Share

Mendua Kala Istriku Koma
Mendua Kala Istriku Koma
Author: Tria Sulistia

Terpaksa

Plak.

Tamparan keras mengenai pipi Rani. Gadis dua puluh dua tahun itu dapat merasakan pipi kirinya memanas dan berdenyut sakit.

Sambil memegangi sebelah pipi, Rani menoleh pada pria yang baru saja menamparnya. Dia tak lain adalah paman Rani sendiri yang bernama Yudi.

Kumis Yudi yang tampak lebat terlihat bergerak-gerak. Yudi pun tengah membalas tatapan Rani tak kalah tajam seraya mengetatkan rahang.

"Mau Paman tampar aku seratus kali pun, aku tetep nggak akan mau nikah sama anaknya Pak Hari," ucap Rani tak ada keraguan sama sekali.

Mega, Bibi Rani, pun ikut geram. Wanita yang tak jauh berbeda gemuknya dengan Yudi itu berjalan menghampiri Rani dan langsung menoyor kepala keponakannya.

"Anak nggak tahu diri," bentak Mega. "Kami sudah susah-susah merawat kamu sama adik kamu yang penyakitan itu tapi mana balas budi kalian buat kami?"

"Benar apa Bibi kamu. Lagipula sekarang ini Rian sedang butuh biaya buat operasi. Memangnya kamu nggak kasihan sama Rian? Apa kamu nggak mau lihat Rian sembuh?" ucap Yudi menambahkan agar Rani menurut. Dia sangat yakin kalau Rani tidak akan menolak apapun jika hal itu sudah menyangkut kesembuhan adiknya.

"Pria itu sudah punya istri dan aku nggak mau jadi pelakor," Rani menghela nafas, lalu menatap Mega dan Yudi bergantian. "Lagipula aku tahu, kalian memaksa aku menikah bukan untuk kesembuhan Rian. Tapi supaya kalian bisa menikmati harta Pak Hari. Iya, kan?"

"Kamu..." geram Mega melototkan mata dan satu tangannya terayun siap memukul Rani. Namun, dengan segera Yudi mencegah tangan istrinya.

"Biar Papa saja, Ma," Yudi memalingkan wajah ke arah Rani. Kali ini Yudi harus bisa sedikit lebih bersabar menangani keponakannya yang memang keras kepala. "Rani, kamu nggak perlu mikir hal itu, karena Pak Hari sendiri yang minta anaknya untuk poligami."

"Tapi aku tetap nggak mau!" seru Rani memotong penjelasan dari Yudi. "Denis sudah janji melamar aku tahun depan."

Seketika Mega tertawa terbahak-bahak begitu mendengar nama Denis disebutkan. Dia tahu betul jika pemuda itu tidak akan melamar Rani sampai kapan pun karena orang tua Denis tidak menyetujui hubungan anaknya dengan Rani.

"Kamu masih percaya sama laki-laki itu? Sudahlah, Rani. Pilih yang jelas-jelas ada di depan mata! Kalau kamu jadi menantunya Pak Hari, hidup kamu akan terjamin."

Rani tersenyum menyeringai, lalu berkata, "Hidup aku atau hidup kalian yang terjamin? Hah?"

Plak.

Satu lagi tamparan mengenai pipi Rani. Rasa sakit yang belum hilang kini harus tertimpa oleh rasa sakit yang bertambah.

Dada Yudi sudah naik turun selaras dengan deru nafasnya yang memburu. Kali ini batas kesabaran Yudi sudah habis. Secepat kilat, tangan Yudi menyeret lengan Rani dan menariknya menuju belakang rumah.

Rani memberontak tapi sayang, tenaganya kalah jauh dengan sang paman yang bertubuh gemuk. Usaha Rani untuk melepaskan tangan dari cengkraman Yudi tak membuahkan hasil. Semakin dia memberontak, semakin kuat pegangan Yudi.

"Dasar anak nggak tahu sopan santun! Ini hukumannya kalau kamu nggak nurut sama Paman," Yudi menoleh pada Mega yang berjalan santai mengikutinya hingga ke belakang rumah. "Ma, buka pintu gudang! Kita kurung anak ini sampai mati kelaparan."

Dengan senang hati, Mega menurut apa yang diperintahkan suaminya. Dia membuka pintu gudang, lalu segera Yudi mendorong tubuh Rani masuk ke dalam.

Dorongan Yudi begitu kuat hingga tubuh Rani jatuh ke atas lantai yang dingin dan berdebu. Lalu Rani berusaha bangun dan berlari ke arah pintu, tapi terlambat. Pintu sudah terlanjur ditutup rapat oleh Yudi dan digembok dari luar.

"Sekarang kamu pilih mana, mati kelaparan disitu atau kamu nurut sama Paman?" teriak Yudi dari balik pintu.

"Oh ya, satu lagi. Kalau kamu masih ngeyel, kami nggak akan peduli lagi sama Rian. Biarin dia mati karena penyakitnya itu," Mega menambahkan sebelum akhirnya dia pergi meninggalkan halaman belakang rumah.

"Paman, Bibi, buka pintunya! Aku nggak mau dikurung lagi," teriak Rani seraya menggedor pintu.

Namun, tampaknya Yudi dan Mega sudah pergi dan tidak akan mendengar teriakan Rani. Dia menghela nafas lalu berbalik badan menyandar pada daun pintu.

Perlahan tapi pasti tubuh Rani merosot ke bawah hingga dia terduduk di lantai. Dia terdiam meratapi garis hidupnya yang sangat menyengsarakan.

Sejak usia tujuh tahun, Rani sudah menjadi anak yatim piatu. Mau tak mau dia dan Rian harus diasuh oleh Yudi yang merupakan adik dari ayahnya.

Namun, Yudi memperlakukan Rani dan Rian layaknya pembantu, bahkan lebih buruk lagi. Belum sampai di situ penderitaan Rani.

Dua tahun yang lalu, Rian didiagnosa oleh dokter bahwa ada sel kanker yang tumbuh di dalam paru-paru. Sejak saat itu, Rani bekerja siang dan malam agar adiknya sembuh.

Hanya saja, Mega selalu mengambil paksa uang Rani sehingga uang tabungannya tak pernah terkumpul.

Rani menunduk memeluk lututnya dan mulai menangis. Dia berjanji pada dirinya sendiri, dia harus bisa hidup bahagia bersama sang adik.

"Saat ini aku hanya punya Rian. Aku nggak mau Rian pergi. Sepertinya aku nggak punya pilihan lain," gumam Rani menghapus air matanya. "Maaf, Denis. Aku harus menikah dengan pria lain."

*

*

*

"Aku nggak habis pikir sama Ayah. Aku sudah punya Sandra dan nggak mungkin aku menduakan Sandra sementara dia sedang kritis di rumah sakit," seorang pria muda berbicara dengan nada keras di hadapan ayahnya yang tengah duduk di kursi kerja.

Hari mendongak dari dokumen yang dia baca, menatap putra semata wayangnya yang bernama Alan dengan sorot mata tajam.

Sedangkan Alan menarik nafas panjang, berusaha mengatur emosinya agar tidak meledak dan hanya akan membuat sang ayah semakin memaksanya menikahi perempuan lain.

"Ayah, tolong! Terima Sandra sebagai menantu Ayah. Perlakukan dia seperti anak Ayah sendiri. Bagiamana perasaan Sandra nanti kalau dia tahu aku poligami?" ucap Alan menampilkan raut wajah memelas.

Namun, Hari tampak tak memperdulikan raut memelas Alan. Sejak awal, Hari memang tidak pernah menyukai Sandra. Hal itu karena Sandra yang berprofesi sebagai model sering ketahuan dekat dengan pria lain.

Hari sudah berulang kali menjelaskan pada Alan. Hanya saja Alan sudah dibutakan oleh cinta yang membuatnya selalu memaklumi segala perilaku Sandra.

"Ayah minta kamu nikahi gadis itu atau..." Hari menaruh berkas ke atas meja lalu mendorongnya ke arah Alan.

Sekilas Alan melirik berkas yang ditunjukan Hari. Di lembaran kertas paling atas terdapat beberapa foto kecelakaan mobil yang telah membuat Sandra terbaring di rumah sakit.

"Ayah sudah memiliki bukti-bukti jika penyebab kecelakaan itu karena Sandra mabuk saat sedang mengendarai mobil. Kalau Ayah mau, Ayah bisa memenjarakan Sandra dengan Pasal 311 UU LLAJ," Hari terus menatap Alan yang menunduk menatap berkas di hadapannya. Dia menyandarkan punggung tanpa sedikitpun berpaling dari wajah Alan. "Tapi Ayah bisa menghilangkan semua bukti itu, jika kamu menuruti permintaan Ayah."

Alan mengendus kesal. Lalu dia menatap sang ayah dengan tak kalah tajam. "Kenapa Ayah ingin sekali aku menikahi gadis itu? Memangnya siapa dia?"

Hari tak menjawab hanya memalingkan muka dengan ekspresi yang datar. Meski begitu pancaran matanya seolah tengah menyembunyikan sesuatu.

"Kamu akan tahu nanti."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status