Share

Galau

Aku berjalan mondar-mandir di dalam rumah sambil menggenggam ponsel. Sejak pertengkaran dengan Rafa, aku tak bisa lagi tidur dengan nyenyak, pikiran kalut, gelisah mendera dada, bahkan selera makan ikut menghilang. Sudah tiga hari Rafa tidak pulang, laki-laki itu benar-benar membuktikan ucapannya, sampai seutas kabar pun tak dikirimkan padaku. Tega sekali dia menyiksa batinku. Andai jantung ini bisa berteriak mungkin dia akan mengeluhkan rasa sakit yang tak terperi. Andai mata bisa berontak mungkin akan mengeluh lelah terus-menerus menderaikan air mata. Namun, aku bisa apa? Hanya menangis dan menangis. Memang aku selemah itu, walaupun bibir mengatakan membenci Rafa, tetapi hati tetap mendambanya. Bukan menjadi budak cinta, statusku sebagai istri yang membuatku harus mempertahankan hakku.

Aku tak mudah menyukai seseorang. Sejak dulu selalu menjaga jarak dari pergaulan, sehingga tak pernah mengenal kata pacaran. Didikan Ayah juga sangat berpengaruh padaku, sehingga setelah menikah dengan Rafa, detik itu juga kusematkan niat mencintainya seumur hidup, mengabdi sebagai istri dengan setulus jiwa. Tak mudah membujuk hati menyukai seseorang yang baru ditemui di saat akad nikah telah diikrarkan. Butuh ikhlas dan tabah menerima perbedaan yang muncul ketika bersama. Namun, semua bisa kulalui, hari demi hari tunas-tunas cinta itu semakin rimbun, tetapi, lelaki itu tega membakar semua rasaku untuknya.

Notifikasi pesan membuyarkan lamunanku. Satu nomor yang tidak ada dalam daftar kontakku mengirim foto. Dadaku retak seribu ketika dua potret yang dikirimkan selesai terunduh. Bagaimana tidak, di slide pertama tampak Rafa sedang tidur tanpa atasan, sementara bagian pinggang ke bawah tertutup selimut. Harusnya aku tak perlu melihat foto kedua, tetapi rasa penasaran membuat jariku menyentuh gambar tersebut. Mataku seketika berembun, bagaimana tidak, di foto kedua tampak lelaki itu sedang tersenyum memilih pakaian bayi.

"Kamu lihat kan, Mbak, suami kita lebih bahagia bersamaku. Tenang saja, kamu tidak perlu cemas, aku akan merawatnya dengan baik. Jadi, kalau dia tak pulang tak masalah kan?"

Aku bisa menebak siapa yang mengirim kedua foto itu. Apa Laila bermaksud memprovokasiku? Apakah dia ingin mengatakan kalau aku gagal sebagai istri?

Pesan kedua kembali datang. "Mas Rafa bilang baru kali ini dia benar-benar bahagia. Mbak tahu artinya, kan? Jangan salahkan kalau dia lebih mencintaku. Oh, ya, Mas Rafa juga bilang aku lebih bisa memu4skannya."

Aku merem4s ponsel dengan rahang mengatup. Darahku mendidih, seolah-olah ada magma yang siap meledak di dalam dada. Jariku bergerak hendak membalas pesan menjijikkan dari Laila, tetapi satu pesan masuk dari Ayah membuatku urung mengetik.

"Nak, seharian ini Ayah kepikiran kamu terus. Jangan terlalu larut dengan keadaan. Keluarlah, pergilah bersama teman-temanmu."

Aku menghela napas membaca pesan dari Ayah. Lelaki itu selalu tahu kalau putrinya tidak baik-baik saja. Hampir saja aku terbawa arus permainan Laila. Dia sengaja memancing amarahku, membuat pikiranku semakin kacau. Tidak, aku tak akan membalas cara licik wanita itu. Aku memilih meletakkan ponsel ke atas meja bertepatan dengan azan Zuhur. Biarlah Laila merasa menang karena telah berhasil menguasai Rafa, aku tak akan pernah membiarkan wanita itu merusak hatiku dengan hasutannya. Tidak, dia tak pantas mendapatkan perhatianku.

*

Jangan pernah menceritakan masalah kepada manusia, bukannya jalan keluar yang didapat melainkan cemoohan. Satu-satunya tempat curhat paling baik hanyalah kepada Tuhan. Mau sesulit dan sesakit apa pun. Mau menangis ugal-ugalan pun Tuhan pasti akan menunjukkan jalan keluar. Aku percaya nasehat yang kerap diujarkan Ayah. Buktinya, setiap selesai bersujud hatiku merasa tenang, seakan-akan semua beban di dada terangkat. Biarlah suamiku tak lagi mencintaiku, asal Tuhan tak pernah meninggalkanku.

Aku baru saja meletakkan sajadah di atas tempat tidur ketika ponselku berdering. Senyumku terbit melihat nama Rania tampil di layar.

"Tumben kamu nelpon?" Aku bertanya setelah mengucap salam.

"Kamu yang tumben tidak datang ke kelas. Anak-anak nanyain kamu."

Aku memejamkan mata. Masalah beruntun membuatku lupa mengunjungi anak-anak jalanan di rumah singgah. Aku dan beberapa teman memang mengelola beberapa rumah singgah. Di sana kami mengajarkan baca dan tulis untuk anak-anak putus sekolah. Kami bahkan bekerjasama dengan pihak terkait agar anak-anak tersebut bisa mendapat ijazah melalui ujian paket A,B, dan C sehingga mereka punya kesempatan melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi.

"Maaf, dua hari ini aku kurang enak badan. Semoga besok bisa datang."

"Sekarang gimana? Udah enakan?" Suara Rania terdengar cemas. Gadis itu memang sangat dekat denganku. Kami bersahabat sejak mondok di sebuah pesantren di Jawa Timur.

"Lumayan," jawabku singkat sambil melabuhkan pandangan ke luar jendela melihat langit yang cerah.

"Kalau gitu bisa dong, datang ke rumah biru? Hari ini donatur rumah singgah kita mau berkunjung. Masa ketuanya tidak ada."

Aku bisa membayangkan bagaimana raut Riana sekarang. Gadis itu pasti sedang memanyunkan bibirnya. Aku menghela napas, rasanya ide bagus datang ke rumah singgah sekarang. Diam di rumah tidak akan membuat pikiran dan hatiku lebih baik. Mungkin bertemu dengan teman-teman dan bercengkerama dengan anak-anak beban hatiku lebih ringan.

Setelah bersiap-siap, aku mengirimkan pesan ke ponsel Rafa mengabarkan pergi ke rumah singgah. Serumit apa pun masalah kami dia tetap suamiku, sudah kewajibanku meminta izin ke mana pun pergi. Melihat pesanku centang satu, aku menyimpan ponsel ke dalam tas selempang setelah memastikan posisi taksi pesananku. Mungkin Rafa sedang sibuk dengan Laila. Tak masalah, yang penting aku sudah mengabarinya. Tepat setelah mengunci pintu, taksi berwarna biru berhenti di depan rumah

*

Aku berhenti di depan gang kecil. Memang, salah satu rumah singgah binaanku berada di dekat perumahan warga. Untuk ke sana hanya bisa ditempuh dengan jalan kaki atau sepeda motor. Aku berjalan tergesa-gesa karena tadi Riana mengabarkan donatur kami hampir sampai. Sungkan rasanya kalau beliau yang menungguku. Entah mengapa aku merasa diikuti seseorang. Benar saja, ketika menoleh ke belakang seorang laki-laki berbadan tegap berjalan cepat ke arahku. Aku bergidik melihat tato di tangannya. Apalagi wajahnya tidak terlalu jelas karena lelaki tersebut mengenakan topi dan kacamata. Ditambah masker yang dikenakan membuatku ketakutan. Aku terpaksa memacu langkah secepat yang aku bisa, tetapi lelaki itu masih mengejar. Di benakku berseliweran berita-berita kriminal kepada wanita membuat keringat dingin membasahi tubuhku. Beruntung di depan ada belokan. Aku gegas bersembunyi di belakang gerobak penjual mie ayam yang tidak berjualan. Baru saja menghela napas lega, bahuku ditepuk seseorang membuatku tubuhku seketika membatu.

Ya, Tuhan, tolong aku ....

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status