“Kiriman apa itu?” Rafandra bertanya pada Kayana yang baru saja masuk sambil membawa kardus dan plastik kecil di tangannya. Rafandra mendecih tak suka lalu berteriak, “Buang!” Kayana terperanjat kaget. Suara Rafandra tak biasanya bernada keras dan membentak seperti itu. “Semua?” “Iya. Aku tidak mau kamu makan makanan yang tidak kamu ketahui asal usulnya. Bagaimana kalau kamu keracunan?” mata Rafandra membelalak. Ia merampas kardus itu dan berniat membuangnya ke tempat sampah. Namun sebelum berhasil dibuang, Kayana merebutnya kembali. “Ini pemberian mama kamu.” Kayana mengamankan benda itu di dalam dekapannya. “Kalau mama kamu tahu bagaimana? Aku harus menghargai barang pemberian darinya.” “Buka. Biar aku lihat apa isinya,” perintah Rafandra. Kayana membukanya perlahan dan menemukan dua botol madu dan satu kantung buah tin. Ada juga tulisan kecil cara penggunaannya. Kayana sempat terdiam sejenak saat membaca isi dan petunjuknya. “Botol madu,” sahutnya lemas. “Buang! Kamu tidak bu
“Persiapan pernikahan kamu bagaimana?” ketus Della, ibu Rakabumi yang memang sudah sangat kesal pada anaknya sendiri. Sudah hampir dua minggu ia belum mendapat kabar apapun dari anak dan calon menantunya. Sedangkan waktu pernikahan diperkirakan dua minggu lagi. Rakabumi mendengus kesal. Setiap kali ia datang ke rumah orangtuanya, pasti selalu menanyakan hal ini. Sudah bosan rasanya. “Ini lagi persiapan, Bu.” Rakabumi juga membalas dengan nada ketus. “Jangan lama-lama. Perut Aruna semakin membesar.” Rakabumi hanya mengangguk. “Kamu sudah cuti?” tanyanya lagi. “Sudah. Tenang saja, sampai bulan depan masih aman. Habis nikah, Raka ada syuting tiga bulan di luar daerah. Raka minta bantuan ibu buat jaga Aruna,” pesan Rakabumi pada ibunya. “Ibu harap dengan pernikahan ini, imej kamu di depan publik akan berubah. Tidak ada lagi gosip murahan seperti beberapa bulan lalu bahkan tiga tahun yang lalu,” ujar Della mengenang masa lalu kelam karir Rakabumi. Tiga tahun yang lalu, anak kesayanga
"Samsul!" teriak Rafandra dari dalam ruangan. Kayana yang baru masuk dari luar hampir saja terlonjak kaget mendengar suara keras suaminya. Dari belakang, Samsul masuk sambil membawa sebuah map yang entah isinya apa. "Untuk hari ini sudah selesai atau belum?" "Sudah, Bos. Semua sudah selesai," jawab Samsul. Rafandra menandatangani isi map itu lalu menyerahkannya kembali ke Samsul. "Saya mau pulang. Ngantuk." Rafandra menutup komputernya lalu menyambar jas yang ia taruh di punggung kursi. "Kalau ada yang cari, suruh datang besok atau email dan telepon saya." "Siap, Bos." Kayana yang tahu maksud Rafandra, ikut mematikan komputer lalu menyusulnya ke luar ruangan. Sempat ia menyapa Samsul sejenak lalu berkata, "Sabar ya. Rafa memang seperti itu." "Sudah biasa bu bos. Pak Rafa itu memang sering seenaknya sendiri. Tapi dia baik, jadi saya segan," ujar Samsul yang memuji kelakuan Rafandra di depan Kayana. "Dia pernah marah sama kamu?" tanya Kayana penasaran. Samsul mengangguk. "Aneh, ke
Kayana tersenyum lebar, matanya membola dengan bibir bawah tergigit saat membuka majalah mode yang sedang ia baca. Di salah satu halaman yang memuat rubrik tentang kesehatan, ia tertarik dengan salah satu artikel tentang cara diet agar tidak menganggu metabolisme tubuh. Tak lama kemudian, ia meraba perutnya. Kayana merengut karena ada gumpalan lemak di sana. “Sayang, perut aku sekarang gembul. Aku mau diet boleh?” rengek Kayana manja. Diguncang-guncangnya lengan Rafandra tapi suaminya itu tak merespon. Kayana pun merengek lagi, “Aku mau diet karbo, boleh?” Rafandra yang duduk di sebelahnya hanya diam tak merespon sama sekali. Suaminya itu fokus mengirim email pada rekan bisnisnya yang sepertinya amat sangat penting. Kayana yang tak sabar bertanya lagi pada Rafandra, “Aku boleh diet lagi kan?” Rafandra tetap tak bergeming dan itu semakin membuat Kayana geram. Sekali lagi ia bertanya dan mengguncang tangan Rafandra lalu berteriak, “Kamu dengarkan aku ngomong apa enggak?” Brakk Raf
Setelah Abil pulang, Kayana menutup pintu depan. Ia kembali masuk ke dalam rumah dan menyiapkan makan malam untuk suaminya. Rafandra yang melihat bayangan Kayana di balik dapur segera masuk ke dalam dan menghampirinya perlahan dari belakang. Rafandra tiba-tiba memeluk Kayana dari belakang dan mendorongnya ke dinding dapur. Kayana mengerang. Ia tak tahu jika Rafandra tiba-tiba saja datang. “Kamu kenapa sih?” Kayana mendorong punggung Rafandra namun tak berhasil. Suaminya itu makin mendorongnya ke dinding hingga tidak bisa memberontak lagi. “Aku cemburu,” bisiknya. Kayana merinding mendengar suara Rafandra yang seperti pria nakal, bukan seperti suaminya yang lembut. “Kamu bisa kan satu hari saja tidak membuat aku cemburu seperti tadi?” “Kamu kan yang suruh aku pergi sendiri? Jangan salahkan aku kalau pulang sama dia,” balas Kayana tak mau kalah. “Aku minta maaf ya sayang, aku salah.” Rafandra mengusap belakang kepala Kayana dan menciumnya dengan lembut. Kayana hanya diam tak member
Rafandra masuk ke dalam ruangan rapat dengan wajah kesalnya. Rambutnya masih berantakan dan alas kaki yang berbeda dari biasanya. Samsul yang duduk di deretan kursi paling depan hanya bisa menepuk dahinya, kesal dengan kelakuan aneh bosnya. Ingin rasanya ia menegur bosnya tapi tidak berani. “Kamu dari mana saja? Ini hari kerja loh,” tegur Wirautama sang ayah saat Rafandra dengan santainya duduk di depan setelah memberi salam. “Loh, ini kan hari cuti Rafa. Kenapa papa marah?” balas Rafandra tak mau kalah. Wirautama kalah telak. Ia tak bisa lagi membalas kata-kata Rafandra yang menyudutkannya tadi. Ia pun memilih diam dan berbalik arah. “Baiklah, kita mulai rapatnya,” ujar Wirautama membuka rapat. Rafandra yang memang tak berminat memilih duduk dengan kaki dinaikkan, bertumpu dengan kaki yang lain. Tangannya membuka tutup botol minuman dan bungkus permen yang tersedia di depannya. Sesekali matanya melirik laptop yang dibawa Samsul lalu kembali menatap si pembicara di depan. Hampir s
"Ayo periksa." Alyssa menarik tangan Kayana masuk ke dalam kamar, entah apa yang akan mereka lakukan. Rafandra yang penasaran pun mengikuti mereka dari belakang. Ia berdiri di depan pintu dan mendengar percakapan antara ibu dan istrinya. "Kamu ke kamar mandi, terus test pakai alat ini. Mama selalu bawa di tas untuk jaga-jaga." Alyssa memberikan alat test itu pada Kayana yang berdiri mematung kebingungan. "Tapi, ma—" Kayana mengerutkan dahinya lalu memberi kode lewat mata pada Rafandra yang berdiri tepat di belakang ibunya. "Mau mama temani?" usul Alyssa yang segera ditolak Kayana. Rafandra membelalakkan matanya, tangannya langsung menyambar alat tes kehamilan di tangan ibunya. Alyssa segera merebutnya kembali dan memberikannya pada Kayana. "Kamu tahu kan cara pakainya?" Kayana mengangguk pelan. Sebenarnya, ia ingin menolak lagi tapi tidak enak rasanya. Apalagi jika melihat wajah ibu mertuanya yang sangat bersemangat. "Sebentar ya, Ma." Kayana masuk ke dalam kamar mandi dan menutu
Raut wajah bahagia terpancar jelas di lewat senyuman lebar di bibir Alyssa. Sejak ia masuk ke dalam rumah, aura kebahagiaan menyertainya. Sang suami yang sedang duduk santai di depan tv pun ikut merasakan perubahan itu. Penasaran, ia pun bertanya pada istrinya. "Bahagia sekali. Ada berita apa hari ini?" Alyssa menoleh cepat. Bibirnya masih menyunggingkan senyum manis. Wirautama jarang sekali melihatnya tersenyum seperti ini. Ada yang membuatnya bahagia? "Kamu mau dengar berita bahagia?" tanya Alyssa yang kini mendekat ke sofa tempat duduk suaminya. Wirautama mengerutkan dahinya, ia semakin merasa penasaran dengan berita yang membuat istrinya bahagia. "Apa itu?" Alyssa mendekat lalu berbisik di telinga suaminya, "Kita akan punya cucu." Alyssa tersenyum setelahnya lalu sibuk berseluncur ke dunia maya, mengabaikan suaminya yang mengerutkan dahinya bingung. Apa sebenarnya yang sedang dibicarakan oleh Alyssa? "Cucu? Maksudnya?" "Kamu ini, pura-pura tidak mengerti?" Alyssa memarahi