"Najwa, aku boleh panggil kamu, sayang?"Astaga, apa tadi? Kenapa tiba-tiba Bastian bertanya seperti itu? Aku menekan dada yang berdetak dua kali lebih cepat dari biasanya. Membayangkan raut lelaki itu saat bertanya memanaskan pipiku.'Mbak, airnya udah mendidih." Suara Hanif menarik kembali kesadaranku. Air yang aku masak sudah meletup-letup. Najwa, Najwa, bisa-bisanya melamun saat memasak."Mbak, Mas Bastian nanya kopinya udah mateng belum?""Iya, ini Mbak lagi bikin." Aku menuang air mendidih tadi ke dalam gelas yang sudah berisi campuran kopi dan gula. Aku tak tahu rasa kopi seperti apa yang disuka Bastian, saat bertanya dia menjawab apa pun yang aku buat pasti enak. Apa yang merasuki lelaki itu? Aku melihat sisi Bastian yang pintar membuatku kebat-kebit. Sepertinya aku harus menalikan hati kuat-kuat agar tak terlalu cepat jatuh ke dalam pesonanya. "Kamu antar ke Mas Bastian, ya." Aku meletakkan kopi di atas piring kecil lalu meminta Hanif membawa ke ruang tengah di mana Bastia
Saat bangun aku tidak mendapati Bastian di sampingku. Aku tersenyum melihat selimut yang dia gunakan tadi malam terlipat rapi di atas bantal. Semalam mataku tak mau terpejam, hampir tujuh bulan tidur sendiri sekarang aku harus bersama seseorang yang sama sekali tidak kukenal siapa dia. Yang aku tahu dia mempunyai beberapa usaha rumah makan, percetakan, dan peternakan sapi. Yang aku dengar dari teman-teman, Bastian seorang pekerja keras, usaha rumah makan yang dirintis berawal dari menjual nasi bungkus berkeliling. Keuntungan yang didapat ditabung sedikit demi sedikit hingga mampu menyewa sebuah lapak. Setelah itu rezekinya meroket hingga sekarang.Selesai membersihkan diri lalu salat, aku keluar kamar bermaksud menyiapkan sarapan sembari mencari keberadaan lelaki itu. Mataku memicing melihat sosok Bastian sedang memasak di dapur.Seperti menyadari keberadaanku, Bastian menoleh. "Pagi, sayang, nyenyak tidurnya semalam?" Aku berdeham, ada yang menggelitik dada mendengar Bastian memangg
Wanita bernama Nina tadi membuat suasana hatiku memburuk. Ekspresinya yang manja dan cara bicara yang dibuat-buat membuatku tak nyaman. Namun, aku juga tak mau berprasangka buruk pada wanita tersebut. Entah apa hubungannya dengan Bastian, yang pasti aku harus mencari tahu. Bukan ingin mengorek hidup lelaki itu, tetapi bila ingin melanjutkan rumah tangga yang baru hitungan hari setidaknya kami harus terbuka satu sama lain."Kamu lapar?" Suara Bastian lembut memecahkan gelumbung-gelembung lamunanku. Dia tersenyum dan menatap penuh perhatian.Aku menggeleng. "Langsung pulang aja, aku mau istirahat." Aku berjalan mendahului Bastian. Kesal telanjur bercokol di dada, menurut hematku Bastian tak seharusnya membiarkan wanita lain bersikap manja seperti tadi apalagi di depan istrinya. Itu sama saja dia tidak menghargai keberadaanku. "Hai, jalan cepat banget." Dari deru napasnya aku tahu Bastian tergopoh-gopoh mengejar langkahku. "Kamu kenapa, kok, tiba-tiba jutek gini?"Aku diam, rasa kesalk
"Aku sudah bercerai dengan Laila. Besok pembacaan ikrar talakku. Doakan semua lancar."Tak ada empati ketika membaca pesan yang dikirimkan Rafa, juga tak terbersit niat di hati mengejek laki-laki itu. Bisa saja aku mengatakan, "Apa cuma segitu wanita yang kau bangga-banggakan? Wanita yang membuatmu berubah dan mengorbankan pernikahan kita? Wanita yang membuat Ibumu tega menghasut agar menceraikanku."Namun, aku tidak akan mengujarkan kalimat tajam itu. Aku dan Rafa sudah selesai, apa pun yang terjadi padanya bukan urusanku lagi. Dulu dia sudah memilih dan sangat yakin akan bahagia dengan Laila, hanya karena aku tak bisa memberikan anak. Dia mengatakan poligami adalah jalan mendapatkan surga untukku. Aku tidak mengerti kenapa setiap laki-laki yang ingin mendua selalu mendoktrin istrinya agar ikhlas dengan iming-iming surga? Padahal surga bisa didapat dengan banyak cara tidak harus menghadirkan orang ketiga. Mungkin banyak wanita-wanita hebat merelakan suami mereka berbagi hati, pikir
Sarapan yang disiapkan Bastian pagi ini tidak lagi menggugah seleraku. Padahal biasanya aku selalu antusias melahap apa saja yang dia masak. Selama dua bulan terakhir aku merasa diratukan oleh lelaki itu, tanpa kutahu dia juga meratukan wanita lain dengan uangnya. Aku yakin hubungam Bastian dengan Nina bukan sekadar teman, tetapi lebih dari itu. Logika saja, mana ada lelaki rutin mengirim uang dalam jumlah banyak setiap bulan kepada wanita yang tidak memiliki hubungan darah dengannya? Ini bukan perkara iri, dengki, atau semacamnya. Namun, aku seolah-olah merasa Bastian bertanggung jawab pada hidup Nina. Bayangkan saja, di luar kiriman yang sudah terjadwal setiap bulan, aku juga melihat transferan lain. Sangat janggal bukan kalau status mereka teman biasa?"Kenapa, makanannya tidak enak?" Pertanyaan Bastian menarik kesadaranku yang sempat melanglang buana kembali ke sisi. Mungkin dia heran melihatku hanya mengaduk-aduk nasi goreng seafood di depanku.Aku mengangkat pandangan dan menem
Najwa semakin mengeratkan kepalan kedua telapak tangannya yang gemetar. Seolah-olah dengan cara seperti itu dia bisa mendapatkan kekuatan mendengar pengakuan Rafa, lelaki yang telah menikahinya enam tahun yang lalu. Pernikahan yang diharapkan wanita itu sekali seumur hidup. Tidak ada yang salah dengan pernikahan mereka. Rafa seorang lulusan pondok pesantren terkenal sangat paham syariat agama. Lelaki berkulit putih bersih dengan tulang hidung tinggi itu memperlakukannya sangat baik selama mereka menikah. Kata-kata manis selalu keluar dari bibir si lelaki, membuatnya yakin tak ada yang bisa membuat sang suami berpaling. Namun, keyakinan Najwa kini luluh lantak. Di perayaan pernikahan mereka yang ke enam, Rafa memberi hadiah yang membuatnya tak bisa berkata-kata. Sesuatu menghantam dadanya begitu keras hingga ingin memaki lelaki di hadapan. Hendak bertanya apa salahnya sehingga Rafa tega menduakan tanpa bertanya terlebih dahulu. Ingin rasanya melemparkan hidangan yang dia masak sepenuh
Najwa masih berbaring di atas tempat tidur. Tangis wanita itu telah usai sejak tadi, tetapi perih karena perbuatan Rafa masih menggelayuti hati. Sayatan luka yang ditoreh laki-laki itu begitu dalam. Tidakkah Rafa memikirkan perasaannya? Tak bisakah sedikit menghargai dirinya? Sakit pengkhianatan lelaki itu terekam jelas di benak Najwa dan akan meninggalkan trauma berkepanjangan. Bukannya meminta maaf dan berusaha membujuk badai yang sedang mengamuk di dadanya, Rafa malah pergi. Baginya, sudah jelas di mana laki-laki tersebut meletakkan hati."Aku tak mau berzina, karena itu aku menikahinya."Alasan yang diujarkan Rafa laksana belati yang menikam dada Najwa. Kalau lelaki itu menundukkan pandangan tak mungkin ada hasrat kepada wanita lain. Ingatan wanita bermata sayu itu terlempar ke masa lalu. Ketika mereka masih baik-baik saja. Nyaris tidak ada pertengkaran, bila terjadi perselisihan selalu dia yang mengalah meski tak bersalah. Dia selalu berusaha memahami Rafa meski sang suami tak pe
Najwa masih berdiri di pintu meski mobil yang dikendarai ayahnya tidak terlihat lagi. Rasa bersalah menikam dadanya melihat langkah pelan si lelaki. Harusnya di usia senja dia tidak memberi beban pikiran untuk sang ayah, tetapi hanya lelaki itu yang dia punya. Najwa tidak mampu menghadapi masalah rumah tangganya sendirian. Dia butuh sandaran dan nasehat agar bisa menentukan sikap."Seharusnya kamu tidak melibatkan Ayah." Najwa memejamkan kelopak mata mendengar teguran Rafa. Meski pelan, tetapi mampu membuat amarahnya kembali tersulut. Dia berbalik dan melihat lelaki itu berdiri tak jauh di belakangnya."Dia Ayahku, kalau bukan padanya, ke siapa lagi aku harus mengadu?" Sorot mata Najwa yang selalu teduh kini berubah tajam dan sinis."Ck, kita bukan anak kecil lagi. Lagipula rumah tangga kita bukan setahun dua tahun, tak perlu melibatkan orang tua."Najwa terperangah mendengar jawaban Rafa. Ke mana ilmu agama yang dipelajari lelaki itu? Hanya untuk membenarkan perbuatannya dia melupak