Share

Aku yang Tersakiti Bukan Dia

Aku refleks menatap Rafa dengan sorot bertanya. Apa maksud lelaki itu membawa istri keduanya ke rumah kami? Belum cukupkah luka yang dia tebar di hatiku? Apakah dia ingin memamerkan wanita yang sedang tersenyum manis ke arahku? Semua pertanyaan itu memberondong kepalaku membuat rongga dada terasa sesak.

"Najwa, maaf, aku tidak bermaksud apa-apa. Aku hanya ingin kalian saling mengenal." Rafa menjawab tanpa aku bertanya, baguslah dia peka dengan perubahan rautku.

"Iya, mbak, Mas Rafa bilang kita harus akur sebagai istrinya. Jadi, kedatangan aku ke sini ingin memperkenalkan diri sekaligus ingin bertemu dengan Mbak langsung. Selama ini Mas Rafa banyak cerita tentang Mbak."

Wanita bernama Laila itu juga angkat bicara. Harus aku akui parasnya sangat cantik, kulitnya putih bersih, ditunjang penampilannya yang sangat modis tanpa harus mengenakan pakaian terbuka. Aku tahu selera Mas Rafa tidak kaleng-kaleng. Apa aku rendah diri disandingkan dengan wanita itu? Tidak! Aku adalah aku dengan segala kurang dan lebihku, dan aku bangga dengan apa yang ada padaku.

Aku berdeham untuk melonggarkan kerongkongan yang terasa kering. Belum kering air mataku, Rafa malah menghadirkan penyebab tangisku ke hadapan. "Jadi kamu sejak awal kamu tahu kalau Mas Rafa sudah menikah?"

Aku bertanya dengan nada pelan dan raut datar. Tak payah rasanya mengulas senyum, aku bukan orang yang biasa berbasa-basi. Bila tak suka pada seseorang aku akan menghindar atau bicara seperlunya. Lihat, senyum Laila perlahan memudar. Dia melirik Rafa yang berdiri di sebelahku.

"Eem, Najwa, itu ...."

"Aku nanya sama dia, Mas," selaku cepat meliriknya sekilas. Pasti Mas Rafa ingin membela Laila. Aku kembali menyorot ke arah istri mudanya itu. "Benarkan, kamu sudah tahu status Mas Rafa sebelumnya?"

"Iya, Mbak dan aku tidak masalah dengan itu. Aku siap jadi istri kedua." Suaranya lembut seperti dbuat-buat. Entah memang seperti itu suaranya atau aku yang telanjur ilfell padanya.

Apa? Aku tertawa miris mendengar jawaban wanita itu. Tak masalah baginya berhubungan dengan suami orang. Inikah yang dibanggakan Rafa sebagai wanita baik-baik?

"Kamu mungkin tidak masalah dengan itu, tapi apa kamu pernah berpikir perasaan istrinya saat kalian berdua? Kamu siap menjadi orang kedua, apa kamu pernah berpikir apakah istrinya siapa diduakan? Tidak, kan?"

Kalimatku berhasil menyudutkan Laila. Aku tahu kata-kataku sangat keras dan menyinggungnya, tapi luka yang dia dan Rafa gores di dadaku jauh lebih menyakitkan, untuk bernapas pun terasa sulit.

"Najwa, sudah." Rafa memegang pundakku, sepertinya dia tak tega melihat aku menyudutkan Laila.

"Tidak apa-apa, Mas. Aku memang salah sudah menjadi orang ketiga dalam rumah tangga kalian, tapi aku bisa apa kalau cinta tumbuh di hatiku." Laila menunduk, senyumnya berganti dengan raut sedih.

Bagus! Wanita itu mulai memainkan dramanya. Mungkin dia terinspirasi dari sinetron televisi swasta yang sering menampilkan adegan di mana pelakor terlihat lemah dan istri sah tampak jahat.

"Cinta?" Aku tersenyum mengejek, "kamu yakin itu cinta? Apa kamu pernah menghindar dari Mas Rafa? Apa kamu pernah menjauhinya?"

Laila diam membuat aku yakin kalau dia tak merasa bersalah telah menikahi suamiku.

"Najwa, sudah, ada apa denganmu? Kenapa kamu jadi sinis seperti ini?" Rafa menegurku ketika melihat mata Laila berkaca-kaca. Aku meradang, baru melihat raut sedih wanita itu dia marah, lalu bagaimana dengan air mataku? Bagaimana dengan hatiku yang tesakiti? Secepat ini kamu berubah, Mas?

"Harusnya aku yang nanya sama kamu, kenapa kamu tega melakukan ini sama aku? Belum cukup kamu menyakiti aku dengan dustamu? Kini kamu bawa wanita itu masuk ke rumah ini? Untuk apa? Kamu bangga merasa bisa memiliki dua wanita sekaligus?!"

Ngilu di dalam dada membuatku hilang kendali. Tubuhku terasa panas, seolah-olah terbakar dari dalam. Dadaku penuh dengan angkara. Tak ada lagi Najwa yang santun, yang selalu lemah lembut. Dia sudah mati bersama pengkhianatan Rafa.

"Sudah, Mas, Mbak, aku yang salah. Harusnya aku tidak datang ke sini." Laila menatap Rafa, "Mas, aku pulang dulu kamu selesaikan masalahmu dengan Mbak Najwa."

Tanpa mendengar jawaban Rafa, Laila keluar dari rumahku. Baguslah kalau dia tahu diri, jadi aku tak perlu susah payah mengusirnya, tetapi suara Rafa membuat langkahnya berhenti.

"Laila tunggu aku di mobil, aku akan mengantarmu pulang." Setelah Laila mengangguk lalu berjalan keluar, Rafa menatapku tajam, sepertinya dia marah karena perlakuanku pada istri mudanya. "Kamu keterlaluan Najwa! Ada apa denganmu? Ke mana kamu yang santun dan sopan? Apakah ajaran Ayah sudah kamu lupakan?"

Aku terperangah mendengar kalimat demi kalimat yang diujarkan Rafa. Lucunya dia masih bertanya ada apa denganku, seolah-olah dia lupa yang dia lakukan padaku.

"Aku tidak melupakan ajaran baik dari Ayah. Aku hanya bertanya kepada istri mudamu, ingin mengetahui bagaimana kalau dia ada di posisiku? Tapi dia bersikap seperti wanita tidak berdaya, seakan dialah yang tersakiti padahal aku korban di sini." Aku menunjuk dada agar Rafa tahu ada yang berdarah di dalam sana.

'Cukup Najwa! Aku kecewa padaku. Aku pikir kau akan legowo menerima semua ini, karena Laila akan melengkapi keluarga kita dengan seorang anak. Dia bahkan rela kau ikut mengasuh anak kami kelak, tapi kau sudah dibutakan kebencian. Malam ini aku tidak pulang, kau renungi sikapmu pada Laila."

Rafa pergi menyusul Laila setelah menumpahkan amarahnya, sementara aku hanya menatap langkahnya yang menghentak dengan buliran bening menggantung di pelupuk mata. Kata-kata lelaki itu semakin memperdalam lukaku. Siapa wanita yang akan baik-baik saja setelah diduakan? Aku bukan wanita mulia, yang diam saja ketika dikhianati. Bukan menolak poligami. Aku sangat paham lelaki boleh menikah sebanyak empat kali, tapi aku wanita yang biasa mendapat kasih sayang penuh dari Ayah. Oleh karena itu, aku pun tak mau lelakiku membagi cinta dengan wanita lain. Aku takut tak bisa mengendalikan rasa cemburu yang akhirnya membuatku menderita. Itulah sebabnya sebelum menikah aku meminta syarat tidak ada poligami dalam rumah tangga kami. Tuhan, apa yang harus aku lakukan sekarang?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status