Rani, "Aku terpaksa menikah dengan pria yang sudah beristri demi kesembuhan adikku." Alan, "Aku terpaksa menuruti permintaan ayah untuk berpoligami agar ayah tak menyebarkan aib istri pertamaku." Sandra, "Suamiku tega menikah lagi saat aku koma, bahkan begitu aku siuman semua orang di dekatku berbohong padaku." Akan seperti apakah rumah tangga yang dijalani Alan bersama kedua istrinya? Ketika Alan dihadapkan untuk memilih, siapa yang akan Alan pilih? Rani atau Sandra?
View MoreRani memutuskan untuk menunggu Alan dan Jia di dalam mobil. Selama beberapa menit, Rani mengecek kalender di ponselnya sambil mengingat-ingat terakhir kali dia menstruasi.Detak jantung Rani seketika berdenyut dua kali lebih cepat, begitu pula dengan ujung jemarinya yang mendadak dingin setelah Rani memastikan jika dia sudah terlambat satu bulan.Pintu mobil belakang terbuka dari luar. Membuat Rani tersentak kaget melihat Alan yang tengah kesusahan menggendong Jia dan hendak merebahkan sang putri kecilnya itu ke kursi belakang mobil.Kedua bola mata Jia terlihat sayu, pertanda dia sudah mengantuk berat. Alan membenarkan posisi Jia agar nyaman tidur selama perjalanan pulang. Kemudian dia beralih duduk di kursi pengemudi."Kamu kenapa? Bukannya temenin Jia pilih baju, malah kabur," ucap Alan sinis. Dia meletakan paper bag berisi gaun pesta milik Jia ke pangkuan Rani."Kita bisa nggak, mampir dulu ke apotek. Aku mau beli sesuatu," Rani berkata sambil meremas tali paper bag dengan sangat
Satu bulan kemudian.Krrriingg... Kriiinngg... Krrriinngg...Rani membuka matanya dan menjulurkan tangan untuk mematikan alarm yang menggemparkan seluruh kamar. Dengan sekuat tenaga, Rani bangkit lalu duduk di atas kasur.Dia mengecek beberapa pesan yang masuk ke ponselnya. Salah satu diantaranya ialah pesan dari Rian yang mengabari jika dirinya sudah tinggal di rumah yang dibeli oleh Hari.Rian bahkan mengirim beberapa foto sudut rumah yang membuat Rani tersenyum sumringah. Rani sangat bahagia karena kini dia dan adiknya tak lagi hidup menderita di bawah asuhan sang paman.Rani tersadar jika semua itu terjadi berkat kebaikan hati Pak Hari dan seketika itu, Rani tersadar jika dia sama sekali belum menunjukkan sikap apapun sebagai tanda terima kasih pada Pak Hari.Rani menyandarkan punggung ke headboard. Lalu teringat akan saran dari Zahra satu bulan yang lalu untuk mengikuti saja arah takdir membawa diri ke jalan yang mana dan hanya dengan menuruti kemauan Pak Hari, yang bisa Rani lak
Alan menuruni anak tangga dengan langkah tergesa-gesa. Tanpa dia sadari jika sikapnya itu dilihat oleh Hari yang kebetulan juga akan berangkat kerja."Alan, mau kenapa kamu pagi-pagi begini?"Sapaan dari sang ayah membuat Alan menoleh. Dia sedikit terkejut karena sama sekali tak menyadari ada Hari di dekatnya."Ayah?" Alan memutar badannya menghadap pada Hari. "Aku mau ke rumah sakit, Yah. Sandra sudah siuman."Senyum merekah di bibir Alan. Berharap sang ayah juga memasang raut bahagia saat dia mengatakan bahwa Sandra telah siuman. Namun, nyatanya wajah Hari hanya datar tanpa ada ekspresi.Hal itu menjadikan senyum Alan pun mengendur. Dia tahu betul jika Hari tidak menyukai Sandra. Bahkan berita kesembuhan Sandra tidak menjadikan Hari sedikit peduli."Ayah nggak seneng denger Sandra siuman?" tanya Alan."Bukan Ayah nggak seneng. Cuma... Yah..." Hari mengangkat bahu, sulit untuk mengutarakan isi hatinya secara terus terang karena hanya akan membuat keributan dengan Alan. "Ayah cuma ngg
Begitu sampai di rumah, Alan menghentikan mobil halaman. Sekilas dia melirik Rani yang terbungkus selimut dalam keadaan terpejam.Alan berniat membangunkan Rani dan meminta gadis itu untuk turun sendiri dari mobil. Namun, detik berikutnya, pikiran Alan berubah. Dia mampu menahan gejolak rasa di dalam dada.Gejolak itu semakin menyiksa Alan. Sehingga mau tak mau Alan memilih untuk menuruti kemauan yang ada di dalam dirinya. Dia membopong Rani apa pengantin baru menuju kamarnya.Di atas ranjang, Alan membaringkan tubuh Rani dengan perlahan. Lalu melepas pakaiannya sendiri tanpa tersisa sehelai benangpun yang melekat di tubuh."Maafkan aku, San," gumam Alan sesaat sebelum menyibak selimut yang membungkus Rani.Gerakan tangan Alan yang melepas pakaian Rani, membuat gadis itu terbangun. Tampak raut panik yang tergurat di wajah pucat Rani."Kamu mau apa?" tanya Rani masih dengan suara yang lemas.Alan tak menjawab. Sorot matanya telah dibutakan oleh hasrat yang menggebu-gebu. Dia mengecup b
Rani seketika berlari tak peduli pada guyuran hujan yang menjadikan pakaiannya basah. Sementara itu, Denis berlari di belakang sambil berteriak memanggilnya.Meski dalam keadaan lelah, Rani terus mengerahkan tenaganya untuk terus berlari menghindar dari Denis. Dia berteriak meminta tolong. Namun, sayangnya jalanan sangat sepi. Tak ada satu pun kendaraan yang lewat atau seseorang yang sedang berteduh.Sehingga mau tak mau Rani terus berlari. Setahu dia lima ratus meter di depan sana, ada sebuah minimarket yang buka dua puluh empat jam.Akan tetapi sebelum Rani sampai di minimarket, salah satu tangannya berhasil ditangkap oleh Denis. Pria itu memutar tubuh Rani sangat kuat hingga Rani jatuh terduduk di kerasnya jalan aspal."Ran, aku minta maaf. Tadi itu aku... Aku... A-aku nggak bermaksud apa-apain kamu," ucap Denis yang tergagap sambil berjongkok untuk membantu Rani. Rani langsung menepis tangan Denis. Lalu dia berdiri sendiri meski kaki kirinya terasa sangat sakit akibat terkilir.M
"Rani! Rani!"Denis berteriak memanggil Rani begitu melihat gadis itu hendak memasuki cafe. Tampak Rani menghentikan langkahnya, lalu memutar badan menoleh pada Denis.Rani menarik ujung bibirnya membentuk senyum canggung. Denis yang berjalan menghampiri Rani tahu persis jika gadis itu kini telah berubah total semenjak menikah dengan pria yang bernama Alan."Kemarin kamu habis dari mana? Kenapa nggak masuk kerja?""Ada perlu, Kak," jawab Rani singkat yang dengan cepat ingin masuk ke dalam cafe untuk memulai bekerja.Akan tetapi Denis menahan lengan Rani. "Tunggu! Kamu habis jalan sama suami kamu?"Rani menunduk untuk menyembunyikan wajahnya yang telah semerah buah tomat. Dia tak tahu harus menjawab apa pada Denis."Kalau diam berarti iya. Habis pulang kerja kita jalan, yuk. Aku ada yang ingin diobrolin sama kamu."Masih dengan wajah yang menunduk, Rani tak menjawab pertanyaan dari Denis. Dia tak tahu harus berkata apa pada pria itu. Penjelasan sudah Rani utarakan pada Denis dan permi
Satu pekan telah berlalu, dan hari di mana lomba memasak pun tiba. Jia sudah sangat bersemangat berangkat ke sekolah sejak pagi buta.Berbeda dengan Alan yang sedikit tak bersemangat. Saat di meja makan pun, tatapan kesal Alan tak pernah lepas dari Rani yang tengah menyuapi Jia.Semakin hari, Rani semakin dekat dengan Jia. Bahkan kini Jia sudah tidak mau tidur dengan Alan. Putri kecilnya itu lebih memilih tidur dengan Rani. Jika dilarang, Jia akan merengek yang membuat Alan sakit telinga. Sehingga mau tak mau Alan mempersilahkan keinginan Jia. Dalam hati, Alan selalu berpikir, entah mantra apa yang diberikan Rani pada Jia dan juga ayahnya."Papa, ayo kita ke pergi. Nanti terlambat," celoteh Jia yang menyudahi acara sarapannya. Dia turun dari kursi dan mengambil tas kecil berwarna merah muda."Jia tunggu di mobil, biar Papa habiskan dulu sarapannya," saran Rani pada Jia agar dia sendiri juga ada alasan untuk segera pergi dari ruang makan.Rani tak tahan lagi dilirik oleh Alan dengan
Rani menyembulkan kepala dari balik pintu lalu terbesit sebuah senyuman kala melihat sesosok remaja yang tengah duduk di ranjang rumah sakit.Sama halnya dengan Rani, remaja laki-laki itu juga tersenyum mendapati sang kakak datang menjenguknya. Dia meletakan kembali buku yang sejak tadi dibacanya ke meja samping tempat tidur.Terlebih begitu Rani melangkah masuk, Rian tak kuasa menahan rasa bahagianya. Disusul oleh Jia yang ikut melesat ke dalam ruangan. Namun, Jia tak menyapa Rian. Dia langsung mengambil tempat duduk di sofa."Kakak," ucap Rian sumringah."Gimana kabar kamu? Maafin Kakak karena nggak bisa nemenin kamu di sini," Rani memeluk erat sambil mengusap kepala adiknya."Nggak apa-apa, Kak. Lagian Pak Hari sudah memperkerjakan seorang perawat yang khusus jagain aku. Pak Hari baik banget deh, Kak. Beliau juga cerita ke aku katanya mau beliin rumah supaya aku nggak perlu serumah lagi sama Paman."Pupil mata Rani melebar mendengar cerita Rian. Pasalnya dia tak pernah mendengar j
Bi Wati sedikit terheran begitu pagi menjelang karena kamar sebelah yang biasa kosong, pagi ini terdengar samar-samar suara orang berceloteh.Bi Wati mengayunkan tangan hendak mengetuk pintu. Namun, ternyata pintu itu sudah terbuka terlebih dahulu yang membuat Bi Wati tersentak kaget.Rani juga sama kagetnya. Dia yang berniat keluar kamar hendak berjemur, dikejutkan dengan kemunculan Bi Wati di depan pintu."Nona Rani? Kenapa Nona dari dalam kamar ini?" "Ini sekarang kamar aku, Bi."Dahi Bi Wati mengerut dan matanya menyipit setelah melihat ada benda seperti kelopak bunga yang tersemat di rambut Rani. "Ini apa, Nona? Kenapa ada bunga di rambut Nona Rani?""Oh itu," ucap Rani begitu Bi Wati mengambil sebuah kelopak bunga mawar merah dari rambutnya. "Tadi aku habis mandi pakai bunga tujuh rupa.""Hah? Buat apa?" Kerutan di dahi Bi Wati semakin terlihat jelas."Soalnya tadi malam..." Rani segera merapatkan mulut ragu untuk bercerita pada Bi Wati jika semalam dia berciuman dengan Alan.
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.