Rianti buru-buru berdiri dan melepaskan dirinya dari pelukan Arjuna. Wanita itu menatap Arjuna dengan sorot mata yang tidak bisa digambarkan dengan kata-kata. Begitu pula dengan Arjuna yang tidak bisa mengalihkan tatapannya dari Rianti. Pria itu memindai wanita cantik di hadapannya seolah Rianti adalah benda seni yang dipajang di museum. “Arjuna, syukurlah kamu sudah datang. Ayo cepat kita pulang. Zaidan mulai rewel,” ucap Ziana yang buru-buru mendekati Arjuna. Tidak ada tanggapan dari Arjuna membuatnya menoleh menatap Rianti dan Arjuna bergantian. Jiwa keponya meronta-ronta ingin tahu apa yang suda terjadi diantara mereka berdua. “Kalian berdua saling kenal?” “Tidak.” “Iya.” Keduanya kompak menjawab bersamaan tapi dengan jawaban yang tidak sinkron. Rianti menjawab ‘tidak’, sedangkan Arjuna menjawab ‘iya’. “Apa? Jadi yang benar yang mana? Riantia, kamu kenal Arjuna?” tanya Ziana sambil menatap Rianti yang sedikit pucat. “Jelas kenal ‘lah. Kami dulu__” “Nona, sebaiknya ki
“Lepasin!” pinta Rianti tertahan. Wanita itu khawatir ada orang yang akan memergoki mereka sekarang. Saat Rianti mencoba melepaskan pelukan Arjuna, pria itu justru mempererat pelukannya. “Aku tidak mau balikan dengan pria brengsek sepertimu. Arjuna, lepasin aku. Kita sudah berakhir. Pergi!” “Tidak. Kau pikir berapa lama aku menunggu saat seperti ini, babe. Kau hutang banyak penjelasan padaku,” bisik Arjuna membuat Rianti semakin meronta. Tiba-tiba terdengar suara dari ujung lorong yang mereka berada saat ini. Rianti mulai panik dan wajahnya terlihat pucat. Dia benar-benar tidak ingin siapapun memergoki mereka. Rianti tidak ingin pekerjaannya terusik hanya karena hubungan masa lalunya dengan Arjuna. “Arjuna, aku peringatkan kamu. Lepasin aku. Ada orang kesini,” pinta Rianti cemas. “Kenapa? Biar mereka semua tahu, kau milikku, Rianti.”“Jangan gila.”Rianti tidak punya pilihan ketika suara-suara itu semakin mendekat. Sebentar lagi seseorang akan muncul di belokan lorong dekat kamar
“Kami tidak melakukan apa-apa, nyonya. Percayalah. Saya sedang da …. mmmpphh!”Rianti tidak bisa bicara lagi lantaran Arjuna sudah membekap mulutnya. Wanita itu mencoba memberontak, tapi Arjuna lebih kuat darinya. “Jangan dengarkan dia, tante. Rianti hanya malu. Iya ‘kan, babe.”Juwita menghela nafas panjang. “Kalian ini. Lebih baik kalian menikah saja. Mau sekalian dengan pernikahan Hannah dan Lintang?”Rianti mencoba menggeleng, tapi Arjuna lebih dulu menjawabnya. ”Kalau boleh, mau banget, tante. Nanti saya bicarakan dengan Lintang juga. Makasih, tante.”Juwita kembali menatap Rianti yang masih dibekap tanpa ada kesempatan untuk bicara. Rianti mencoba menggeleng tapi bekapan Arjuna terlalu kuat. Belum lagi sakit perutnya yang bertambah parah dengan sesuatu yang semakin banyak keluar dari bagian intinya. “Ya, sudah. Tante ke depan dulu. Rianti, kamu istirahat saja sampai … ehem.” Juwita berdehem demi bisa melanjutkan bicaranya. “... bisa jalan lagi ya. Saya akan bilang pada Ziana ka
“Mas, kamu sudah pulang?” sapa Ziana sembari tersenyum lebar. Mahanta mendekat lalu mengecup kening Ziana dengan lembut. Pria itu tersenyum menatap wajah putranya yang tertidur lelap dengan mulut sedikit terbuka. Ziana menyadari Zaidan sudah melepaskan sumber makanannya, lalu segera menarik penutup dadanya lagi. “Yah, kok ditutup,” protesnya membuat Ziana menepuk lengannya pelan. “Aku ‘kan sudah bilang mau langsung pulang setelah selesai meeting. Gimana imunisasinya tadi? Zaidan nangis nggak?” “Nangis sebentar, habis itu tidur lagi. Dia kuat banget, mas.”“Jelas ‘lah siapa dulu mamanya. Mama Ziana, wanita paling kuat dan tegar yang pernah kukenal.”Ziana tersipu malu mendengar pujian Mahanta. Dia tidak pernah membayangkan hidupnya akan dimanjakan seperti putri dan ratu oleh orang tua angkat dan suaminya sendiri. Bahkan Ziana tidak pernah memintanya, tapi Mahanta selalu mengerti bagaimana dirinya. “Aduh, bunda jadi malu nih. Jadi paham rasanya jadi obat nyamuk,” ucap Juwita pura-pu
Suasana pagi itu memancarkan keheningan yang mencekam di dalam sebuah kamar hotel. Ziana membuka matanya perlahan mengikuti irama detak jantungnya yang terasa berdegup kencang. Sejenak Ziana mencoba mengenali keberadaannya saat ini. Namun, dalam sekejap, keterkejutan menyelinap masuk ke dalam relung hatinya yang gelap.“Aku dimana?! Bajuku?!”Tubuhnya terbungkus dalam selimut yang hangat, menghadap langit-langit kamar hotel yang asing baginya. Perlahan, ingatan bergelut memecahkan kebimbangan yang merayapi pikirannya. Di mana dia? Apa yang terjadi semalam? Pertanyaan itu berputar-putar di dalam benaknya, mencari jawaban yang sesak terkekang.Ziana memperhatikan setiap sudut kamar dengan tatapan waspada. Namun, tak ada yang menyambut, kecuali gemerisik halus suara air dari arah kamar mandi, menciptakan harmoni suara alam yang bersahaja. Detik demi detik berlalu, mengoyak kebingungan yang berputar di sekelilingnya. Suara air itu menjadi penanda keberadaan seseorang di ruangan itu.“Aku
Di lobby kantor R.D. Company, Ziana menghentikan langkahnya demi meraup oksigen memenuhi paru-parunya yang nyaris kosong. Gelisah dan tegang, dia memeriksa jam tangannya sekali lagi, menyadari waktunya bergerak sangat cepat."Semoga aku tidak terlambat," gumam Ziana pada dirinya sendiri, sambil mengatur nafasnya.Tiba-tiba pandangannya terperangkap oleh pemandangan yang mengejutkan. Semua orang berbaris di ruang lobby, seolah menunggu seseorang yang sangat penting. Ketegangan menggantung di udara, membuatnya merinding. Apa yang sedang terjadi?Sebuah spanduk yang terpasang di dinding lobby menjawab rasa penasaran Ziana. Mereka semua menunggu kedatangan CEO baru. Ziana segera bergabung dengan barisan yang sudah terbentuk, mencoba menekan rasa penasaran yang tumbuh di dalam dirinya.“Semuanya tenang! Pak CEO sudah datang!” seru salah satu sekuriti yang berjaga di depan lobby.Segera, sebuah mobil mewah berhenti di depan pintu masuk, menarik perhatian semua orang di dalam lobby. Mata Zia
“Apa kamu nggak keterlaluan? Dia perempuan. Tubuhnya akan kelelahan kalau terus bekerja sekeras itu,” ucap Lintang setelah menjelaskan pekerjaan yang sudah berhasil diselesaikan Ziana dalam waktu singkat.“Aku hanya ingin minta penjelasan. Apa susahnya?” Mahanta mendengus cuek.“Lalu setelah kamu dengar penjelasannya, mau apa? Kamu sadar nggak, sejak awal hubungan kalian__”“Kamu mau bilang apa? Mau ngingetin lagi soal taruhan itu? Iya?”“Maksudku, hubungan kalian itu banyak banget halangannya. Dan__” Lagi-lagi ucapan Lintang terhenti karena gangguan dari ponsel Mahanta yang tergeletak di atas meja. Nama Sherena terpampang sangat jelas disana. Lintang menunjuk ponsel Mahanta, “__ dia salah satu penghalang itu.”“Jangan banyak bicara.”Mahanta tidak lantas mengangkat telepon dari Sherena. Sekali panggilannya tidak dijawab, Sherena menelpon sekali lagi, membuat Mahanta terpaksa menjawabnya. Wanita itu sangat keras kepala dan Mahanta baru menyadari hal itu sekarang.“Ada apa?” tanya Maha
“Apa kau sudah gila?! Cepat selesaikan!”“Ya, maaf, bos. Aku lupa mengganti metode pembayarannya,” sahut Lintang gugup. Untung saja Ziana punya cukup uang untuk membayar semuanya atau mereka akan ketahuan menguntit wanita itu. “Sebentar, bos. Aku telpon dia dulu.”Ziana baru saja meletakkan bungkusan makanan itu diatas meja ketika ponselnya berdering nyaring. Melihat nama Lintang, Ziana segera masuk ke kamarnya dan menjawab telepon itu.[“Malam, Ziana. Maaf mengganggu. Apa kau sudah sampai di rumah?”] tanya Lintang berbasa-basi membuat Mahanta kembali menendang kursinya.“Selamat malam, Pak. Barusan saya sampai. Ada apa ya, Pak?”[“Sebelumnya aku minta maaf ya. Tadi aku memesan makanan untuk Bos Maha. Tapi aku salah memasukkan alamat. Apa makanannya sudah sampai di rumahmu?”]Ziana mengepalkan tangannya mengira kalau semua kiriman makanan itu sengaja dikirim Mahanta untuk mempermalukannya. “Sudah sampai semua, Pak. Mau saya kirim ke kantor atau ke rumah Pak Maha?”Lintang melirik Maha