Plak.
Tamparan keras mengenai pipi Rani. Gadis dua puluh dua tahun itu dapat merasakan pipi kirinya memanas dan berdenyut sakit. Sambil memegangi sebelah pipi, Rani menoleh pada pria yang baru saja menamparnya. Dia tak lain adalah paman Rani sendiri yang bernama Yudi. Kumis Yudi yang tampak lebat terlihat bergerak-gerak. Yudi pun tengah membalas tatapan Rani tak kalah tajam seraya mengetatkan rahang. "Mau Paman tampar aku seratus kali pun, aku tetep nggak akan mau nikah sama anaknya Pak Hari," ucap Rani tak ada keraguan sama sekali. Mega, Bibi Rani, pun ikut geram. Wanita yang tak jauh berbeda gemuknya dengan Yudi itu berjalan menghampiri Rani dan langsung menoyor kepala keponakannya. "Anak nggak tahu diri," bentak Mega. "Kami sudah susah-susah merawat kamu sama adik kamu yang penyakitan itu tapi mana balas budi kalian buat kami?" "Benar apa Bibi kamu. Lagipula sekarang ini Rian sedang butuh biaya buat operasi. Memangnya kamu nggak kasihan sama Rian? Apa kamu nggak mau lihat Rian sembuh?" ucap Yudi menambahkan agar Rani menurut. Dia sangat yakin kalau Rani tidak akan menolak apapun jika hal itu sudah menyangkut kesembuhan adiknya. "Pria itu sudah punya istri dan aku nggak mau jadi pelakor," Rani menghela nafas, lalu menatap Mega dan Yudi bergantian. "Lagipula aku tahu, kalian memaksa aku menikah bukan untuk kesembuhan Rian. Tapi supaya kalian bisa menikmati harta Pak Hari. Iya, kan?" "Kamu..." geram Mega melototkan mata dan satu tangannya terayun siap memukul Rani. Namun, dengan segera Yudi mencegah tangan istrinya. "Biar Papa saja, Ma," Yudi memalingkan wajah ke arah Rani. Kali ini Yudi harus bisa sedikit lebih bersabar menangani keponakannya yang memang keras kepala. "Rani, kamu nggak perlu mikir hal itu, karena Pak Hari sendiri yang minta anaknya untuk poligami." "Tapi aku tetap nggak mau!" seru Rani memotong penjelasan dari Yudi. "Denis sudah janji melamar aku tahun depan." Seketika Mega tertawa terbahak-bahak begitu mendengar nama Denis disebutkan. Dia tahu betul jika pemuda itu tidak akan melamar Rani sampai kapan pun karena orang tua Denis tidak menyetujui hubungan anaknya dengan Rani. "Kamu masih percaya sama laki-laki itu? Sudahlah, Rani. Pilih yang jelas-jelas ada di depan mata! Kalau kamu jadi menantunya Pak Hari, hidup kamu akan terjamin." Rani tersenyum menyeringai, lalu berkata, "Hidup aku atau hidup kalian yang terjamin? Hah?" Plak. Satu lagi tamparan mengenai pipi Rani. Rasa sakit yang belum hilang kini harus tertimpa oleh rasa sakit yang bertambah. Dada Yudi sudah naik turun selaras dengan deru nafasnya yang memburu. Kali ini batas kesabaran Yudi sudah habis. Secepat kilat, tangan Yudi menyeret lengan Rani dan menariknya menuju belakang rumah. Rani memberontak tapi sayang, tenaganya kalah jauh dengan sang paman yang bertubuh gemuk. Usaha Rani untuk melepaskan tangan dari cengkraman Yudi tak membuahkan hasil. Semakin dia memberontak, semakin kuat pegangan Yudi. "Dasar anak nggak tahu sopan santun! Ini hukumannya kalau kamu nggak nurut sama Paman," Yudi menoleh pada Mega yang berjalan santai mengikutinya hingga ke belakang rumah. "Ma, buka pintu gudang! Kita kurung anak ini sampai mati kelaparan." Dengan senang hati, Mega menurut apa yang diperintahkan suaminya. Dia membuka pintu gudang, lalu segera Yudi mendorong tubuh Rani masuk ke dalam. Dorongan Yudi begitu kuat hingga tubuh Rani jatuh ke atas lantai yang dingin dan berdebu. Lalu Rani berusaha bangun dan berlari ke arah pintu, tapi terlambat. Pintu sudah terlanjur ditutup rapat oleh Yudi dan digembok dari luar. "Sekarang kamu pilih mana, mati kelaparan disitu atau kamu nurut sama Paman?" teriak Yudi dari balik pintu. "Oh ya, satu lagi. Kalau kamu masih ngeyel, kami nggak akan peduli lagi sama Rian. Biarin dia mati karena penyakitnya itu," Mega menambahkan sebelum akhirnya dia pergi meninggalkan halaman belakang rumah. "Paman, Bibi, buka pintunya! Aku nggak mau dikurung lagi," teriak Rani seraya menggedor pintu. Namun, tampaknya Yudi dan Mega sudah pergi dan tidak akan mendengar teriakan Rani. Dia menghela nafas lalu berbalik badan menyandar pada daun pintu. Perlahan tapi pasti tubuh Rani merosot ke bawah hingga dia terduduk di lantai. Dia terdiam meratapi garis hidupnya yang sangat menyengsarakan. Sejak usia tujuh tahun, Rani sudah menjadi anak yatim piatu. Mau tak mau dia dan Rian harus diasuh oleh Yudi yang merupakan adik dari ayahnya. Namun, Yudi memperlakukan Rani dan Rian layaknya pembantu, bahkan lebih buruk lagi. Belum sampai di situ penderitaan Rani. Dua tahun yang lalu, Rian didiagnosa oleh dokter bahwa ada sel kanker yang tumbuh di dalam paru-paru. Sejak saat itu, Rani bekerja siang dan malam agar adiknya sembuh. Hanya saja, Mega selalu mengambil paksa uang Rani sehingga uang tabungannya tak pernah terkumpul. Rani menunduk memeluk lututnya dan mulai menangis. Dia berjanji pada dirinya sendiri, dia harus bisa hidup bahagia bersama sang adik. "Saat ini aku hanya punya Rian. Aku nggak mau Rian pergi. Sepertinya aku nggak punya pilihan lain," gumam Rani menghapus air matanya. "Maaf, Denis. Aku harus menikah dengan pria lain." * * * "Aku nggak habis pikir sama Ayah. Aku sudah punya Sandra dan nggak mungkin aku menduakan Sandra sementara dia sedang kritis di rumah sakit," seorang pria muda berbicara dengan nada keras di hadapan ayahnya yang tengah duduk di kursi kerja. Hari mendongak dari dokumen yang dia baca, menatap putra semata wayangnya yang bernama Alan dengan sorot mata tajam. Sedangkan Alan menarik nafas panjang, berusaha mengatur emosinya agar tidak meledak dan hanya akan membuat sang ayah semakin memaksanya menikahi perempuan lain. "Ayah, tolong! Terima Sandra sebagai menantu Ayah. Perlakukan dia seperti anak Ayah sendiri. Bagiamana perasaan Sandra nanti kalau dia tahu aku poligami?" ucap Alan menampilkan raut wajah memelas. Namun, Hari tampak tak memperdulikan raut memelas Alan. Sejak awal, Hari memang tidak pernah menyukai Sandra. Hal itu karena Sandra yang berprofesi sebagai model sering ketahuan dekat dengan pria lain. Hari sudah berulang kali menjelaskan pada Alan. Hanya saja Alan sudah dibutakan oleh cinta yang membuatnya selalu memaklumi segala perilaku Sandra. "Ayah minta kamu nikahi gadis itu atau..." Hari menaruh berkas ke atas meja lalu mendorongnya ke arah Alan. Sekilas Alan melirik berkas yang ditunjukan Hari. Di lembaran kertas paling atas terdapat beberapa foto kecelakaan mobil yang telah membuat Sandra terbaring di rumah sakit. "Ayah sudah memiliki bukti-bukti jika penyebab kecelakaan itu karena Sandra mabuk saat sedang mengendarai mobil. Kalau Ayah mau, Ayah bisa memenjarakan Sandra dengan Pasal 311 UU LLAJ," Hari terus menatap Alan yang menunduk menatap berkas di hadapannya. Dia menyandarkan punggung tanpa sedikitpun berpaling dari wajah Alan. "Tapi Ayah bisa menghilangkan semua bukti itu, jika kamu menuruti permintaan Ayah." Alan mengendus kesal. Lalu dia menatap sang ayah dengan tak kalah tajam. "Kenapa Ayah ingin sekali aku menikahi gadis itu? Memangnya siapa dia?" Hari tak menjawab hanya memalingkan muka dengan ekspresi yang datar. Meski begitu pancaran matanya seolah tengah menyembunyikan sesuatu. "Kamu akan tahu nanti."Sebuah mobil Lexus putih berhenti tepat di depan pintu masuk sebuah rumah besar. Lalu disusul dengan mobil BMW hitam yang berhenti tepat di belakang.Rani keluar dari pintu mobil Lexus putih bersamaan dengan Hari. Dia menoleh ke arah mobil hitam di belakangnya yang mana kala itu Alan juga keluar dari sana.Pria yang baru saja berstatus sebagai suami, sama sekali tidak melirik pada Rani. Dia hanya berjalan lurus ke dalam rumah dengan langkah cepat dan raut muka dingin. Bahkan untuk bercakap sepatah kata kepada sang ayah pun tidak.Rani menghela nafas pelan. Entah akan seperti apa bahtera rumah tangga yang akan dia jalani nanti jika tidak ada perasaan apapun diantara dirinya dengan Alan."Dia memang seperti itu. Tapi sebenarnya dia pria yang baik," ucap Hari yang sejak tadi memperhatikan menantu barunya.Rani tersenyum tipis pada Hari. "Iya, Pak Hari.""Ayah," sanggah Hari sambil tersenyum. "Panggil saja ayah. Mulai sekarang aku ad
Pagi hari, Hari sudah ada di ruang makan dengan menggenakan setelan jas silver. Dia terus mengetik layar ponselnya kala Alan berjalan masuk.Alan menarik kursi, duduk di sebelah ayahnya, dan mengambil sepotong roti. Dia menengok kanan kiri dan baru menyadari jika Jia belum ada di ruang makan."Jia mana, Yah? Kok tumben jam segini belum sarapan?" tanya Alan melirik jam tangannya."Tadi sih Ayah lihat dia masih dimandiin sama Rani," Hari menjawab sembari mematikan ponsel lalu beralih pada menu sarapannya pagi ini.Sementara, Alan mengerutkan dahi terheran sebab jarang Jia mau dimandikan oleh orang lain selain dengan Sandra. Masih dengan rasa tak percaya, Alan seketika melirik ke arah pintu dimana Jia sedang berjalan menuntun Rani.Dua gadis beda generasi itu berbincang saat memasuki ruang makan. Kemudian Rani menarikkan kursi untuk Jia yang berseberangan dengan Alan.Jia yang sudah rapi memakai seragam sekolah, menyapa Alan da
"Jia, semua sudah kamu bawa, kan? Nggak ada yang ketinggalan?" Alan bertanya sambil memasangkan sabuk pengaman pada Jia.Gadis empat tahun itu mengerutkan dahi, lalu meraih tas dan melongok isinya. "Papa, kotak bekal aku ketinggalan."Alan menghela nafas pelan. Diraihnya ponsel yang ada di atas dashboard mobil. "Halo, Bi Wati. Tolong bawakan kotak makan Jia ke halaman depan sekarang!" Alan mematikan telepon dan kembali menaruh ponselnya. "Kita tunggu Bi Wati dulu.""Papa, sepertinya Tante Rani mau pergi juga, deh. Sekalian aja sama kita, Pa," ucap Jia menunjuk Rani yang kini sudah berdiri di depan gerbang. Tampak Rani tengah sibuk bermain ponselnya sambil sesekali tersenyum. Melihat Rani yang begitu senang memiliki ponsel pemberian ayahnya, Alan mendengus kesal."Nggak. Nggak perlu. Dia bisa naik angkot sendiri.""Tapi di komplek kita nggak ada angkot, Pa. Harus jalan kaki dulu keluar komplek. Kasihan kan, Tante Rani."
Tengah malam, Rani melenggang masuk ke dalam rumah dengan langkah gontai. Suasana rumah begitu sepi, mungkin karena semua penghuninya sudah terlelap.Kalau Rani tidak menelepon satpam rumah untuk membukakan gerbang, sudah dipastikan Rani akan tidur di luar.Tepat saat Rani melangkah melewati ruang tamu, tiba-tiba saja lampu menyala terang benderang, membuat Rani dapat melihat Alan yang tengah duduk di sofa.Alan duduk sambil menyilangkan tangan di depan dada dengan sorot mata tajam tepat mengenai Rani. Pria itu memakai setelan piyama dan ada sebuah koper besar di sampingnya."Dari mana saja kamu? Jam segini baru pulang?" tanya Alan dengan nada yang begitu dingin.Rani melungkarkan bola matanya, malas berdebat dengan Alan tapi di tetap menjawab, "Aku ada lemburan. Makanya pulang malam.""Lemburan atau malah pacaran, hah?""Alan? Ada apa ini? Kenapa berteriak malam-malam begini?" Teguran dari Hari sontak membuat Alan
Bi Wati sedikit terheran begitu pagi menjelang karena kamar sebelah yang biasa kosong, pagi ini terdengar samar-samar suara orang berceloteh.Bi Wati mengayunkan tangan hendak mengetuk pintu. Namun, ternyata pintu itu sudah terbuka terlebih dahulu yang membuat Bi Wati tersentak kaget.Rani juga sama kagetnya. Dia yang berniat keluar kamar hendak berjemur, dikejutkan dengan kemunculan Bi Wati di depan pintu."Nona Rani? Kenapa Nona dari dalam kamar ini?" "Ini sekarang kamar aku, Bi."Dahi Bi Wati mengerut dan matanya menyipit setelah melihat ada benda seperti kelopak bunga yang tersemat di rambut Rani. "Ini apa, Nona? Kenapa ada bunga di rambut Nona Rani?""Oh itu," ucap Rani begitu Bi Wati mengambil sebuah kelopak bunga mawar merah dari rambutnya. "Tadi aku habis mandi pakai bunga tujuh rupa.""Hah? Buat apa?" Kerutan di dahi Bi Wati semakin terlihat jelas."Soalnya tadi malam..." Rani segera merapatkan mulut ragu untuk bercerita pada Bi Wati jika semalam dia berciuman dengan Alan.
Rani menyembulkan kepala dari balik pintu lalu terbesit sebuah senyuman kala melihat sesosok remaja yang tengah duduk di ranjang rumah sakit.Sama halnya dengan Rani, remaja laki-laki itu juga tersenyum mendapati sang kakak datang menjenguknya. Dia meletakan kembali buku yang sejak tadi dibacanya ke meja samping tempat tidur.Terlebih begitu Rani melangkah masuk, Rian tak kuasa menahan rasa bahagianya. Disusul oleh Jia yang ikut melesat ke dalam ruangan. Namun, Jia tak menyapa Rian. Dia langsung mengambil tempat duduk di sofa."Kakak," ucap Rian sumringah."Gimana kabar kamu? Maafin Kakak karena nggak bisa nemenin kamu di sini," Rani memeluk erat sambil mengusap kepala adiknya."Nggak apa-apa, Kak. Lagian Pak Hari sudah memperkerjakan seorang perawat yang khusus jagain aku. Pak Hari baik banget deh, Kak. Beliau juga cerita ke aku katanya mau beliin rumah supaya aku nggak perlu serumah lagi sama Paman."Pupil mata Rani melebar mendengar cerita Rian. Pasalnya dia tak pernah mendengar j
Satu pekan telah berlalu, dan hari di mana lomba memasak pun tiba. Jia sudah sangat bersemangat berangkat ke sekolah sejak pagi buta.Berbeda dengan Alan yang sedikit tak bersemangat. Saat di meja makan pun, tatapan kesal Alan tak pernah lepas dari Rani yang tengah menyuapi Jia.Semakin hari, Rani semakin dekat dengan Jia. Bahkan kini Jia sudah tidak mau tidur dengan Alan. Putri kecilnya itu lebih memilih tidur dengan Rani. Jika dilarang, Jia akan merengek yang membuat Alan sakit telinga. Sehingga mau tak mau Alan mempersilahkan keinginan Jia. Dalam hati, Alan selalu berpikir, entah mantra apa yang diberikan Rani pada Jia dan juga ayahnya."Papa, ayo kita ke pergi. Nanti terlambat," celoteh Jia yang menyudahi acara sarapannya. Dia turun dari kursi dan mengambil tas kecil berwarna merah muda."Jia tunggu di mobil, biar Papa habiskan dulu sarapannya," saran Rani pada Jia agar dia sendiri juga ada alasan untuk segera pergi dari ruang makan.Rani tak tahan lagi dilirik oleh Alan dengan
"Rani! Rani!"Denis berteriak memanggil Rani begitu melihat gadis itu hendak memasuki cafe. Tampak Rani menghentikan langkahnya, lalu memutar badan menoleh pada Denis.Rani menarik ujung bibirnya membentuk senyum canggung. Denis yang berjalan menghampiri Rani tahu persis jika gadis itu kini telah berubah total semenjak menikah dengan pria yang bernama Alan."Kemarin kamu habis dari mana? Kenapa nggak masuk kerja?""Ada perlu, Kak," jawab Rani singkat yang dengan cepat ingin masuk ke dalam cafe untuk memulai bekerja.Akan tetapi Denis menahan lengan Rani. "Tunggu! Kamu habis jalan sama suami kamu?"Rani menunduk untuk menyembunyikan wajahnya yang telah semerah buah tomat. Dia tak tahu harus menjawab apa pada Denis."Kalau diam berarti iya. Habis pulang kerja kita jalan, yuk. Aku ada yang ingin diobrolin sama kamu."Masih dengan wajah yang menunduk, Rani tak menjawab pertanyaan dari Denis. Dia tak tahu harus berkata apa pada pria itu. Penjelasan sudah Rani utarakan pada Denis dan permi