Share

Putus

"Jia, semua sudah kamu bawa, kan? Nggak ada yang ketinggalan?" Alan bertanya sambil memasangkan sabuk pengaman pada Jia.

Gadis empat tahun itu mengerutkan dahi, lalu meraih tas dan melongok isinya. "Papa, kotak bekal aku ketinggalan."

Alan menghela nafas pelan. Diraihnya ponsel yang ada di atas dashboard mobil.

"Halo, Bi Wati. Tolong bawakan kotak makan Jia ke halaman depan sekarang!" Alan mematikan telepon dan kembali menaruh ponselnya. "Kita tunggu Bi Wati dulu."

"Papa, sepertinya Tante Rani mau pergi juga, deh. Sekalian aja sama kita, Pa," ucap Jia menunjuk Rani yang kini sudah berdiri di depan gerbang.

Tampak Rani tengah sibuk bermain ponselnya sambil sesekali tersenyum. Melihat Rani yang begitu senang memiliki ponsel pemberian ayahnya, Alan mendengus kesal.

"Nggak. Nggak perlu. Dia bisa naik angkot sendiri."

"Tapi di komplek kita nggak ada angkot, Pa. Harus jalan kaki dulu keluar komplek. Kasihan kan, Tante Rani."

Alan berdecak mendengar celoteh Jia yang lama kelamaan mirip gaya bicara Hari. "Biarin aja. Sekarang kan sudah ada ojek online."

Tidak lama setelah itu, Alan melihat sebuah pengendara sepeda motor sport berwarna merah berhenti tepat di hadapan Rani. Si pengendara itu memakai helm full face yang membuat Alan tak bisa mengenali wajahnya.

Kedua mata Alan memicing, memperhatikan Rani dan pria itu tanpa berkedip. Mereka berdua tampak akrab bahkan pria itu terlihat mencubit pipi Rani sekilas.

"Wah, motornya tukang ojek yang dipesan Tante Rani bagus banget, Pa," komentar Jia yang juga memperhatikan Rani.

Terlihat juga di depan gerbang sana, pria itu membantu memakaikan helm sesaat sebelum Rani naik ke atas motor.

Alan diam memperhatikan semua adegan mesra Rani yang melingkarkan tangan di perut pria itu sampai-sampai Alan tak menyadari jika sejak semenit yang lalu Bi Wati mengetuk-ngetuk kaca mobil.

"Papa, itu Bi Wati!"

Alan tersentak kaget, lalu segera menurunkan kaca jendela mobil. Dia menerima kotak bekal dari Bi Wati tanpa berkata apapun.

Kemudian, Alan langsung menancapkan gas sehingga mobil melaju ke jalanan menyusul Rani yang masih belum jauh.

Alan sengaja menjaga jarak mobilnya beberapa meter dari motor yang ditumpangi Rani. Dia tak mau Rani tahu jika dia mengikutinya.

Pandangan Alan tak pernah lepas dari Rani yang masih memeluk pria tak dikenal itu. Alan penasaran sekaligus merasa tidak terima jika Rani memiliki kekasih.

"Papa, ini kan bukan jalan yang biasa kita lewati," keluh Jia yang menyadari jika Alan telah salah belok.

"Apa? Enggak kok. Papa lagi cari jalan alternatif, Sayang."

"Papa lagi ngikutin Tante Rani ya?"

Alan tertawa garing, "Apa? Ngikutin Tante Rani? Mana ada Papa ngikutin dia. Ini cuma kebetulan aja kita satu arah."

Di depan sana, Alan melihat sepeda motor sport merah yang ditumpangi Rani berbelok ke sebuah pelataran Cafe. Maka Alan pun menghentikan mobilnya juga.

Dia menyipitkan mata untuk mempertajam penglihatan saat Rani yang turun dari motor. Alan ingin tahu wajah pria yang membawa Rani.

Namun, sayangnya pria itu tak lekas melepaskan helmnya. Bahkan pria itu terus memakai helm hingga masuk ke dalam cafe.

Alan mendengus kesal. Meskipun begitu, setidaknya sekarang Alan tahu tempat kerja Rani. Lama-kelamaan dia pasti tahu siapa pria yang baru saja menjemput istrinya.

"Papa, kok diem sih? Ada apa sih, Pa?"

"Nggak ada apa-apa kok," jawab Alan santai sambil kembali melajukan mobil.

Sepanjang perjalanan, pikiran Alan terus terganggu oleh sosok pria tadi. Alan menerka jika pria itu pastilah kekasih Rani.

Kalau Rani memang punya pacar, lalu kenapa dia mau nikah sama aku? Dia pasti cuma ngincar harta Ayah. Terus habis itu dia bisa kawin lari sama pacarnya itu.

Sambil tetap menatap lurus ke jalanan, Alan menerbitkan sebuah senyum seringai.

Awas saja kamu, Rani. Aku akan buat kamu ingin cepat-cepat cerai dari aku.

*

*

*

Begitu Denis menghentikan motornya di depan cafe, tempat mereka berdua bekerja, Rani segera turun dan melepas helmnya.

Rani merasakan ada seseorang yang sedang mengintainya dari jauh, sehingga dia pun menoleh ke arah jalanan. Melihat Rani yang tampak aneh, Denis pun mengerutkan dahi di balik helm full face-nya.

"Ada apa, Ran?"

Rani menggelengkan kepala sambil menyerahkan helm pada Denis, "Nggak ada apa-apa, Kak."

"Oh ya, kamu kenapa akhir-akhir ini nggak masuk kerja? Kamu sakit? Kamu bisa dipecat lho kalau keseringan absen," ucap Denis seraya turun dari sepeda motor.

"Aku..." Tiba-tiba saja Rani ragu untuk berkata jujur. Dia kembali menoleh ke arah jalanan, masih merasakan sesuatu yang aneh.

"Apa?"

Rani menggaruk tengkuknya yang sebenarnya tidak gatal. "Habis pulang kerja, aku mau ngomong sesuatu sama Kak Denis."

"Ngomong apa? Sekarang aja."

Rani menggelengkan kepala cepat. Dia belum siap bercerita pada Denis saat ini, "Nggak, Kak. Nanti aja. Ini sudah waktunya kita kerja."

Tanpa pikir panjang, Rani bergegas melenggang ke dalam cafe. Dia mengabaikan Denis yang memanggil namanya, hingga Denis pun ikut berlari mengejar Rani yang tampak berbeda dari sebelum terakhir mereka bertemu.

Rani terus berjalan hingga sampai di ruangan khusus karyawan, tempat dimana semua karyawan menyimpan barang milik mereka sebelum memulai bekerja.

Denis melepas helmnya ketika Rani sedang memasukan ponsel ke dalam laci. Lalu dengan cepat dia memutar bahu Rani agar gadis itu menatapnya.

Di ruangan itu hanya ada mereka berdua yang saling menatap dalam. Namun, beberapa saat berlalu Rani memilih memalingkan wajah dan berusaha melepaskan tangan Denis dari bahunya.

"Rani, please! Cerita sama aku, ada apa?" satu tangan Denis mengelus lembut pipi Rani. "Kamu disiksa lagi sama Paman kamu?"

Dengan wajah yang belum mampu menatap Denis, kedua bola mata Rani mulai berkaca-kaca, lalu dia berkata dengan suara serak, "Aku pengin kita putus."

"Apa?"

"Aku pengin kita akhiri saja hubungan kita, Kak." Suara Rani semakin serak. Dia menelan salivanya dan saat itu pula satu bulir bening mengalir di pipi. "Aku sudah menikah."

Denis diam sejenak. Dia masih belum tahu maksud pembicaraan Rani dan mengira pacarnya itu hanya sedang bercanda.

"Kamu serius, Ran? Kita putus semudah ini?"

"Aku sudah menikah, Kak. Aku sudah punya suami.

Tampak raut geram mulai menghiasi wajah Denis. Dia kembali mencengkram bahu Rani lalu mengguncangnya dengan kuat.

"Tapi kamu nggak cinta sama suami kamu, kan? Kamu pasti dipaksa. Kalau nggak, nggak mungkin kamu cerita sambil nangis begini."

Tebakan Denis memang seratus persen benar. Sehingga Rani tak perlu lagi menjelaskan panjang lebar, dia hanya mengangguk sambil terus terisak.

Denis diam menunggu Rani untuk sedikit bisa tenang. Dia sendiri pun masih memerlukan waktu untuk menerima jika Rani sekarang milik orang lain.

Denis dan Rani sudah menjalin hubungan sejak mereka masih di bangku SMA. Rani adalah adik kelas Denis hingga kini mereka bekerja di tempat yang sama selama empat tahun.

Tak heran jika Denis tahu betul latar belakang Rani serta cerita keluarga pamannya yang sering menyiksa Rani.

"Aku minta maaf, Kak. Paman Yudi ngurung aku di gudang. Sampai-sampai aku nggak bisa kemana-mana. Aku terpaksa menerima pernikahan itu karena ayah mertuaku siap menanggung semua pengobatan Rian."

Rani menarik nafas panjang serta menyeka pipinya yang basah. Kini tak ada lagi tangis air mata. Rani tak lagi menangis. Meski menyakitkan, tapi Rani harus kuat mengutarakan keinginannya.

"Aku ingin putus, Kak. Kak Denis bisa cari wanita lain yang sesuai sama keinginan keluarga Kak Denis. Aku berharap, Kak Denis bisa mencari pasangan yang sepadan. Mulai sekarang, lupakan aku, Kak!"

Rani hendak melangkah pergi meninggalkan Denis yang diam mematung. Namun, satu tangan Rani dicengkeram oleh Denis. Lalu tanpa disangka oleh Rani, Denis memeluknya begitu erat.

"Enggak, Ran. Aku nggak akan menyerah begitu saja. Kita sudah pacaran lama."

Rani berusaha melepas pelukan Denis. Meski dia tidak mencintai Alan, namun tetap saja statusnya kini adalah istri pria itu dan Rani harus menjaga sikap dengan pria lain.

"Enggak, Kak. Ini nggak benar."

"Aku akan cari cara supaya kamu bisa cerai dari suami kamu."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status