PoV Dion “Ooh ... Kakak juga mau nikah? Kapan?” Putri terkejut mendengar ucapan Neng Cipi. Ya maklum, mereka kan emang udah kepisah lama. “Iya. Nanti akan Kakak kabari kalau waktunya sudah dekat. Doakan saja, semoga pernikahan Kakak sama Bang Dion berjalan dengan lancar.” Hem, Neng Cipi ngomongnya pake malu-malu. Bikin gemes banget dah! “Pasti, Kak. Kak, Bang, kalau begitu kami pamit pulang dulu. Kasihan Mas Firman, tangannya sampe keringatan begini. Kayaknya Mas Firman bener-bener takut sama Bang Dion.” Iyalah, dia emang harus takut sama gue! Heuh, kalau bukan calon bapak dari anak yang dikandung Putri, udah gue gorok itu lehernya. Jadi laki kayak banci tapi bisa bikin anak orang bunting. Aneh bener dah! Gimana bikinnya, ya? Bingung gue. “Ya udah, kamu hati-hati. Nomor hape kakak jangan dihapus lagi. Kalau ada apa-apa, hubungi kakak.” Calon bini gue emang kakak yang baik. The best banget! Beruntung dong gue, punya bini kayak Silvi. Cantik, bohay, sefrekwensi sama gue. Kan mant
PoV AyuHari ketiga di rumah Ibu, aku dan abang memutuskan untuk pulang ke rumah Bunda, membicarakan rencana tempat tinggal dan menanyakan siapa sosok lelaki yang sering Bunda temui.“Kok cepet sih, Nak? Bukannya seminggu?” Wajah Ibu terlihat sedih. Aku mengulas senyum, menggenggam telapak tangannya.“Ada hal penting yang harus dibicarain sama Bunda, Bu,” sahutku memandang wajah Ibu penuh cinta.Di ujung sofa, ada Bang Dion yang duduk bersebelahan.“Zheyeng kok buru-buru sih?” Bang Dion mulai aksi konyolnya. Menjawil dagu Abang sambil merebahkan kepala di pundak suamiku.“Apaan sih lo ah? Geli gue! Sono-sono jauhan.” Bang Dion bergeming, tetap memeluk pinggang Abang. Aku dan Ibu geleng-geleng kepala.“Ini lagi tangan! Lepasin kagak?” Abang kandungku itu tetap diam.&
PoV Bunda TariSetelah memastikan Ayu dan suaminya tidur terlelap. Bergegas, aku masuk ke kamar Dendi.“Gimana, Sayang? Mereka sudah tidur?” tanya laki-laki yang sedari tadi bersembunyi di samping lemari pakaian.“Sudah. Cepetan Mas keluar. Biar besok aku yang ke rumah.”“Katamu, mereka di rumah Eva seminggu. Ini belum seminggu udah pulang?”Aduh, malah banyak tanya lagi.“Besok aja ceritanya. Sekarang mendingan Mas pulang. Cepetan!”Baru saja hendak membuka gagang pintu, terdengar langkah kaki. Aku mengunci pintu kembali.“Mas cepetan sembunyi.”“Kenapa lagi? Tadi suruh cepat-cepat pulang, sekarang malah suruh cepat-cepat sembunyi?”Kudorong-dorong tubuh Mas Bram agar secepatnya bersembunyi di tempat semula.Setelah memastikan Mas Bram tak
PoV BundaBagaimana kami bisa menyembunyikan pernikahan selama sepuluh tahun? Tentu saja bisa. Ratih Angelica menyembunyikan kejahatannya lebih dari sepuluh tahun pun bisa.Pertemuan aku dan Mas Bram setelah menjadi suam istri, sering kali dilakukan, saat anak-anak tidak di rumah. Makanya, sangat kutekankan, kalau Ayu atau Dendi akan pergi, mereka harus ijin dan memberitahuku, jam berapa akan pulang. Salah satu alasannya agar aku dan Mas Bram tidak kepergok sama mereka. Pun melarang Ayu atau Dendi masuk ke kamarku tanpa ijin.Sebenarnya Dendi pernah hampir memergoki kami yang sedang berhubungan badan di rumah. Ketika itu, anak semata wayangku masih awal-awal kerja di perusahaan, dia pulang mendadak karena ingin aku menandatangani beberapa berkas. Astaga ... aku sampai lupa tidak memakai jilbab.“Bunda tumben gak pake jilbab?”Tanyanya tempo lalu.“O
PoV AbangSetelah salat Subuh, Bunda sudah pergi. Katanya, ingin menemui sekaligus membicarakan rencana pernikahannya dengan lelaki yang bernama Bramantyo. Kini, Tinggallah aku dan Ayu menikmati sarapan nasi goreng buatan istriku tercinta.“Semalam Abang mimpiin Bunda sama laki-laki itu, Yu.”Wanita di sampingku menghentikkan suapannya. Ia memiringkan kepala, lebih menyimak.“Mimpi gimana?”Meletakkan sendok di atas piring, meneguk air putih, lalu mendesah panjang.“Mimpi Bunda dan seorang lelaki sedang menikah. Anehnya, wajah laki-laki yang dalam mimpi berbeda dengan laki-laki yang Bunda temui.”“Mungkin Cuma bunga tidur, Sayang.” Ayu menggenggam tanganku seraya mengukir senyum manis.“Entah. Mimpi itu kayak nyata. Suasananya juga kayak zaman dulu.” Aku membuang pandangan
PoV AbangSetibanya di rumah, langsung menekan bel berkali-kali. Tidak berlangsung lama, muncullah bidadari pujaan hati.Kudorong tubuh Ayu perlahan, menutup dan mengunci pintu kembali, lalu mencium bibir tipisnya dengan liar. Kedua mata Ayu melebar, mungkin terkejut mendapat serangan mendadak. Kemudian, perlahan ia membalas aksiku. Menyeimbangi permainan yang aku sajikan.Aku dan Ayu menghapus Jarak, entah menit yang keberapa kami saling melepaskan dengan napas terengah.Kedua tanganku menangkup pipi Ayu. Menempelkan kening pada keningnya.“Love you, love you, love you, more.” ucapku seraya mengatur napas yang memburu.“Love you too.”Tidak menunggu waktu lama, membopong tubuh Ayu dengan bridal style. Wanita yang telah menjadi istriku mengalungkan kedua tangan pada leherku, membawanya ke dalam kamar. Hin
PoV Silvi Alhamdulillah keadaanku sudah lebih membaik, pikiranku pun jauh lebih tenang. Setidaknya sekarang telah mengetahui keberadaan Putri tinggal di mana. Sedang berberes, handphone berdering. Kuambil benda canggih itu dari atas kasur. Melihat nama penelepon, rupanya Putri. “Hallo, Put?” sapaku, begitu sambungan telepon terhubung. “Kak, hari pernikahan kami dipercepat jadi lusa.” Suaranya terdengar riang gembira. Aku masih tidak menyangka, Putri seorang anak yang kukenal pendiam ternyata, ya Allah .... Mengembuskan napas yang terasa sesak. “Oh gitu? Selamat ya?” “Kakak harus datang ya? Sekalian ajak Bang Dion. Putri senang kalau Kakak mau datang.” “Iya, kakak usahakan dateng. Put?” “Iya, Kak?” “Kamu serius, Mama dan Papa Boris jangan dikasih tahu?” “Jangan, jangan, Kak. Putri gak butuh kehadiran mereka! Kalau Mama Papa datang, nanti acara Putri bakalan kacau. Pasti nanti mereka akan saling menyalahkan. Dahlah, Kak! Cukup Kakak aja yang dateng!” Aku menarik napas panjan
PoV DahliaKehidupanku semakin memburuk dari tahun ke tahun. Tidak ada lagi cinta setelah Supriyatna merenggut kesucianku.Dulu Supriyatna adalah seorang lelaki yang membuat aku jatuh cinta. Meskipun ia suka main judi dan mabuk-mabukkan, tetapi perlakuannya kepadaku sangat lembut. Tutur katanya pun halus.Suatu waktu ia datang melamar tanpa memberitahu terlebih dahulu. Sempat terkejut dengan kedatangannya. Aku pikir, ia hanya datang bertamu, tidak serta merta mengungkapkan niat ingin melamar. Andai saja, sebelumnya tahu bahwa ia datang melamar, tentu akan kusuruh ia mengurangi bermain judi dan mabuk-mabukkannya agar orang Bapak dan Ibu setuju, bersedia menerima lamaran Kang Supri.Nasi sudah menjadi bubur. Dia datang, di mana banyak orang melihat Supriyatna sehabis memenangkan permainan judi besar-besaran. Apalagi, ketika datang melamar, Supriyatna habis pesta minum-minuman. Bau alkohol d