Share

Hadiah

Pagi hari, Hari sudah ada di ruang makan dengan menggenakan setelan jas silver. Dia terus mengetik layar ponselnya kala Alan berjalan masuk.

Alan menarik kursi, duduk di sebelah ayahnya, dan mengambil sepotong roti. Dia menengok kanan kiri dan baru menyadari jika Jia belum ada di ruang makan.

"Jia mana, Yah? Kok tumben jam segini belum sarapan?" tanya Alan melirik jam tangannya.

"Tadi sih Ayah lihat dia masih dimandiin sama

Rani," Hari menjawab sembari mematikan ponsel lalu beralih pada menu sarapannya pagi ini.

Sementara, Alan mengerutkan dahi terheran sebab jarang Jia mau dimandikan oleh orang lain selain dengan Sandra. Masih dengan rasa tak percaya, Alan seketika melirik ke arah pintu dimana Jia sedang berjalan menuntun Rani.

Dua gadis beda generasi itu berbincang saat memasuki ruang makan. Kemudian Rani menarikkan kursi untuk Jia yang berseberangan dengan Alan.

Jia yang sudah rapi memakai seragam sekolah, menyapa Alan dan Hari. Namun, sapaan hangat Jia tak dibalas oleh Alan karena dia terus menyalakan sorot mata tajam ke arah Rani.

"Jia mau sarapan sama apa? Roti atau nasi?" tanya Rani menawarkan pada Jia.

"Aku mau nasi, Tante."

Ketika Rani tengah menyendokan nasi ke atas piring untuk Jia, tiba-tiba saja Hari mengeluarkan sebuah ponsel dari dalam tas kerjanya. Lalu menyodorkan pada Rani yang membuat gadis itu mengerutkan dahi kebingungan.

Tak hanya Rani, namun juga Alan yang menoleh ke arah ayahnya untuk meminta penjelasan.

"Apa ini, Ayah?" Rani menerima ponsel dari Hari dengan raut kebingungan.

"Ayah dengar kamu belum punya ponsel. Jadi ponsel itu untuk kamu. Supaya kita satu keluarga lebih mudah berkomunikasi. Oh ya, Ayah juga sudah menyimpan nomor telepon paman dan bibi kamu di sana."

Rani tak bisa berkata-kata memandang nanar pada ponsel yang ada di tangannya. Pasalnya, dia tahu ponsel itu adalah ponsel dari brand mahal dan keluaran terbaru pula.

Tak pernah terbayangkan oleh Rani jika dia akan memiliki benda canggih itu karena sebelum menikah untuk baju saja, Rani selalu beli dari toko pakaian bekas.

"Terima kasih banyak, Ayah."

"Ayah, ini nggak adil," protes Alan.

Hari melirik Alan dengan santai dia berkata, "Nggak adil bagaimana?"

"Selama empat tahun aku menikah dengan Sandra, Ayah nggak pernah membelikan sesuatu untuk Sandra. Tapi kenapa baru sehari aku menikah dengan Rani, Ayah langsung membelikan ponsel?

Hari tak langsung menanggapi protes dari Alan. Dia menghabiskan sisa sarapannya lalu menenggak air putih hingga habis.

"Ayah, jawab aku! Kenapa Ayah pilih kasih seperti ini?" Alan semakin menaikan nada bicaranya saking kesal melihat tak ada respon apapun dari sang ayah.

Kemudian Hari berdiri seraya merapikan jasnya. Dia menatap Alan dengan raut datar, namun sorot matanya begitu tajam.

"Sandra sudah punya segalanya."

Hanya itu yang Hari katakan sesaat sebelum beranjak pergi meninggalkan Alan yang terlihat sangat geram.

Alan geram karena Hari tak pernah menganggap Sandra sebagai menantu. Padahal di mata Alan, Sandra merupakan wanita idaman kaum pria. Dia seorang model profesional yang sangat sayang pada suami dan anaknya.

Kedua tangan Alan mengepal kuat hingga tampak urat nadinya menonjol. Dia melirik pada Rani yang dengan telaten menyuapi Jia.

Dalam hati, Alan bertanya-tanya apa gerangan yang membuat ayahnya begitu menyayangi Rani. Masih menatap Rani, Alan pun menyunggingkan sebuah seringai di bibir.

Apa istimewanya wanita itu? Apa dia sudah pernah menggoda ayah? Pasti dia yang meminta ke ayah supaya menikah sama aku. Kemarin saja, dia nggak malu membuka handuk di depan aku. Heh, dasar wanita murahan.

"Jia, ayo kita berangkat!" ucap Alan yang sudah tidak nafsu lagi melanjutkan sarapan.

"Sebentar, Papa. Jia belum selesai sarapannya."

"Kita berangkat sekarang atau Papa tinggal," ancam Alan yang melesat keluar ruangan begitu saja.

Membuat Jia panik dan segera turun dari kursi. Rani yang melihat Jia berlari menyusul Alan tanpa membawa tas sekolahnya pun berteriak memanggil anak kecil itu.

Rani mempercepat langkah kakinya hingga sampailah dia di teras rumah yang mana di sana Alan sudah menghadangnya.

Air muka Alan seperti sedang mengancam menjadikan tubuh Rani mematung seketika. Takut. Tentu saja. Rani takut menatap langsung wajah Alan sehingga dia memilih melempar pandangan ke arah lain.

Di saat itu, pandangan Rani dan Jia bertemu. Gadis kecil itu hendak masuk ke dalam mobil.

"Jia, ini tasnya," Rani berteriak dan berniat menghampiri Jia.

Namun, baru satu ayunan langkah kaki, Alan menghalangi Rani dengan cara mencengkram kuat lengannya.

"Kamu nggak perlu ikut anter Jia ke sekolah."

"Siapa juga yang mau anter Jia. Orang aku juga mau kerja, kok. Aku cuma bawain tasnya Jia doang."

"Kerja?" Alan mengulang ucapan Rani dengan menerbitkan seringai. "Bukannya kamu sudah bekerja dengan baik di rumah ini sebagai penghasut ayah? Sekarang katakan dengan jujur, apa kamu pernah tidur sama ayah aku?"

Seketika kedua bola mata Rani membelalak. Tanpa pikir panjang, dia langsung menoyor kepala Alan karena tak terima dengan ucapan laki-laki itu.

"Sembarangan kalau ngomong. Gini-gini aku masih perawan tingting. Sepertinya mulut kamu itu harus pakai seringai ya, supaya nggak ngomong sembarangan."

Rani menunduk melihat tangan Alan yang masih mencengkram lengannya. Lalu dengan menggunakan tangan yang terbebas, Rani memukul tangan Alan.

"Awas. Jangan pegang-pegang! Aku alergi sama cowok kepedean kaya kamu."

Tentu saja ucapan yang keluar dari mulut dari mengundang amarah Alan. Wajah pria itu pun memerah hanya dalam hitungan detik sebab baru pertama kali ini ada wanita yang berani menoyor kepalanya.

Bukan itu saja, Rani juga begitu berani memakinya. Di saat semua wanita bersikap manis manja di hadapan Alan, tapi berbeda dengan Rani yang bisa dibilang sangat tidak sopan.

Alan melototkan mata dan berkacak pinggang. Saat dia membuka mulut hendak memaki Rani, tiba-tiba Jia berteriak memanggil.

Kepala Jia yang kecil menyembul dari jendela mobil. Gadis itu memanggil Alan untuk segera berangkat.

Menyadari jika Jia sejak tadi memperhatikan dirinya dengan Rani, Alan memilih untuk tidak bertengkar di hadapan Jia. Dia menghela nafas untuk membuang emosi negatifnya. Lalu berjalan ke arah mobil.

"Awas saja, Rani. Masalah kita belum selesai."

Rani memandang punggung Alan yang semakin menjauh. Dia menirukan ucapan terakhir Alan lalu mendengus kesal.

Kalau bukan karena harus bergegas bekerja, mungkin Rani sudah melanjutkan pertengkaran mereka.

Teringat jika sekarang telah memiliki ponsel, Rani mencoba mengecek daftar nomor telepon di ponsel barunya. Dia terkejut ternyata Hari menyimpan nomor telepon semua teman kerja Rani, termasuk Denis.

"Kok Pak Hari bisa tahu semua temen aku ya? Tahu dari mana? Ah, sudahlah. Nggak penting," gumam Rani yang memilih mengabaikan hal yang menurutnya tidak terlalu penting untuk dipikirkan.

Lalu dia menelepon Denis yang sekarang ini masih berstatus kekasihnya karena Rani belum sempat bertemu dengan laki-laki itu semenjak Rani tahu akan dinikahkan.

"Halo, Kak Denis. Ini aku, Rani. Kita berangkat kerja bareng, yuk. Jemput aku ya! Oh, bukan. Bukan jemput di rumah paman aku. Nanti aku kirim alamatnya. Oke, Kak. Makasih."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status