"Kamu tidak usah sok suci di rumah ini! Karena kamu tidak lebih dari benalu!"
Ucapannya itu membuat hatiku memanas. Aku menatapnya dan semakin membuat rasa mualku memuncak sampai akhirnya tak bisa kutahan lagi."Aaaaaaaaaakkkkkkkhhh ...." Mbak Sari berteriak kaget.Ia melonjak kaget dan membulatkan matanya penuh. Kulihat, wajahnya pelan-pelan menoleh ke arahku. Penuh emosi yang tersulut. Memang hanya dia yang emosi? Salah siapa memancing macan hamil?"Ma-maaf—""Kamu ...?!"Plak!Pipiku mendapat cap tangannya dengan keras. Lebih keras daripada tamparannya Abah beberapa waktu lalu, tetapi hatiku lebih sakit mendengar kata-katanya sepagian itu."Maaf, Mbak. Saya ... saya tidak sengaja.""Dasar wanita kotor! Kamu benar-benar menjijikan, tau!" pekiknya."Maaf, Mbak. Itu ... itu keluar begitu saja." Aku menyeka aliran air yang hendak keluar dari ekor mata. Aku berinisiatifOjekonlineyang kusewa berhenti di depan rumah megah berlantai dua. Aku segera turun dan lekas membayar tunai jasanya, kemudian berjalan pelan sambil memandangi rumah di depanku.Seakan masih tak percaya jika aku menjadi bagian dari keluarga pemilik rumah ini. Apalagi bermimpi menjadi seorang madu, tak pernah terlintas sedikit pun.Di teras rumah, aku melihat Bi Yuna sedang menyapu. Ia langsung menghampiri begitu menyadari kepulanganku."Nyonya, tadi Nyonya besar menitip pesan agar Nyonya Rimar menemuinya di kamar kalau sudah pulang.""Baik, Bi. Terima kasih, ya. Saya permisi masuk dulu."Mama pasti mau membicarakan hal yang tadi pagi disampaikannya. Aku masuk ke kamar untuk bersih-bersih sebelum menemui mamanya Mas Gio. Setelah selesai, aku segera melangkah menuju kamar yang terletak di lantai atas.Lantai dua hanya dihuni oleh mamanya Mas Gio dan Lisa—adiknya. Sebelum menaiki tangga, Mbak S
Jangan lupa subscribe & rate bintang 5 ya 😇____________________________________________Aku bisa pulang setelah menginap selama semalam di rumah sakit. Dokter bilang, aku tidak diperbolehkan bekerja selama seminggu. Baiklah, aku bisa sedikit bersantai.Mas Gio keluar dari mobil begitu saja tanpa menungguku. Jadi, aku harus jalan sendiri ke dalam, begitu? Padahal, aku membayangkan kalau Mas Gio membopongku seperti kemarin atau minimal memegang tanganku sampai kamar."Istirahatlah," ketusnya."Tuan, mau ke mana?""Saya harus bekerja. Emh... hati-hati dengan kehamilanmu," sahutnya sambil menggaruk dahi yang tidak gatal, kemudian dia berlalu meninggalkanku sendirian di kamar yang luas. Kamar dengan dekorasi yang elegan.Tidak adakah sedikit perasaan ingin menemaniku di kamar? Aku ini sedang mengandung anaknya. Aku butuh perhatian khusus dari seseorang.Aku terkejut ketika ponselku berdering ker
"Apa yang Mbak pasang di situ?" Aku menunjuk perutnya, "sampai Mbak tidak bisa hamil?"Mbak Sari membulatkan mata dengan sempurna. Dia tercengang karena ucapanku yang pasti tak akan disangkanya."Kamu? Jangan bicara sembarangan, ya!""Tentang apa? IUD?" Aku menantangnya. Terlintas di pikiranku kalau hanya IUD yang bisa mencegah kehamilan tanpa diketahui siapa pun."IUD atau apalah itu. Saya tidak mengerti apa yang kamu bicarakan." Dia menjawabnya dengan penuh percaya diri."Emm ... baiklah."Terus saja seperti itu, Mbak. Aku akan mencari tahu apa yang kamu sembunyikan dan hiduplah dengan baik untuk saat ini."Ada lagi yang mau dibicarakan? Kalau tidak, silakan keluar dari kamar ini. Dan ... terima kasih sudah membuat saya bisa beristirahat."Aku l
Sampai beberapa hari kemudian, aku masih penasaran. Siapa pria yang ditemui Mbak Sari? Apa Mas Gio mengetahuinya?Aku ingin menanyakan pada Mas Gio, apakah dia merokok atau tidak? Tidak, jangan sekarang. Huh, banyak sekali teka-teki yang dimainkan Mbak Sari.Mulai dari wanita yang akan disingkirkan, rencana rahasianya, apa yang ada di dalam perutnya, dan terakhir pria yang ditemuinya.Ya, ampun. Apa aku harus berperan sebagai detektif abal-abal. Conan ... bantulah aku menyelesaikan deduksi ini."Kenapa melamun?"Aku terkesiap saat mendengar pertanyaan itu."Ah ... emm ... Pak Adit, selamat pagi." Aku menunduk malu."Pagi-pagi sudah melamun. Lihat lantai itu sampai tipis dari tadi di pel enggak pindah-pindah.""Ooh ...." Aku terkekeh. "Ma-maaf, Pak.""Sudah sarapan?""Sudah, Pak. Saya sudah sarapan.""Baiklah. Saya tinggal, ya? Jangan melamun lagi, nanti kerasukan
Alangkah kagetnya ketika aku ke luar kamar. Kebetulan, aku melihat Mbak Sari masuk dan maskernya terlepas. Wajah itu, tepatnya di sekitaran pipi membiru dan ada bekas luka di sudut bibir. Aku melirik ke kakinya, sama-sama membiru. Cepat-cepat dia memakai maskernya lagi saat menyadari kehadiranku.Ada apa dengannya?Dia tergesa-gesa untuk masuk ke kamar. Aku berhasil menahan lengannya."Mbak?""Lepas!" hardiknya."Mbak, ada yang bisa saya bantu?" Aku bertanya baik-baik, siapa tahu dia butuh tempat berbagi."Lepas kubilang!" Dia menyingkirkan tanganku. "Jangan ikut campur urusan saya!"Dia masuk kamar tapi berhenti sebentar sebelum menutup pintu. "Anggap tadi kau tidak melihat apa pun!" Dia memperingatkan.Aku masih berdiri di antara kamar kami. Mem
Mbak Sari membelalak karena melihat Mas Gio menangkap tubuhku dari belakang. Sama halnya dengan Mas Gio yang terkejut melihat wajah istri pertamanya yang lebam. "Sari!" tegur Mas Gio yang keheranan. Apa Mas Gio mendengar ucapanku tadi? Semoga saja tidak, karena aku belum menyelidiki apa pun tentang Mbak Sari. "Kenapa wajahmu?" Mas Gio melepas genggamannya dari tubuhku begitu saja dan hampir membuatku terjatuh kedua kalinya. Ia mengambil langkah untuk menghampiri istri tuanya. Aku menepuk jidat. Nasib istri yang tak diakui, dilirik pun tidak. Aku ditangkapnya mungkin karena tadi kebetulan terjatuh di hadapannya. Pada akhirnya, p
"Mungkin. Tapi kalau dia sedang merasa banyak pikiran. Dia akan pergi ke suatu tempat.""Oh, ya? Tempat apa itu?""Ada laaah ... tempat yang bisa membuat pikirannya tenang."Bikin penasaran saja. Tempat yang membuat tenang itu, kan banyak. Bisa di pantai, gunung, kuburan, bahkan hati aku.Aku mau bertanya satu hal penting lagi padanya selagi di kantin masih sepi"Oh, ya, Pak?""Hm?" Dia menaikkan alisnya."Pak Ibrahim itu kan sudah tidak ada. Kenapa Pak Sergio tidak menjabatCEO?Bukannya, kursi itu kosong?"Pak Adit yang baru saja menyeruput minumannya, segera menggeleng dan menggoyang tangan kanannya. Dia tidak membenarkan kesimpulan yang kubuat."Jadi,--" Aku menahan ucapanku sendiri.
Setelah merasa diperhatikan Mbak Sari, aku langsung bersembunyi. Sepertinya aku harus segera pergi dari semak-semak. Aku menarik kerudung yang tadi sempat terlepas agar menutupi sebagian wajahku lagi.Dug!"Sudah saya duga, kan! Kamu yang tadi mengelak membuntuti saya! Siapa kamu! Siapa yang memerintahmu untuk mengikuti saya?!" Mbak Sari berdiri di hadapanku lantas mencengkeram ke atas kerah baju. Secepat itu dia keluar dari kafe sampai ke sini?Aku membuka kerudung yang menghalangi batas hidung ke bawah sebagai cadar, dilanjut dengan menarik kacamata hitam. Aku merasakan cengkeramannya melonggar disertai tatapan terkejut saat mengetahui siapa aku."Ri-rimar?!"Ya, ini saya. Kebetulan saya melihat Mbak di rumah sakit ini. Tak mau kehilangan jejak, jadi sekalian saya mengikuti kemana Mbak pergi. Ternyata sama dia!" Aku mendengkus. Lalu, me