Share

Salah Tingkah

"Terima kasih," ucapku pelan nyaris tak terdengar sambil menerima dompet yang ditemukan Bastian. Saking malunya aku bahkan tak berani menatap lelaki tersebut.

"Tidak perlu sungkan, tadinya aku bermaksud menyerahkan dompet itu ke kantor polisi. Ternyata kalau jodoh tidak ke mana, kita ketemu di sini."

"Hah?!" Mendengar kata jodoh, aku tersentil dan mengangkat wajah hingga mau tak mau kami kembali bersitatap.

"Tidak usah mikir aneh-aneh. Apa pun kalau ketemu berarti jodoh, kan?"

Aku kembali menunduk melihat lelaki itu tersenyum, rasanya dia sedang menertawakan kebodohanku.

Tenang Najwa, ini hanya salah paham, besok-besok pasti sudah lupa.

"Kalau gitu tidak ada masalah, ya." Suara Riana terdengar menyela untuk mencairkan suasana yang telanjur kaku karena ulahku. Untung saja gadis itu cepat datang, kalau tidak entah kebodohan apa lagi yang aku lakukan.

"Ya, aku rasa anak-anak pasti sudah lapar, suruh rehat dulu sambil kita makan siang."

Riana mengangguk. Dia memberi instruksi agar teman-teman segera mengumpulkan anak-anak di satu titik, sementara yang lain mengeluarkan nasi kotak dari dalam rumah. Pekarangan rumah sangat luas, ditumbuhi pepohonan membuat udara terasa sejuk. Semua anak-anak berkumpul di halaman yang ditumbuhi rumput. Beberapa temanku membentangkan tikar agar mereka semua bisa duduk dengan tenang. Sesekali aku melirik ke arah Bastian, lelaki itu duduk bersila bersama anak-anak dan bercanda tanpa canggung. Bahkan, anak-anak tertawa mendengar dia bercerita.

"Hush! Hush!"

Aku berdecak ketika Riana melambaikan tangan di depan wajahku, seperti mengusir sesuatu.

"Apa, sih?"

"Aku lagi ngusir setan," jawab Riana masih mengibaskan tangan berkali-kali.

"Setan apaan?"

"Itu, setan yang masuk dari mata lalu diam-diam berdiam di hatimu."

"Tidak jelas!" sungutku. Gadis itu benar-benar kurang kerjaaan.

"Eh, dibilangin bukannya makasih. Kamu liat Pak Bastian tidak berkedip, trus bibirmu juga senyum. Itu tandanya apa?"

"Bukan apa-apa." Aku pura-pura menghitung nasi kotak yang disusun di depanku untuk menutupi rasa gugup, tidak kukira ketahuan memperhatikan lelaki lain.

"Ingat, Ukhtiku sayang, tundukkan pandanganmu. Jangan menatap terlalu lama kepada yang bukan halal untukmu." Suara Riana melembut menasehatiku membuatku tersenyum kecut.

"Aku cuma lihat doang, tidak ada maksud apa-apa."

"Iya, tau, tapi mata adalah sumber segalanya. Orang bilang dari mata jatuh ke hati. Pak Bastian itu ganteng, humble, apalagi sama anak-anak baik banget. Spek suami idaman, kan?"

Aku berdecak. "Udah, ah, keterusan ngebahas orang. Ayo, bagiin makanannya."

Aku memberikan dua nasi kotak ke tangan Riana, lalu membawa tiga nasi kotak lain untuk dibagikan. Apa yang dikatakan Riana benar, hampir saja rasa kagum menggali terlalu dalam di hatiku. Bahkan, tadi aku sempat membatin kalau Bastian tipe lelaki yang aku inginkan menjadi pendampingku dulu. Aku beristiqfar, baru menatap saja anganku sudah ke mana-mana. Seperti inikah yang dirasakan Rafa terhadap Laila? Ah, mengapa aku mengingat lelaki itu? Dia saja tidak mengingatku, bahkan sampai sekarang tak ada kabar darinya. Pesan yang kukirim pun masih centang satu. Sesibuk itu kamu, Mas, sampai tidak ingat kalau aku masih istrimu?

*

Senja telah kembali ke pelukan malam, cahaya merah di ufuk barat pun telah menghilang berganti dengan bintang-bintang yang bertabur di langit. Anak-anak sudah pulang sejak tadi. Mereka pulang dengan senyum bahagia dan membawa bingkisan dari Bastian. Laki-laki itu tidak setengah-setengah melakukan kebaikan membuat rasa kagum tumbuh tanpa bisa kucegah. Sekadar kagum, tak boleh lebih, aku mengingatkan diri sendiri.

"Kalian semua ada waktu? Aku mau menunjukkan sesuatu." Bastian yang baru selesai menunaikan salat Magrib menghampiri kami yang berkumpul di teras.

"Boleh, Pak. Baru pukul enam." Salah seorang temanku menjawab.

"Aku ingin meminta pendapat kalian tentang dekorasi ruangan. Beberapa hari lagi aku ingin mengadakan pameran hasil kerajinan anak-anak."

"Kalau masalah dekorasi serahkan saja ke Mbak Najwa, dia ahlinya." Riana yang menjawab.

"Najwa?" Bastian melirik ke arahku setelah telunjuk Riana mengarah padaku. "Kamu bersedia?"

Aku gelagapan. Entah apa yang terjadi padaku, setiap kali bersitatap dengan Bastian dadaku selalu berdetak dengan keras. Sadar, Najwa, kamu sudah menikah!

"Aku tidak terlalu ahli."

"Tapi bisa, kan?" Bastian bertanya lagi membuatku mengangguk pelan.

"Ya, sudah serahkan sama Najwa saja, Pak, pasti beres."

"Bagus, kebetulan aku sudah ada tempatnya. Bagaimana kalau kita lihat sekarang biar besok bisa langsung dikerjakan?"

"Boleh, Pak." Riana menjawab dengan girang membuatku mendelik ke arahnya, tetapi gadis itu sepertinya tidak peduli.

"Tapi, aku tidak bisa kerja sendiri, kamu juga harus bantu." Aku sengaja mengajak Riana, sebab tak mungkin aku pergi berdua saja dengan Bastian.

"Baiklah, kita berangkat sekarang."

Melihat Riana mengangguk, Bastian mengajak kami mengikutinya. Seperti tadi, kami harus melalui gang kecil untuk sampai di jalan besar. Saat melewati gerobak penjual mie ayam, Riana bercelutuk.

"Jadi, tadi sembunyi di sini karena mengira Pak Bastian penjahat, ya?"

Aku melengos dengan wajah memerah, sebab sekilas kulihat Bastian ikut tersenyum.

Terima kasih, Riana, suaramu kurang keras!

*

Tempat yang hendak dipilih Bastian untuk pameran nanti berada di dalam gedung pusat perbelanjaan yang terkenal di Surabaya. Memang, ada beberapa pengelola menyewakan beberapa tempat untuk acara-acara tertentu.

"Bagaimana menurutmu?" Bastian menoleh padaku setelah kami berada di tempat.

Aku mengedarkan pandangan, tempat yang disewa oleh lelaki itu. Cukup luas, bisa menampung sekitar 100 orang bersamaan. "Tempat ini bagus, apalagi letaknya di lantai satu. Jadi, setiap pengunjung bisa langsung melihat pameran kita."

"Jadi, tugas ini aku serahkan padamu, ya?"

"Aku tidak bisa mengurus ini sendiri, aku membutuhkan beberapa bantuan."

Riana menggamit lenganku. "Tenang, aku dan teman-teman pasti akan membantu. Iya, kan, Pak?" Gadis itu tersenyum ke arah Bastian.

Laki-laki itu memasang wajah datar dan mengangguk. "Terima kasih, kalau ada masalah kalian beritahu saja langsung. Aku sangat berharap pameran ini sukses."

"Tenang saja, kalau sudah di tangan Najwa pasti be ...." Riana tiba-tiba memegang perutnya.

"Kenapa?" Reflesk aku melihat gadis itu meringis kesakitan.

Riana mendekatkan wajahnya ke telingaku. "Sepertinya aku sakit perut. Aku ke toilet sebentar."

"Eh!" Tanpa ba bi bu Riana segera berlari meninggalkan aku dan Bastian.

Suasana seketika berubah canggung. Aku mengedarkan pandangan ke sembarang arah asal tidak menatap lelaki itu.

"Apa ada yang hilang?" Tiba-tiba Bastian bertanya.

Aku menatapnya dengan sorot bingung.

"Itu, isi dompetmu, apa ada yang hilang?" Bastian mengulas senyum membuatku salah tingkah.

"Oh, itu, tidak, Pak. Emm, aku minta maaf sudah mengira yang tidak-tidak terhadap Anda."

"Bastian, panggil namaku saja. Aku yakin kita seumuran."

Lagi aku hanya mengangguk. Sikap lelaki itu berbeda bila hanya bersamaku atau hanya perasaanku saja? Aku lagi-lagi terdiam ketika Bastian mengulurkan ponselnya padaku.

"Apa kamu tidak mau menyimpan nomor ponselku? Kita ada proyek, kan?"

"Ah, Iya, sebentar." Aku mengeluarkan ponsel dari dalam tas dengan wajah memerah. Bagaimana bisa aku memikirkan yang tidak-tidak? Sepertinya otakku sudah tidak beres. Setelah men-scan barcode w******p Bastian aku kembali menyimpan ponsel ke dalam tas, tapi tiba-tiba ....

"Bagus, ternyata seperti ini aslimu. Aku tidak mengira kamu wanita munafik!"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status