Di dalam mobil, sepanjang perjalanan menuju rumah Ibu, aku bercerita tentang kelakuan Bang Dion dan Silvi pada Abang. Laki-laki di sampingku tertawa lepas.
“Lebay si Oon! Bilangin Silvi, panggilnya Bang Oon bukan Bang Ion! Kayak pelajaran Kimia ion-ionan.” Abang tertawa memamerkan barisan giginya yang rapi. Sementara matanya tetap fokus melihat ke depan.
“Nanti Ayu bilangin. Pasti Silvi ngambek. Orang tadi Ayu Cuma ngetawain Bang Dion aja ngambek!” kataku menahan gelak tawa. Kejadian beberapa jam lalu melintas. Pertemuan lucu antara Bang Ion dan Neng Cipi.
“Benjol gak pala si Oon?”
“Gak tau. Ayu gak lihat jelas.” Tadi sore pasti Bang Dion malu banget. Sakitnya sih mungkin gak seberapa, malunya itu lho!
“Syukurlah kalo si Dion udah move on.”
Aku menoleh, menunggu kelanjutan ceritanya.
“Kenapa emang, Bang? Move on dari siapa?&rdqu
"Dendy, belum pulang?” Ibu tiba-tiba sudah berdiri di balik pintu. Melangkah, mendekati aku dan Abang. Lalu duduk di bangku satunya.“Belum, Bu. Berat banget mau pulang juga," sahut Abang, memutar pinggang ke kanan dan ke kiri.“Berat kenapa, Bang?” Aku memiringkan kepala, menatap Abang lekat. Takutnya laki-laki kelahiran bulan Juni itu punggungnya berat karena sering lihat laptop. Biasanya kalau kayak gitu suka minta dipijat pundaknya.“Berat ninggalin calon bini,” jawabnya dengan suara pelan. Idih sempat-sempatnya nge-gombal. Di depan Ibu pula.Ya ampun, pake mengerlingkan sebelah mata lagi!Asem!! Gak malu banget sih, godain aku di depan Ibu. Ibu tergelak, tertawa renyah. Sumpah malu banget.“Udah gih ah, pulang!” Kusuruh Abang pulang. Tidak enak juga suasana sudah malam. Khawatir jadi bahan gunjingan tetangga Ibu.“Emang udah selesai bicaranya?” tanya Ibu, mem
Aku menghentak-hentakkan kaki, kesal sama Abang. Masa Cuma becanda aja ngambek? Sampe gak mau balas pesan? Ish!“Napa lo?” Tiba-tiba Silvi menyembul di balik pintu kamar.“Masuk aja sih. Malah berdiri di situ!” Sahabatku berjalan santai menghampiri.“Lo tidur di kamar ini?” Pertanyaan Silvi hanya kujawab dengan anggukkan.“Biar gue tebak, ini pasti harusnya kamar buat anak cewek Ibu yang hilang, yang kemungkinan anaknya itu lo, ya kan?” Aku mengangguk lagi.“Bagus ih! Betah deh gue tinggal di sini. Apalagi Ibu ramah banget, baik lagi. Beruntung banget, kalau bener lo anak kandungnya Ibu. Ya kan?” Aku mengangguk lagi, tatapan ke arah depan.“Ehh!!!" Silvi menyenggol lenganku.“Napa sih? Bete amat?” Lanjutnya. Aku mendengus kesal.“Itu, Abang! Ngeselin banget. Masa Cuma gue bilang Om-Om dia marah sampe sekarang ....o"Kedua mata sahabatku m
Sudah pukul sembilan pagi, aku menunggu Abang di depan teras rumah Ibu. Tapi hingga sekarang, belum juga datang. Apa dia lupa kalau hari ini mau mengantarku jemput Silvi?Dari tadi, pesan juga belum dibaca, belum dibalas. Ditelepon gak diangkat-angkat. Jangan-jangan Abang beneran marah karena semalam dibilang om-om?“Lho, kirain Ibu udah berangkat?” Ibu menghampiri, duduk di kursi samping kiriku.“Belum, Bu. Ini Ayu mau pesan taksi," sahutku memesan taksi online. Aku rasa, Abang tidak akan mau menjemput. Mungkin dia masih marah semalam aku panggil Om-Om.“Kenapa gak minta dianter Abang atau Bang Dion?” Ibu memberi usul. Aku mendongak, memaksakan bibir untuk tersenyum.“Takut mereka lagi sibuk. Ayu gak enak,” ucapku berbohong. Padahal ngarep banget Abang datang.“Udah dipesan taksinya?”“Udah, Bu," sahutku memasukkan handphone ke dalam tas."Menurut Ayu, Silvi suk
Sehabis nonton, kami berempat mampir di salah satu cafe. Aku yang sedari kesal oleh omongan mesum Abang memasang wajah bete.“Yu, lo kenapa? Dari tadi gue lihatin tuh bibir manyuuun ... aja.” Silvi mendekatkan kursi. Pandanganku tertuju pada dua laki-laki di hadapan. Mereka tengah asyik membahas film yang baru saja kami tonton.“Tuh!”Mendongakkan kepala ke arah Abang.“Kenapa Abang lo?” bisik Silvi pada telingaku.“Au, ah!” Menyeruput Jus Alpukat, lalu berdiri.“Yu, lo mau kemana?”“Pulang!!” jawabku ketus sambil terus berlalu.“Bang Dendy, itu Ayu!” Samar kudengar Silvi memberitahu Abang. Aku berjalan cepat.“Ayu! Yu, tungguin Abang!!” teriak Abang. Aku tak menoleh sedikit pun.Bodo amat! Aku terus melangkah, berjalan cepat ke pinggir jalan. Berharap secepatnya taksi melintas.Secepat kilat Abang menarik lengan
Rasa kesal terhadap Abang, hilang sudah karena kabar baik yang Bunda sampaikan. Akhirnya Allah mengabulkan apa yang aku harapkan. Semoga kedepannya hubunganku dengan Abang berjalan mulus, tidak ada halangan apapun."Jadi, kapan kalian mau cetak undangan dan fitting baju buat pernikahan?” Kedua mata Bunda menatap kami bergantian. Sejujurnya aku tak tahu. Aku memilih diam, membiarkan Abang yang menjawab.“Besok, Bun! Besok Dendy sama Ayu mau fitiing baju.” Penuh semangat Abang menjawab.“Cetak undangannya?”“Besok juga!” tandas Abang. Bola matanya berbinar, wajahnya sumringah.“Bunda, emang tanggal pernikahannya udah ditentuin?” tanyaku mengalihkan perhatian Abang.“Ya terserah kalian. Kalau rencana Bunda sih, malam Minggu dua hari setelah pengajian, kalian tunangan. Sebulan kemudian langsung akad sekaligus resepsi. Gimana, setuju gak?” Usulan Bunda tak kutanggapi. Apa tidak ter
Usai fitting baju, aku dan Abang ke tempat souvenir. Perjalanan cukup jauh. Tapi gak masalah, yang penting bisa bersama sama Abang, rasa capek itu pasti hilang. Eeaaak ....Lima belas menit kemudian, kami tiba di tempat yang dituju. Aku dibuat bingung dengan beraneka macam souvenir. Bingung juga sih cari yang cocok.“Bang, ini urusan Abang aja deh! Ayu bingung.” Aku menyerah, pusing ikutin seleranya Abang. Dari tadi disodorkan beberapa contoh souvenir menggeleng terus.Dikasih tahu yang ini, menggeleng. Yang itu, menggeleng. Hadeuuh....Laki-laki itu hanya mengangguk tanpa menoleh. Tatapannya tertuju pada barisan aneka macam souvenir. Aku memilih duduk di bangku yang disediakan untuk para pengunjung. Dari pada bosen nunggu Abang, lebih aku membuka handphone. Berselancar di dunia maya.Membuka ponsel, ada story WhatsApp Silvi berfoto denganku. Foto setahun lalu.Mataku membeliak baca captionnya.“Gak nyangka ban
Ibu tak henti memelukku saat mengetahui hasil tes DNA yang menyatakan kalau aku adalah anak kandungnya yang selama ini hilang. Aku pun tak menduga sama sekali, akan bertemu dengan Ibu yang telah melahirkanku. Rasa haru tiada terkira. Tak henti air mata kami mengalir.“Dua puluh tahun, Nak ... Ibu menunggumu, mencarimu kemana-mana. Ya Allah, terima kasih. Akhirnya kami telah dipertemukan," ucap Ibu disela Isak tangis. Aku hanya mampu mengangguk dalam pelukannya. Tak kuasa untuk berbicara. Aku dan Ibu larut dalam tangisan, menumpahkan segala rasa rindu. Meski, selama ini Bunda merawatku dengan penuh kasih sayang, akan tetapi kerinduan pada sosok Ibu kandung tetaplah ada.Ibu melepaskan pelukan, menatapku dengan air mata yang membasahi kedua pipinya“Ibu ....” Panggilku lirih, mengusap air mata Ibu perlahan. Ibu menangkupkan kedua tangan pada pipiku.“Ibu mohon, Nak. Tinggallah bersama Ibu. Ya, Sayang?” pinta I
PoV Ayu"Oh iya, Bu Eva.” Aku dan Ibu melepaskan pelukan, menoleh pada Bunda, tampak tenang sekali.“Nanti malam ada pengajian di sini. Hm ... sekalian mau ngasih tau ke teman-teman saya, para tetangga, kalau Ayu adalah anak angkat. Supaya, nanti pas mereka menikah, tidak ada fitnah atau pikiran macam-macam. Kalau Bu Eva tidak sibuk, silakan datang.” Cetus Bunda. Kulihat Ibu memaksakan untuk tersenyum.“Iya, saya akan datang. Nak, nanti malam Ibu sama Bang Dion akan datang ke sini.”“Satu lagi, Bu. Malam Minggu besok juga, Dendy dan Ayu akan bertunangan. Di rumah ini acaranya, bukan di tempat lain. Ya barang kali, Bu Eva mau menghadiri.”Enteng Bunda berbicara. Lagi-lagi Ibu hanya mengulas senyum.“Baik, saya akan datang," sahut Ibu. Kedua matanya tak lagi menatap Bunda. Guratan kesedihan sangat kentara dari balik wajah cantiknya. Kugenggam tangan Ibu. Mencoba memberi