Share

Ini Kamarku

Sebuah mobil Lexus putih berhenti tepat di depan pintu masuk sebuah rumah besar. Lalu disusul dengan mobil BMW hitam yang berhenti tepat di belakang.

Rani keluar dari pintu mobil Lexus putih bersamaan dengan Hari. Dia menoleh ke arah mobil hitam di belakangnya yang mana kala itu Alan juga keluar dari sana.

Pria yang baru saja berstatus sebagai suami, sama sekali tidak melirik pada Rani. Dia hanya berjalan lurus ke dalam rumah dengan langkah cepat dan raut muka dingin. Bahkan untuk bercakap sepatah kata kepada sang ayah pun tidak.

Rani menghela nafas pelan. Entah akan seperti apa bahtera rumah tangga yang akan dia jalani nanti jika tidak ada perasaan apapun diantara dirinya dengan Alan.

"Dia memang seperti itu. Tapi sebenarnya dia pria yang baik," ucap Hari yang sejak tadi memperhatikan menantu barunya.

Rani tersenyum tipis pada Hari. "Iya, Pak Hari."

"Ayah," sanggah Hari sambil tersenyum. "Panggil saja ayah. Mulai sekarang aku adalah ayah kamu dan rumah ini rumahmu juga. Kamu bebas tinggal di dalamnya dengan semua fasilitas yang ada."

Rani menundukkan kepala sebagai rasa hormat. "Makasih, Pak. Eh, maksud saya, Ayah."

Kemudian Pak Hari memanggil wanita paruh baya yang kebetulan keluar dari pintu. Wanita yang biasa disapa Bi Wati itu mengangguk seraya tersenyum kala Pak Hari menyuruhnya untuk mengantarkan Rani ke dalam kamar.

Rani bersama Bi Wati masuk ke dalam rumah. Sepanjang kaki melangkah, Rani tak bisa melewatkan sedetikpun memandang setiap sudut rumah.

Baru pertama kali ini, Rani masuk ke dalam rumah seindah rumah Pak Hari. Semua perobotannya merupakan barang-barang yang indah dan pastinya sangat mahal.

Namun, semua kekaguman Rani tiba-tiba sirna kala dia menapaki anak tangga. Kebaya putih yang dikenakan menjadikan Rani susah berjalan cepat di tangga.

Kebaya putih itu pula yang menyadarkan Rani jika dirinya hanyalah seorang istri kedua atau lebih tepatnya, istri yang tak dianggap.

Alan dan Rani baru saja melangsungkan pernikahan di kantor KUA yang hanya dihadiri pihak keluarga inti. Tanpa ada pesta maupun resepsi apapun. Karena itu yang diminta Alan sebagai syarat dia mau menikahi Rani.

Sehingga belum banyak orang tahu jika Rani sekarang sudah menikah. Termasuk, Denis. Pria yang masih berstatus kekasih.

"Ini kamar Nona Rani," kata Bi Wati menunjuk sebuah pintu berbahan kayu jati. "Semua baju dan keperluan Nona sudah ada di dalam. Tapi kalau Nona masih perlu sesuatu bisa panggil saya."

Lamunan Rani buyar seketika kala Wati membukakan pintu dan tampaklah isi kamar yang luasnya tiga kali lipat dari kamar Rani di rumah Yudi. Rani melangkah masuk sambil memandang ke sekeliling ruangan.

Lalu Rani menyadari ada sebuah jas hitam yang tergeletak begitu saja di atas kasur. Rani mengenali jas itu adalah milik Alan.

"Ini kan, jas yang tadi dipakai si manusia es. Berarti aku bakal sekamar sama dia, dong," Rani menoleh ke kanan dan kiri dengan raut panik mencari sosok Alan.

Namun sayangnya tak ada siapapun di dalam kamar.

"Kemana tuh si manusia es? Ah, mumpung dia nggak ada, mending aku cepat-cepat ganti baju."

Dengan sigap, Rani menyambar sebuah handuk dan masuk ke dalam kamar mandi. Tak perlu waktu lama, Rani keluar dengan rambut basah lalu mengambil sebuah dress tidur.

Tepat saat dia membuka handuk yang melilit tubuhnya, pintu pun mengayun terbuka. Sontak membuat jantung Rani seolah melompat keluar saking kagetnya akan kedatangan Alan yang tiba-tiba.

Perasaan yang sama juga dialami Alan. Di wajahnya terlihat jelas raut kaget dan juga sorot mata penuh amarah.

Alan menutup pintu lalu berjalan ke arah Rani yang segera menutup tubuhnya dengan handuk. Pandangan mereka terus beradu, membuat jantung Rani berdetak lebih kencang.

Dilihatnya, Alan menarik salah satu sudut bibir membentuk seringai. "Kamu pikir, aku bakal tergoda sama badan kamu?"

Rani menunduk sekilas melihat ke arah badannya sendiri. "Memangnya siapa yang mau menggoda kamu."

"Heh, dengar! Aku menikahi kamu itu karena paksaan dari Ayah. Jadi meski kita sudah menikah, aku nggak akan pernah menyentuh kamu dan kamu pun bukan siapa-siapa di sini." Satu tangan Alan terulur menunjuk pintu. "Sekarang juga keluar dari sini. Ini kamar aku dengan Sandra."

"Ya nanti dulu lah. Orang aku juga belum pakai baju," ucap Rani ketus.

Melihat sikap Rani yang tak mengindahkan perintahnya, membuat Alan semakin naik pitam. Tampak jelas sekali jika istri keduanya ini tipe wanita pembangkang. Dia menarik satu lengan Rani dan menyeretnya menuju pintu.

"Aku nggak mau tahu. Pokoknya kamu keluar dari dari kamar ini!"

"Yang benar saja. Aku keluar dengan keadaan seperti ini? Yang ada nanti aku jadi tontonan gratis para pelayan kamu."

"Aku nggak peduli! Keluar!"

Konsentrasi Rani yang sepenuhnya mencoba untuk mempertahankan diri, menjadikan dia lupa akan lilitan handuk yang mulai kendor.

Dan hanya dalam hitungan detik, handuk itu pun merosot tanpa hambatan tepat di depan muka Alan. Karena terkejut, tarikan tangan Alan justru malah mendorong tubuh Rani ke dalam pelukannya.

Baik Rani dan Alan sama-sama membelalakkan mata. Beberapa saat berlalu mereka terdiam mematung dengan posisi berpelukan. Barulah ketika sadar, mereka berdua menjerit kencang.

Tok. Tok. Tok.

"Papa," panggil sebuah suara anak perempuan dari luar pintu. "Papa, are you oke?"

"Jia?" ucap Alan dengan bibir yang tiba-tiba pucat. Dia menoleh pada Rani yang segera meraih handuk. "Cepat pakai baju! Ada Jia di luar."

"Papa ada di dalam? Jia mau masuk," rengek Jia mengetuk pintu dengan tidak sabar.

"Iya, sebentar, Sayang. Papa bukain pintunya," Alan kembali melirik Rani yang masih belum selesai memakai baju.

Tanpa disadari, Alan menelan salivanya kala memperhatikan bentuk tubuh Rani yang meski berbadan mungil tapi setiap lekuknya begitu padat berisi.

"Cepat! Lama banget sih," ucap Alan dengan nada membentak meski di dalam hati dia masih ingin menikmati pemandangan di depan mata.

Begitu Rani selesai menarik resleting baju, Alan segera membuka pintu. Di depannya sudah berdiri anak perempuan berusia empat tahun yang membawa boneka tedy bear.

"Papa, mama mana? Kok nggak pulang-pulang, sih. Jia pengin main sama mama," Jia berkata sambil memanyunkan bibirnya yang sangat kecil dan tipis, membuat Rani yang melihatnya begitu sangat gemas.

"Mama masih sakit, Sayang. Belum bisa pulang ke rumah."

"Yah," keluh Jia penuh kekecewaan.

Masih dengan bibir cemberut, Jia melirik pada Rani. Mereka saling pandang hingga akhirnya Jia menunjuk Rani sambil bertanya, "Dia siapa, Pa?"

Alan menoleh pada Rani. Dengan sedikit ragu, Alan menjawab, "Dia pengasuh baru."

"Pengasuh?" Ulang Jia masih dengan tatapan memandang Rani.

"Iya, dia yang akan mengasuh dan ngajak main Jia mulai sekarang. Supaya Jia nggak sedih lagi. Sekarang main ya sama Mbak Rani."

Alan berjalan mendekat pada Rani. Di depan daun telinga Rani, Alan berbisik, "Meski kita sudah menikah, status kamu di sini hanya pengasuh. Aku sangat mencintai Sandra dan nggak akan mungkin aku cinta sama kamu. Ngerti, kamu?"

Rani menghela nafas, tampak santai menanggapi ucapan yang baru saja keluar dari mulut Alan. "Tenang saja. Aku cukup tahu diri kok."

Kemudian Rani berjongkok agar pandangannya sejajar dengan Jia. Dia tersenyum dan menggenggam kedua tangan mungil itu, "Jia, kita main rumah-rumahan, yuk."

"Ayo," ucap Jia seketika berubah riang. "Jia ada mainan baru loh. Dibeliin sama Opa."

Rani menuntun tangan Jia keluar dari kamar. Sambil melangkah pergi, Rani melirik sekilas pada Alan yang masih berdiri dengan kedua tangan dimasukan ke dalam saku celana.

"Dasar sombong banget. Awas saja kalau dia sampai benar-benar jatuh hati sama aku, aku nggak akan pernah terima cintanya."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status