Tak ada hujan atau badai, suami Najwa mengatakan telah menikah lagi. Rafa, sang suami beralasan tak mau terjebak zina karena selalu bertemu dengan Laila. Dunia Najwa runtuh seketika. Ingin rasanya menyerah, tetapi dia ingat janji kepada sang ayah yang memintanya menikah satu kali seumur hidup. Namun, adil yang dijanjikan Rafa hanya di bibir saja, karena lelaki itu lebih sering bersama Laila dengan alasan wanita itu sedang mengandung buah hati mereka. Sanggupkah Najwa bertahan atau memilih berpisah dari sang suami?
View More"Ayah, maaf, tapi aku benar-benar kecewa. Selama ini aku menerima kekurangan Najwa tanpa pernah mengeluh. Bahkan, aku menutupi fakta kalau dia mandul agar tak rendah diri. Namun, apa balasannya padaku?"Aku menatap nanar ke arah Rafa, belum cukup luka yang dia gores kini di depan Ayah dan Bastian membuka aibku. Terbuat dari apa hati lelaki itu?"Sudah cukup kau merendahkan putriku?" Suara Ayah bergetar, aku bisa melihat hati lelaki itu sama hancurnya denganku. "Aku yang membesarkannya dengan tanganku, melihatnya tumbuh dan berkembang. Aku sangat tahu putriku tak akan berbuat hal sekeji itu. Dan kau sebagai suami harusnya mengenal seperti apa istrimu. Tanya hatimu, apa mungkin dia melakukan perbuatan hina yang kau tuduhkan?"Aku mendekat ke Ayah. Membiarkan tangisku pecah di balik punggungnya. Baru tadi pagi menata hati, menerima kekuaranganku. Baru tadi pagi aku belajar ikhlas harus berbagi suami, tetapi kini lelaki itu menghancurkan semuanya. Di mana cinta untukku dia letakkan?"Maaf
"Aku jatuh cinta padamu saat pertama kali kita bertemu." Lugas sekali kata-kata itu keluar dari mulut Bastian. Aku rasa laki-laki itu sudah tidak waras. Padahal dia tahu dengan jelas aku wanita bersuami. "Sebaiknya aku pulang." Aku bangkit dari kursi dengan cepat sehingga kursi yang aku duduki bergeser ke belakang. "Eh, tunggu, kenapa tiba-tiba? Apa kau marah karena ucapanku tadi?" Bastian menghadang sehingga gerakku tertahan. "Apa kau sadar yang kau ucapkan tadi? Aku bukan wanita lajang, berani sekali kau mengatakan ingin menikahiku." Aku merendahkan suara, tetapi tatapanku menajam ke arahnya. Enak saja bilang cinta, dia pikir aku wanita gampangan yang tak bisa menjaga marwahku? Walau pun luka yang diberi Rafa masih berdarah, tak akan membuatku mencari pelampiasan lelaki lain. Tidak, aku tak serendah itu! Alih-alih Bastian tertawa mendengar racauanku, sepasang matanya menyipit menciptakan kerutan di sudut matanya. "Hei, aku bilang kalau kamu bercerai dengannya, bukan merebutmu
"Jalan, Pak," pintaku setelah masuk kembali ke dalam taksi, tangisku kembali pecah membuat sang sopir menatapku sekilas dari kaca spion. "Mbak baik-baik saja?" tanya sopir itu setelah aku sedikit tenang. Tatapannya masih ke depan mengawasi jalan raya. "Iya," jawabku singkat sambil menyeka pipiku yang basah. "Kita ke mana, Mbak?" "Mutar-mutar saja, Pak." Aku tak tahu harus ke mana, rasanya kepalaku terasa berat hingga tak bisa berpikir jernih. Beruntung sopir taksi itu tidak bertanya lebih jauh. Malu rasanya menangis di depan orang asing, tetapi kata-kata Ibu Rafa terus terngiang-ngiang di benakku menghadirkan setumpuk rasa kecewa yang menggores dada. Setidakberharga itu aku di matanya. Benakku menggali ingatan apakah aku pernah menyakiti beliau walau sekali saja, hingga sangat besar ketidaksukaannya padaku? "Mas, sepertinya Bunda tidak menyukaiku." "Itu perasaanmu saja." "Masak, sih, Mas? Setiap aku ke rumah Bunda dia selalu diam, seolah-olah tidak berkenan aku menyambangi
Mataku tak lepas mengawasi Riana membungkuk mengambil botol yang lepas dari pegangannya. Raut gadis itu terlihat gugup membuatku semakin yakin ada yang dia sembunyikan. "Rin, bisakah kau menjawab pertanyaanku?" Nada suaraku memohon, tatapanku lekat mengunci wajah gadis tersebut. Riana menghela napas, dia memutar-mutar botol plastik di tangan sebelum menatapku balik. "Maaf, Najwa, aku tidak tahu harus mulai dari mana." Dadaku seperti dihantam batu, kata-kata Riana seakan menjawab prasangkaku. "Kau bisa mulai dari menjawab pertanyaanku. Apa kau mengenal Laila?" Anggukan Riana membuat tubuhku terasa ringan, seolah-olah bangku yang aku duduki amblas ke dasar bumi. "Kau tahu Mas Rafa menikah dengan Laila?" Lagi gadis berhijab lebar itu mengangguk membuat darahku mendidih, nyaris meledak andai tidak beristigfar berkali-kali. Aku menyatukan kedua telapak tangan lalu meremas dengan kuat untuk menentralisir amarah yang meletup-letup di dada. Mataku memanas dan dengan cepat menggenangka
Tanganku gemetar menyimpan hasil pemeriksaaan laboratorium ke dalam tas. Seketika aku merasa kosong, benak pun tak mampu berpikir dengan baik. Hasil pemeriksaan yang tertulis di kertas tadi rahasia besar yang melemahkan seluruh sendi-sendi tubuhku. Ingatanku terlempar ke masa lalu, kurang lebih satu setengah tahun yang lalu. Kala itu Rafa membawaku berobat, bahkan setiap satu bulan sekali pasti ada obat dari dokter yang diresepkan untukku. Aku sama sekali tak curiga setiap Rafa memberiku obat terus-menerus setiap hari selama enam bulan. Saking muaknya aku diam-diam membuang obat yang dia berikan. Aku berkedip untuk menghalau linangan yang berkumpul di kelopak mata. Semua kata-kata kasar yang aku ujarkan selama beberapa hari ini kembali padaku laksana anak panah. Menyasar jantung menciptakan geletar nyeri yang bertubi-tubi. Selama ini aku merasa paling menderita, ternyata lelaki itu menyimpan dukanya sendiri."Hampir lupa. Kalau tender ini lolos aku akan membawamu jalan-jalan ke Korea
Aku terbangun ketika merasakan sesuatu menghimpit perutku. Aku menoleh ke sebelah ketika dengkur halus terdengar di telinga. Sejenak tertegun melihat wajah Rafa dekat sekali denganku. Bahkan, napasnya hangat menerpa mukaku. Aku bisa melihat dengan jelas raut lelaki itu. Rafa memiliki fitur wajah yang nyaris sempurna. Dahinya tidak terlalu lebar, tulang hidung tinggi, dan bentuk rahang tegas semakin membuatnya terlihat tampan. Tak salah rasanya banyak wanita yang terpesona saat menatapnya. Apalagi sifat ringan tangan dan ramah, tentu menjadi nilai tambah untuknya. Aku menyingkirkan tangan Rafa yang melingkar di pinggang, entah kapan lelaki itu naik ke tempat tidur. Kupikir dia akan tidur di ruang tengah atau kamar tamu. Bahkan aku sempat mengira dia akan kembali ke rumah Laila. Perlahan dadaku menghangat menyadari Rafa merendahkan egonya dan tidur sambil memelukku. Aku menatap wajah lelaki itu lamat-lamat. Maafkan aku, Mas, sikapku sekarang karena cintaku yang terlalu besar padamu. Be
Cukup lama aku berdiam diri. Baik Rafa maupun Laila tidak berminat berbincang sepatah kata pun. Baguslah, sebab setiap mendengar wanita itu bicara dadaku terasa terbakar, seolah-olah api unggun sedang menyala di dalam sana. Aku melirik Rafa sekilas ketika mobil berhenti di depan bangunan bercat putih. Lelaki itu turun tanpa bicara lalu berlari-lari kecil masuk ke pekarangan rumah."Bagus, kan, rumah kami? Mas Rafa membelikannya satu tahun yang lalu."Aku memejamkan kelopak mata mendengar Laila bicara, kata-kata wanita itu berhasil menggores hatiku. Aku bisa mengira-ngira Rafa setahun ini menduakanku atau mungkin bisa lebih lama dari itu."Kau pikir aku peduli?" Lidahku tak tahan menjawab provokasi Laila."Tentu kau harus peduli, setelah mendengar aku hamil Mas Rafa langsung membeli rumah yang lebih besar. Dan kau tahu setiap hari dia selalu bertanya apa yang aku butuhkan."Kedua telapak tanganku terkepal mendengar balasan Laila. Aku tahu dia sengaja memancing emosiku. Entah apa yang a
Telingaku berdenging ketika mendengar teguran keras seseorang. Aku menoleh ke arah suara dan melihat Rafa sedang menatap ke arahku dengan tajam, seolah-olah aku sedang melakukan kejahatan besar. Dadaku semakin terasa sesak ketika melihat Laila berdiri di samping lelaki itu. Saat tatapan kami beradu, dia semakin mengeratkan pegangannya di lengan Rafa, seakan-akan mengatakan kalau dia sudah memiliki lelaki itu sepenuhnya."Ternyata kerudung yang kamu gunakan hanya topeng. Saat suami tidak di rumah kamu malah kelayapan bersama lelaki lain." Lagi, Rafa mencercaku dengan lidahnya yang tajam.Aku melirik Bastian yang diam memperhatikan Rafa. Raut lelaki itu kembali terlihat datar. Mukaku memerah mendengar tudingan tidak berdasar lelaki tersebut, sampai hati dia menuduhku sekeji itu."Mas, jangan marah, mungkin kita salah paham. Tidak mungkin, kan, putri ustad terkenal perilakunya sama dengan wanita murahan." Kali ini Laila yang bicara sembari mengulas senyum licik. Di mataku wanita tersebut
"Terima kasih," ucapku pelan nyaris tak terdengar sambil menerima dompet yang ditemukan Bastian. Saking malunya aku bahkan tak berani menatap lelaki tersebut."Tidak perlu sungkan, tadinya aku bermaksud menyerahkan dompet itu ke kantor polisi. Ternyata kalau jodoh tidak ke mana, kita ketemu di sini.""Hah?!" Mendengar kata jodoh, aku tersentil dan mengangkat wajah hingga mau tak mau kami kembali bersitatap."Tidak usah mikir aneh-aneh. Apa pun kalau ketemu berarti jodoh, kan?"Aku kembali menunduk melihat lelaki itu tersenyum, rasanya dia sedang menertawakan kebodohanku. Tenang Najwa, ini hanya salah paham, besok-besok pasti sudah lupa."Kalau gitu tidak ada masalah, ya." Suara Riana terdengar menyela untuk mencairkan suasana yang telanjur kaku karena ulahku. Untung saja gadis itu cepat datang, kalau tidak entah kebodohan apa lagi yang aku lakukan."Ya, aku rasa anak-anak pasti sudah lapar, suruh rehat dulu sambil kita makan siang."Riana mengangguk. Dia memberi instruksi agar teman-
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.