PoV Ayu
Malam hari, aku masih termenung. Memikirkan kejadian tadi siang. Sudah pukul sepuluh malam, mata enggan terpejam. Entah karena baru kali ini tidur di rumah orang lain, atau memang belum ngantuk.
Aku meraih handphone, mau WA Abang. Dia udah tidur belum ya?
[Abang]
Send. Ceklis dua tapi belum dibaca. Nyepam ah ....
[A]
[B]
[A]
[N]
[G]
[T]
[A]
[M]
[PAN]
Dih! Belum juga diread.
Kayaknya udah tidur. Ya udahlah. Menyimpan handphone, menarik selimut. Baru saja mata terpejam, benda android itu berdering. Segera kuraih. Abang telepon.
“Kenapa?” Terdengar suara dari seberang.
“Ayu belum ngantuk, gak bisa tidur.” Aku mulai mengeluh.
Terdengar helaan napas.
“Kepikiran soal kejadian siang. Apalagi besok mau tes DNA, Ayu takut.” Sambungku mendekap bantal.
PoV Ayu"SiapaHerlina?” Ibu melempar tanya dengan tatapan menusuk.“Bu ... Bang Parto suruh duduk aja dulu. Kasihan dia kayak gitu dari tadi,” ucap Abang. Lagi pula orang itu sepertinya sudah benar-benar bertaubat. Abang mengambil kursi plastik yang tak jauh dari bale.“Duduk di sini, Bang. Biar enak ngobrolnya,” sambung Abang. Sambil terbatuk-batuk Bang Parto menurut. Ibu meminta pindah tempat duduk. Ingin lebih dekat dengan Bang Parto. Mungkin agar lebih jelas mendengar penuturan lelaki bertato itu.“Saya gak suka muter-muter, lebih baik Anda cerita yang jujur. Siapa Herlina? Apa motifnya sampe menculik anak saya dan membunuh suami saya?!” Cecar ibu dengan luapan emosi yang menggebu. Sepertinya Bang Parto tak sanggup menatap Ibu. Sedari tadi merunduk terus. Rasa sesal dan bersalah kentara sekali dari raut wajah sangarnya.“Baik. S
PoV Bunda Tari RianaSudah dua hari, Dendy dan Ayu pergi dari rumah. Sepi, itu yang kurasakan. Semua ini memang salahku. Telah menyuruh Ayu menemani Firman hingga kehormatannya hampir terenggut.Sama sekali tak menduga kalau anak Jeng Ratih tega melakukan hal serendah itu.Melihat handphone, tak ada pesan atau telepon dari Dendy mau pun Ayu. Aku sendiri, tidak berani menghubungi mereka terlebih dahulu. Apakah mereka masih saja marah padaku?Dari kemarin, aku sangat mencemaskan keadaan Ayu. Anak itu tinggal di mana. Awalnya aku berpikir, kalau dia tinggal di apartemen Dendy tapi setelah aku tanyakan pada bagian keamanan, katanya hanya ada Dendy tidak ada seorang perempuan. Lantas Ayu tinggal di mana? Silvi sahabat karibnya pun tidak tahu menahu keberadaan Ayu.Ya Allah, Naaak ... Bunda kangen. Kangen kalian.Handphone berdering. Jeng Ratih menelepon. Ada apa lagi dia?
Setibanya di rumah, sudah ada mobil Bang Dion.“Ibu, Ayu, saya langsung ke kantor ya?” Calon suami pamitan. Eaaakk ....“Iya, Bang,” sahutku sambil mengulas senyum.“Iya, Nak. Makasih ya udah mau Ibu repotin,” ucap Ibu sungkan.“Gak apa-apa, Bu. Dendy senang kok bisa jalan bareng Ibu sama Ayu,” ujar Abang mengakhiri ucapannya dengan melipat bibir. Melirik padaku dari kaca spion. Aku dan Ibu pun keluar mobil.Tak lama, Bang Dion keluar dari dalam rumah menenteng beberapa map.“Udah pada pulang nih?” Tanya Bang Dion menghampiri kami.“Lo ngapain ada di rumah? Gue suruh jagain kantor malah balik??” Abang tampak tak suka melihat kehadiran Bang Dion di sini.“Ya elah, balik bentar doang. Nih ada berkas ketinggalan. Lo mau ke kantor kan? Sekalian bawa!” Lelaki berkepala pelontos itu menyerahkan berkas ke depan dada Abang.“Kampret!! Gak a
PoV Ayu Aku tertawa melihat kekompakan Bang Dion dan Silvi menjawab. Wajah sahabatku langsung bersemu merah. Sementara Bang Dion senyum malu-malu kucing. “Hmm ... Abang pulang dulu ya, Neng?” “Neng yang mana nih?” Kataku tak henti menggoda. Silvi menyenggol lenganku. “Itu, Neng Cipi ....” Bang Dion mendongakkan kepalanya pada gadis berkaca mata yang berdiri di sampingku. “Hwhahahaha ... cieee ... Neng Cipi .... eh, Neng Cipi, Abang Ionnya mau pulang tuh.” Silvi merunduk, bibirnya mengerucut tapi matanya melirik Bang Dion. “Iya, Bang,” sahut Silvi dengan senyum malu-malu. “Asiiiikkk ....” Aku menimpali. Senang rasanya melihat sahabatku kayak gini. Hidup Silvi penuh kesedihan terutama jika mengingat perlakuan kedua orang tuanya yang seolah tak menyayanginya. Tapi kesedihan itu selalu berusaha Silvi sembunyikan dengan sikap riangnya. Akhirnya Bang Dion berjala ke arah mobil, kepala Bang Dion berkali-
Di dalam mobil, sepanjang perjalanan menuju rumah Ibu, aku bercerita tentang kelakuan Bang Dion dan Silvi pada Abang. Laki-laki di sampingku tertawa lepas.“Lebay si Oon! Bilangin Silvi, panggilnya Bang Oon bukan Bang Ion! Kayak pelajaran Kimia ion-ionan.” Abang tertawa memamerkan barisan giginya yang rapi. Sementara matanya tetap fokus melihat ke depan.“Nanti Ayu bilangin. Pasti Silvi ngambek. Orang tadi Ayu Cuma ngetawain Bang Dion aja ngambek!” kataku menahan gelak tawa. Kejadian beberapa jam lalu melintas. Pertemuan lucu antara Bang Ion dan Neng Cipi.“Benjol gak pala si Oon?”“Gak tau. Ayu gak lihat jelas.” Tadi sore pasti Bang Dion malu banget. Sakitnya sih mungkin gak seberapa, malunya itu lho!“Syukurlah kalo si Dion udah move on.”Aku menoleh, menunggu kelanjutan ceritanya.“Kenapa emang, Bang? Move on dari siapa?&rdqu
"Dendy, belum pulang?” Ibu tiba-tiba sudah berdiri di balik pintu. Melangkah, mendekati aku dan Abang. Lalu duduk di bangku satunya.“Belum, Bu. Berat banget mau pulang juga," sahut Abang, memutar pinggang ke kanan dan ke kiri.“Berat kenapa, Bang?” Aku memiringkan kepala, menatap Abang lekat. Takutnya laki-laki kelahiran bulan Juni itu punggungnya berat karena sering lihat laptop. Biasanya kalau kayak gitu suka minta dipijat pundaknya.“Berat ninggalin calon bini,” jawabnya dengan suara pelan. Idih sempat-sempatnya nge-gombal. Di depan Ibu pula.Ya ampun, pake mengerlingkan sebelah mata lagi!Asem!! Gak malu banget sih, godain aku di depan Ibu. Ibu tergelak, tertawa renyah. Sumpah malu banget.“Udah gih ah, pulang!” Kusuruh Abang pulang. Tidak enak juga suasana sudah malam. Khawatir jadi bahan gunjingan tetangga Ibu.“Emang udah selesai bicaranya?” tanya Ibu, mem
Aku menghentak-hentakkan kaki, kesal sama Abang. Masa Cuma becanda aja ngambek? Sampe gak mau balas pesan? Ish!“Napa lo?” Tiba-tiba Silvi menyembul di balik pintu kamar.“Masuk aja sih. Malah berdiri di situ!” Sahabatku berjalan santai menghampiri.“Lo tidur di kamar ini?” Pertanyaan Silvi hanya kujawab dengan anggukkan.“Biar gue tebak, ini pasti harusnya kamar buat anak cewek Ibu yang hilang, yang kemungkinan anaknya itu lo, ya kan?” Aku mengangguk lagi.“Bagus ih! Betah deh gue tinggal di sini. Apalagi Ibu ramah banget, baik lagi. Beruntung banget, kalau bener lo anak kandungnya Ibu. Ya kan?” Aku mengangguk lagi, tatapan ke arah depan.“Ehh!!!" Silvi menyenggol lenganku.“Napa sih? Bete amat?” Lanjutnya. Aku mendengus kesal.“Itu, Abang! Ngeselin banget. Masa Cuma gue bilang Om-Om dia marah sampe sekarang ....o"Kedua mata sahabatku m
Sudah pukul sembilan pagi, aku menunggu Abang di depan teras rumah Ibu. Tapi hingga sekarang, belum juga datang. Apa dia lupa kalau hari ini mau mengantarku jemput Silvi?Dari tadi, pesan juga belum dibaca, belum dibalas. Ditelepon gak diangkat-angkat. Jangan-jangan Abang beneran marah karena semalam dibilang om-om?“Lho, kirain Ibu udah berangkat?” Ibu menghampiri, duduk di kursi samping kiriku.“Belum, Bu. Ini Ayu mau pesan taksi," sahutku memesan taksi online. Aku rasa, Abang tidak akan mau menjemput. Mungkin dia masih marah semalam aku panggil Om-Om.“Kenapa gak minta dianter Abang atau Bang Dion?” Ibu memberi usul. Aku mendongak, memaksakan bibir untuk tersenyum.“Takut mereka lagi sibuk. Ayu gak enak,” ucapku berbohong. Padahal ngarep banget Abang datang.“Udah dipesan taksinya?”“Udah, Bu," sahutku memasukkan handphone ke dalam tas."Menurut Ayu, Silvi suk