Share

Kau Jahat

Najwa masih berdiri di pintu meski mobil yang dikendarai ayahnya tidak terlihat lagi. Rasa bersalah menikam dadanya melihat langkah pelan si lelaki. Harusnya di usia senja dia tidak memberi beban pikiran untuk sang ayah, tetapi hanya lelaki itu yang dia punya. Najwa tidak mampu menghadapi masalah rumah tangganya sendirian. Dia butuh sandaran dan nasehat agar bisa menentukan sikap.

"Seharusnya kamu tidak melibatkan Ayah."

Najwa memejamkan kelopak mata mendengar teguran Rafa. Meski pelan, tetapi mampu membuat amarahnya kembali tersulut. Dia berbalik dan melihat lelaki itu berdiri tak jauh di belakangnya.

"Dia Ayahku, kalau bukan padanya, ke siapa lagi aku harus mengadu?" Sorot mata Najwa yang selalu teduh kini berubah tajam dan sinis.

"Ck, kita bukan anak kecil lagi. Lagipula rumah tangga kita bukan setahun dua tahun, tak perlu melibatkan orang tua."

Najwa terperangah mendengar jawaban Rafa. Ke mana ilmu agama yang dipelajari lelaki itu? Hanya untuk membenarkan perbuatannya dia melupakan hal-hal baik.

"Ya, rumah tangga kita bukan setahun dua tahun, tapi sepertinya tak mampu membuatmu berpikir lebih dalam sebelum menduakanku. Kau sama sekali tidak menghargai pernikahan kita, terutama Ayahku." Najwa mendekat untuk memangkas jarak dengan Rafa. "Lebih baik kita bercerai saja ...."

"Najwa! Kau sadar dengan permintaanmu?" Nada suara Rafa meninggi, meski telah mendua tak terlintas sedikitpun menceraikan Najwa. "Aku tidak akan pernah melakukan itu. Aku mencintaimu."

"Cinta?" Najwa tertawa getir mendengar balasan Rafa. "Cinta yang mana? Kalau kau mencintaiku tidak akan pernah ada yang kedua. Pasti kau bisa menjaga pandanganmu."

Bergetar suara Najwa melontarkan kalimat itu. Dia tidak akan menangis lagi, dia tidak akan membuat Rafa besar kepala merasa masih diinginkan, walau faktanya dia sangat mencintai lelaki itu.

"Aku tidak mau membahas ini lagi. Yang pasti Laila sedang hamil, anak yang selama enam tahun ini tak bisa kau beri. Aku mohon, berbesar hatilah menerima semua ini." Wajah Rafa memelas memohon agar Najwa luluh. Menurutnya sikap wanita itu terlalu berlebihan. Toh, semua sudah terjadi, keadaan tak mungkin kembali seperti semula.

Alih-alih merasa iba, kata-kata Rafa bak tombak yang dilempar ke dada Najwa. Wanita itu tak habis pikir sampai hati lelaki itu mengatakannya tak bisa memberi anak.

"Sebaiknya kau ingat-ingat lagi, siapa yang ingin menunda momongan? Kau yang mengatakan ingin berduaan dulu. Kau yang mengatakan ingin menumbuhkan cinta di hatiku, sebab kita dijodohkan." Gemetar seluruh tubuh Najwa, rasanya ingin menampar pipi lelaki itu, tetapi dia menahan diri, bagaimanapun Rafa masih suaminya. Tak pantas dia melakukan kekerasan.

Rafa mengusap wajahnya kasar. "Memang aku yang meminta, tapi setelah dua tahun aku ingin memiliki anak."

"Kenapa kau tak bilang?!" Najwa menyela dengan nada keras. Rasa hormat untuk Rafa tergerus karena lidah tajam si lelaki.

Rafa memegang kedua bahu Najwa dengan ragu bermaksud menenangkan istrinya itu. Beruntung Najwa tidak menolak. "Karena kau sakit-sakitan. Aku pikir fisikmu terlalu lemah."

"Aku sakit bukan mandul ...." Serak suara Najwa membalas. "Kau jahat, hatiku sakit sekali. Kalau kau bosan kenapa tidak kau ceraikan saja aku."

"Mau kau percaya atau tidak, tapi cintaku tak berubah untukmu. Laila wanita baik sama denganmu. Aku tak bisa memilih antara kalian berdua."

"Aku yang mundur, aku tak sanggup dimadu." Pertahanan Najwa runtuh, gelombang ngilu membenamkan dirinya ke lautan kesedihan.

Rafa menggeleng. Hatinya trenyuh melihat air mata Najwa menetes begitu saja. Dia memeluk tubuh sang istri yang bergetar. Terselip rasa bersalah di dada lelaki itu, tetapi apa yang bisa dia lakukan. Dia telanjur jatuh cinta pada wanita lain yang kini sedang mengandung anaknya.

*

Najwa terbangun ketika mendengar suara orang berbincang di luar kamar. Dia perlahan duduk di pinggir ranjang dan melabuhkan pandangan ke jam dinding tepat di depannya. Pukul tiga sore, terlalu lelah menangis sambil mendengarkan bujukan Rafa membuatnya tertidur. Sekali lagi Najwa berharap semua hanya mimpi, tetapi nyeri di dada mematahkan harapannya. Laki-laki itu mengatakan akan berlaku adil untuknya dan Laila.

Laila ... mendengar nama wanita lain diujarkan dari mulut Rafa membuat lukanya semakin dalam. Apalagi mata lelaki itu berbinar seolah-olah Laila ada di depannya. Najwa tersenyum sumir, tak perlu penjelasan apa pun, baginya sudah jelas ke mana hati dan pikiran Rafa berlabuh. Haruskah dia menerima pernikahan kedua suaminya itu? Atau memilih berpisah?

"Perceraian adalah perkara yang dibolehkan, tetapi sangat dibenci Tuhan. Kalau masih bisa memperbaiki itu lebih baik. Bersabarlah maka Tuhan akan memberikan balasan yang sangat besar."

Kata-kata sang ayah kembali terngiang di benak Najwa. Lelaki itu benar, dia tak boleh gegabah mengambil keputusan di saat marah. Dia juga tak mau mencoreng arang di dahi ayahnya yang terkenal sebagai ulama di kota mereka. Apa kata orang nanti, menasehati putrinya saja tidak bisa, lalu ingin menasehati orang lain. Tidak, Najwa tidak akan membiarkan tudingin buruk dialamatkan ke ayahnya. Dia menghela napas panjang, dia akan mencoba menjalani nasib yang sudah digariskan Tuhan, barangkali ada kebaikan di balik semua ini.

"Najwa, kamu sudah bangun?" Pintu kamarnya dibuka oleh Rafa, lelaki itu mengulas senyum lalu menghampirinya. "Keluarlah, ada yang ingin bertemu denganmu."

Dahi Najwa berkerut. "Siapa?"

"Lihat saja sendiri, kau akan tahu." Dia memegang bahu Najwa membantu sang istri bangkit. Dengan lembut dia menuntun Najwa berjalan keluar kamar.

"Siapa dia?" tanya najwa melihat seorang wanita duduk di ruang tamu mereka. Melihat kehadirannya dan Rafa, wanita itu bangkit lalu mendekati Najwa yang menatap curiga.

"Mbak, kenalin aku Laila, istri Mas Rafa."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status