Hari ini akhirnya tiba juga. Jason akan menikah dengan Vita. Aku memulai hariku seperti biasanya. Aku joging mengelilingi rumah, barulah mandi dan mengenakan pakaian santai. Seorang pelayan mengetuk pintu dan memasuki kamarku sambil membawa setelan yang akan aku kenakan sore nanti.
Belum ada siapa pun di ruang makan, aku meminta pelayan untuk menyajikan sarapanku. Aku tidak bisa menunggu sampai keluargaku keluar dari kamar mereka masing-masing. Yang pertama datang adalah Ayah dan Bunda, kemudian Jason.
Ponselku bergetar dan aku melihat ada pesan masuk dari Celeste. Dia menanyakan keadaanku. Gadis aneh. Sejak kapan dia peduli dengan keadaanku? Aku hanya membalas bahwa aku sehat. Dia kembali bertanya apakah punggungku terasa sakit. Aku menjawab dengan singkat, tidak.
“Aku tidak bisa menikahi Vita, Yah,” ucap Jason saat Ayah dan Bunda sedang asyik berbincang.
“Omong kosong apa ini?” kata Ayah sambil meletakkan sendok yang dip
Jika pada kencan pertama dan kedua aku mengenakan pakaian semi resmi, maka khusus hari ini, aku mengenakan kaus berlengan pendek dan celana santai sedikit di bawah lutut. Aku mengenakan sandal bertali berhak datar agar nyaman saat berada di rumah Jonah nanti.Ponsel, dompet, dan pengisi daya ponsel sudah berada di dalam tas. Untuk berjaga-jaga, aku juga membawa pembalut. Tanda-tanda menstrual sudah mulai terasa. Punggung dan pinggangku agak nyeri dan aku selalu lapar. Tetapi aku masih bisa beraktivitas dengan normal.Papa dan Kak Nevan menatapku penuh arti saat aku masuk ke ruang keluarga. Aku duduk di salah satu sofa tidak jauh dari mereka. Papa pura-pura menonton siaran berita di televisi dan Kak Nevan entah membaca apa pada tabletnya.“Aku dan Jonah tidak akan melakukan apa yang kalian pikirkan,” kataku dengan kesal.“Kamu akan kencan dengan pria tampan yang sekarang menjadi dambaan di kota ini. Mengapa kamu malah marah-marah begitu?&
Jonah mendekatkan wajahnya kepadaku, aku refleks memejamkan kedua mataku. Benar, ‘kan? Dia selalu menggunakan cara ini untuk menghukumku setiap kali aku mengatakan sesuatu yang tidak seharusnya aku katakan. Aku menunggu beberapa saat tidak terjadi apa pun. Aku membuka salah satu mataku dan melihat dia hanya beberapa senti saja dari wajahku. Apa yang dia lakukan?“Apa yang sebenarnya kamu inginkan? Kamu tidak ingin aku menciummu tetapi kamu berulang kali sengaja memancingku untuk melakukannya,” katanya yang tidak terlihat risih dengan kedekatan fisik kami. Aku tidak bisa memberi respons karena bergerak sedikit saja, bibirku akan menyentuh bibirnya.“Ada apa? Kamu kehilangan kata-kata sekarang? Kamu tidak punya bantahan apa pun lagi?” katanya sedikit mendesak. Ya, sudahlah. Yang terjadi, terjadi saja.“Kamu berdiri terlalu dekat.” Aku sengaja menekan kepalaku ke badan mobil agar tidak ada bagian wajahku yang menyentuhnya.
Berani-beraninya dia berusaha menyerangku. Aku masih bisa menoleransi kata-kata spontan yang sering diucapkannya untuk menantangku. Tetapi menggunakan kekerasan untuk melawanku sudah melewati batas. Sepanjang hari ini aku akan memberitahunya bagaimana seharusnya dia bersikap kepada tunangannya sendiri.Tidak ada satu kata pun di dunia ini yang bisa membuatnya tunduk. Hanya satu. Menikah. Dia begitu ketakutan dan panik setiap kali aku mengancam akan memajukan tanggal pernikahan kami. Aku tidak akan melakukan itu karena aku masih punya banyak rencana dan tidak ingin ada penghalang yang disebut sebagai seorang istri. Tetapi melihatnya bungkam dan tidak berkutik untuk beberapa saat membuatku harus menggunakan hal itu sebagai ancaman.Dia pasti berpikir bahwa aku sama saja seperti laki-laki di luar sana yang menggunakan kekerasan tanpa tahu bagaimana mengantisipasi perlawanan yang datang tiba-tiba. Aku tidak sama sepertinya yang hanya belajar beberapa trik untuk membebaskan
Dia bilang dia butuh bukti? Oke. Aku akan membuktikan bahwa aku juga bisa serius dengan kata-kataku sendiri. Aku tidak tahu akan seperti apa hubungan kami di masa depan jika kami meneruskan pertunangan ini. Tetapi jika harus memilih, maka sampai saat ini dia adalah pilihan yang terbaik.Aku tahu bahwa pertanyaan ini tidak akan dibahas lagi. Tidak akan pernah, bila aku tidak salah menilai Jonah. Dia bukan tipe laki-laki yang suka menoleh ke belakang berkali-kali sehingga menghalanginya untuk melangkah maju.Jika sebuah ciuman yang dimintanya untuk membuktikan keseriusanku, maka itu yang aku berikan kepadanya. Tetapi saat menciumnya, aku bisa merasakan bibirnya membentuk sebuah senyuman. Aku tidak pernah melihatnya tersenyum sebelumnya. Aku menjauhkan wajahku untuk melihat wajahnya. Aku benar. Dia sedang tersenyum. Dan aku melihat seberkas emosi pada kedua matanya.Entah apa yang mendorongku, aku berpindah duduk ke pangkuannya, lalu mencium bibirnya berkali-kali.
Jonah mengajakku memasuki setiap ruangan yang ada di lantai dasar. Selain ruang duduk yang tadi aku masuki, ada ruang duduk lain yang sepertinya ditujukan untuk menerima tamu. Ruangannya lebih besar dengan sofa yang lebih banyak. Karena ada pada bagian paling depan, ruangan itu memiliki dua jendela ganda di sudutnya. Ukurannya dari lantai sampai ke langit-langit sehingga ruangan itu sangat terang oleh sinar matahari.Berikutnya, dia membawaku ke ruang makan yang lebih besar. Benar dugaanku. Ruang makan tadi adalah untuk keluarga, sedangkan yang besar adalah untuk menjamu tamu. Sayang sekali, ruangan ini pasti jarang digunakan. Tetapi dengan adanya pelayan, ruangan itu sama bersihnya dengan ruangan sebelumnya yang telah aku masuki.Ketika dia membawaku ke sebuah ruangan yang dipenuhi dengan buku, aku langsung menebak bahwa itu adalah ruang kerja sekaligus ruang untuk membaca atau belajar. Aku memeriksa beberapa buku pada salah satu rak. Semuanya adalah buku mengenai man
Sepertinya aku jatuh cinta kepada wanita muda ini. Bagaimana aku bisa tahu, entahlah. Tetapi aku menyukai setiap kejutan yang diberikannya kepadaku. Hanya dalam satu hari dia sudah dua kali membuatku terkejut. Pertama, dia berani mencoba menyakitiku secara fisik. Yang kedua adalah yang paling menarik, dia yang berinisiatif memberiku ciuman seintim itu.Belum cukup dengan kejutan itu, dia kembali membuatku terpesona dengan sikap sopannya kepada Pak Endra. Pria itu hanya seorang koki, seperti yang pernah diucapkan Jovita. Tetapi Celeste memperlakukannya dengan hormat bahkan menghargai setiap pendapatnya. Para pelayan akan sangat menyukainya nanti. Sekarang saja dia sudah berhasil mencuri hati kepala koki kami.Yang membuatku tidak mengerti adalah apakah dia wanita normal? Aku yakin bahwa setiap perempuan yang melihat rumah kami, gedung perusahaan kami, mobil mewah kami, bahkan pakaian yang kami kenakan, akan berusaha keras agar bisa menjadi nyonya di rumah ini. Tetapi ti
Aku merasakan sakit pada pinggang, perut bagian bawah, dan punggung bawahku. Tetapi aku masih bisa melakukan aktivitas ringan. Aku sarapan bersama Papa dan Kak Nevan, juga masih sempat menonton siaran televisi. Kak Nevan sudah memberikan pereda rasa sakit andai rasa nyerinya sudah tidak tertahankan lagi.Obat itu selalu berakhir di tangannya lagi karena aku tidak akan menyentuhnya. Setiap kali sakit ringan, aku lebih memilih untuk menggunakan pengobatan alami. Minum air hangat, makan buah, melakukan kompres, apa saja yang penting bukan memasukkan bahan kimia itu ke dalam tubuhku.Bosan hanya menonton acara yang itu-itu saja, aku memutuskan untuk berbaring di kamar dan memeriksa kabar di media sosial lewat tabletku. Jonah sedang apa sekarang? Bila aku meneleponnya, apakah dia akan terganggu? Ah, sebaiknya jangan. Dia sedang bekerja.Mendengar getaran di atas nakas, aku segera mengambil ponselku dan tersenyum saat melihat layar. Bukan Jonah. Aku mendesah pelan. &l
“Jonah, tunggu sebentar.” Nola mengikuti kami dari belakang. Tetapi pria ini tidak menggubris sahabatku dan terus saja berjalan. Kali ini dia sedang menuruni tangga. “Jonah, kamu akan membawa dia ke mana?” tanya Nola bingung.“Bu, tolong bukakan pintunya.” Jonah pasti mengatakannya kepada Bu Liana. Aku melihat ke sekelilingku dengan heran. Kami berada di pekarangan rumahku. Dia akan membawaku ke mana? “Nola, bukakan pintu mobil.”“Jonah, apa-apaan ini?” tanyaku setelah bisa bicara. Dia juga tidak mengacuhkan aku dan mendudukkan aku di jok depan.Tidak mau ketinggalan, Nola ikut masuk ke mobil. Jonah segera menyalakan mesin mobilnya dan mengendarainya keluar dari pekarangan rumahku. Aku menarik napas panjang merasakan nyeri itu datang lagi. Sial. Apa yang sebenarnya terjadi?“Jonah, kita akan pergi ke mana?” tanya Nola bingung.“Ke rumah sakit. Nevan hari ini masuk kerja,