Setelah membersihkan tubuhnya, Ziana keluar kamar mandi lebih dulu. Tubuhnya sedikit bergidik menggigil lantaran suhu ruangan yang sangat dingin. Perempuan itu segera membuka lemari dan menarik piyama panjang untuk menutupi tubuhnya. Suara yang berasal dari ponsel Mahanta menarik perhatian Ziana. Perempuan itu melongok dari balik lemari dan memanggil Mahanta. “Maha, handphonemu bunyi terus.” “Angkat aja, sayang,” sahut Mahanta yang masih mengeringkan tubuhnya. Ziana mendekati meja sofa dan melihat layar ponsel Mahanta yang menyala terang. Ekspresinya sedikit berubah sinis saat membaca nama Sherena disana. Entah apa maksud wanita itu menghubungi Mahanta via video call. “Boleh kuangkat ‘kan?” tanya Ziana pada dirinya sendiri. Toh, Mahanta juga sudah mengijinkannya. Ziana sengaja menutup kamera ponsel itu dengan jarinya sebelum menekan icon hijau untuk menerima panggilan video dari Sherena. Pemandangan pertama yang dilihatnya membuat Ziana nyaris menjerit kaget. Bukan wajah Sherena
Mahanta menghela nafas panjang, merasa sedikit kesal karena Ziana mengalihkan pembicaraan mereka. Tapi pria itu berusaha maklum karena ulahnya juga yang membuat hati Ziana terluka dan mungkin tidak mudah percaya lagi pada ucapannya.“Maafkan aku sudah menjadi pria brengsek yang menidurimu karena taruhan. Tapi itu dulu. Sekarang aku sangat mencintaimu, Ziana. Mau kamu percaya atau tidak, aku tetap mencintaimu.”Ziana mengangguk lalu menarik kedua sudut bibirnya sambil menatap Mahanta. Tiba-tiba Ziana terpekik kaget dengan kelakuan Mahanta yang kembali memeluknya tanpa aba-aba. Pria itu menggesekkan hidungnya ke perut Ziana lagi, sebelum mendongak menatap Ziana.“Aku nggak kuat. Senyummu manis banget, sayang.”“Dih! Gombal banget.”“Aku serius, dikatain gombal. Sayang, kamu laper nggak? Mau makan apa?”Ziana melirik jendela apartemen yang memperlihatkan keindahan langit yang entah sejak kapan mulai menghitam. Bintang-bintang bermunculan memperindah langit gelap bak hamparan berudru hita
Mahanta melepaskan pitingannya dari kedua sahabatnya lalu ganti memeluk Ziana yang masih kebingungan. Ditariknya paksa tubuh perempuan itu masuk kembali ke dalam kamar tanpa memperdulikan bagaimana kedua tamunya.“Apa-apaan kamu?” sentak Ziana agar Mahanta melepaskan pelukannya.“Gila ya kamu! Ngapain kamu keluar nggak pakai daleman gini?!” bentak Mahanta balik.“Siapa yang nggak pakai daleman?!”Tanpa bisa dicegah, Mahanta menyentuh seluruh tubuh Ziana untuk memastikan sendiri kalau perempuan itu memang sudah memakai pakaian dalamnya sebelum keluar kamar. Sentuhan Mahanta tidak berhenti meskipun pria itu sudah merasakan pakaian dalam Ziana dibalik piyama tebal yang dipakainya. Menyentuh Ziana seperti ini membuat bagian intinya menegang lagi.“Maha, berhenti... ja-jangan,” lirih Ziana kegelian.“Sebentar saja, sayang. Aku tegang,” bisik Mahanta lalu menciumi leher Ziana dengan brutal.“Ekhem! Kalau mau main, minimal pintunya ditutup dong!” seru Arjuna dari luar kamar. Pria itu sengaja
“Nggak usah mikirin dia. Apa kamu nggak mau ketemu Om Tomo dan Tante Juwita?”Senyum cerah seketika menghiasi wajah Ziana. Perempuan itu merasa sangat bahagia karena bisa bertemu lagi dengan dua orang yang sangat baik itu. “Mereka kesini juga? Dimana? Maha, antar aku kesana.”“Coba kita cari kesana ya.”Mahanta menuntun Ziana melewati beberapa tamu undangan yang masih mengantri untuk bisa masuk ke dalam ballroom. Keduanya memasuki ballroom dengan mudah karena anak buah Hasan membuka jalan untuk mereka. Saat Mahanta mengedarkan pandangannya mencari keberadaan Tomo dan Juwita, seseorang memanggil Ziana.“Ziana sayang,” panggil Juwita yang sudah melihat mereka lebih dulu.“Bu Juwita,” sahut Ziana lalu berjalan mendekati wanita paruh baya itu sambil menarik tangan Mahanta.Juwita menyambut ramah kedatangan Ziana dan langsung memeluk perempuan itu dengan erat. “Kangen banget sama kamu. Kenapa kamu nggak mampir ke rumah kami?”“Ziana lagi ngidam, tante. Dia nggak bisa sering-sering keluar,”
Ziana merasa sedikit mual mencium aroma parfum mahal disekitarnya, dan memutuskan pergi ke toilet untuk menyegarkan diri. Tapi sebelum masuk ke toilet, perempuan itu melihat ada lorong yang tembus sampai ke balkon di belakang ballroom. Alih-alih ke toilet, Ziana memutuskan melangkah menuju balkon itu. Pilihannya tidak salah karena pemandangan kota di malam hari sejauh mata memandang membuat Ziana tidak bisa mengalihkan pandangannya. Ziana berjalan sampai ke pinggir balkon, sembari menyapu pemandangan indah yang jarang dilihatnya itu. “Bagus sekali,” ucapnya kagum. “Indah ‘kan?” Ziana menoleh cepat saat mendengar suara bariton di belakangnya. Kewaspadaannya sedikit berkurang saat melihat pria yang dikenalnya berada di balkon yang sama. “Pak Jay, apa kabar? Sedang apa Bapak disini?” “Kabar baik, Na. Menurut kamu, aku ngapain disini?” Ziana memperhatikan penampilan Jay dengan setelan jas dan hair do yang lain dari biasanya. Sadarlah ia kalau Jay juga diundang ke acara pesta ulang t
“Capek banget ya bicara sama kamu. Bebal banget. Apa Maha juga secapek ini ya? Karena itu dia ninggalin kamu dan lebih nyaman denganku?”“Kamu! Dasar jalang sialan!”Ziana menelan salivanya melihat sorot kemarahan di mata Sherena. Perempuan itu berhasil memancing emosi Sherena yang tidak bisa lagi berdiam di tempatnya. Dengan higheelsnya, Sherena melangkah cepat mendekati Ziana. Tangannya terangkat ke atas siap menampar pipi Ziana seperti sebelumnya. “Aaa...!” jerit Ziana sambil menutupi wajahnya dengan tangannya. Akibatnya tamparan Sherena hanya mengenai tangan Ziana.“Jalang gila! Murahan! Menjauh dari Maha! Sialan!”Sherena yang sudah gelap mata, terus memukuli dan mencakar bagian tubuh Ziana yang bisa dicapainya. Tubuh Ziana membungkuk melindungi perutnya agar tidak terkenal pukulan Sherena. Sesekali Ziana meringis kesakitan karena pukulan Sherena cukup kuat untuk standar seorang wanita.“Berhenti! Menjauh dari Ziana!”Juwita yang mencari keberadaan Ziana, mendengar jeritan dari
“Aku juga tidak tahu pastinya, om. Yang jelas saat aku sampai di balkon, aku lihat Sherena sedang mendorong Ziana dan tante Juwita sudah lemas di lantai. Om, aku takut terjadi sesuatu dengan kandungan Ziana,” ucap Mahanta lirih.“Dokter belum memberitahu apapun, Maha. Kita masih punya harapan. Om akan menyelidiki hal ini.”Mahanta mengangguk mempercayakan masalah itu pada Tomo. Satu-satunya yang Mahanta pikirkan saat ini adalah keselamatan Ziana dan bayinya.Tak lama dokter Kavya datang dan langsung masuk ke ruang perawatan tanpa bicara pada Mahanta. Dari raut wajahnya, Mahanta bisa menebak kalau dokter Kavya sudah tahu tentang kondisi Ziana.“Kenapa lama sekali?” gumam Mahanta membuat Tomo menepuk pundaknya.“Tenanglah, Maha. Meskipun hatimu sedang cemas, pikiranmu harus tetap tenang.”“Nggak bisa, om. Bagaimana kalau__”“Jangan mendahului takdir Tuhan dengan mengatakan asumsi yang membuat pikiranmu semakin buruk. Apa kamu lupa kalau belahan jiwa om juga ada di dalam sana?”Mahanta m
“Sherena. Wajahmu?” Nenek Darisa memperhatikan tisu di tangannya yang berganti warna seperti lebam di wajah Sherena. Meskipun bingung dengan apa yang dilihatnya, tapi nenek Darisa tidak seheboh sebelumnya.Mahanta dan Lintang yang puas melihat kebohongan Sherena nyaris terbongkar, memulai rencana berikutnya. Mahanta meraih tisu di tangan nenek Darisa. “Kamu belum cuci muka ya? Kok wajahmu kotor gini?”Lintang yang keluar dari kamar mandi dengan handuk basah di tangannya, mendekat lalu menyodorkan handuk itu pada Mahanta. “Cepat dibersihkan. Bisa-bisa infeksi kalau lukanya kotor,” ucapnya dengan wajah serius.“Benar juga. Sherena, biar Maha membantumu. Cepat, Maha,” ucap nenek Darisa.Sherena semakin panik karena Mahanta dan Lintang berdiri di sisi brankarnya. Kedua tangannya dipegang dengan kuat oleh kedua pria kekar itu. Sementara Mahanta mulai mengusap wajahnya dengan handuk basah itu.“Jangan! Lepasin!” jerit Sherena yang tidak diindahkan oleh Mahanta dan Lintang.Mahanta terus men