with Mommy, Tante. Tapi Jia nggak ada Mama," Jia menarik kuat-kuat ingusnya dan kembali mengusap pipi. "Kata Papa, nanti masaknya sama Papa aja. Tapi aku penginnya sama Mama."

"Jia," Rani mengusap puncak kepala Jia sembari memandang dengan tatapan yang teduh. "Jia tenang ya. Nanti Jia ditemenin sama Tante Rani aja. Nanti kita berjuang sama-sama supaya jadi juara satu. Terus kita tunjukin ke Mama Jia. Mama Jia pasti bangga deh sama Jia."

Terlihat seulas senyum tipis di bibir mungil Jia. Kedua matanya yang masih memerah berbinar memandang Rani bagaikan malaikat penolong.

Kedua wanita beda generasi itu saling berpelukan. Atau lebih tepatnya, Rani yang mulai terlebih dahulu memeluk Jia.

Dari balik bahu Jia, Rani memandang tubuh Sandra yang terbaring di atas ranjang dengan beberapa selang serpasang di badannya.

Maaf. Bukan maksud aku merebut Jia. Tapi aku kasihan melihat anakmu yang merindukan kasih sayang seorang ibu. Karena aku juga pernah merasakan bagaimana sedihnya kehilangan seorang ibu, batin Rani dalam hati.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status