PoV Ayu
Alhamdulillah acara pertunangan berjalan dengan lancar. Hubungan Ibu dan Bunda pun sudah semakin membaik. Bahkan, kalau aku dan Abang sudah menikah, Bunda kasih ijin tinggal di rumah Ibu selama satu Minggu.
“Yu, nanti kalau kita udah nikah, gak mau honeymoon?” tanya Abang saat kami dalam perjalanan mengambil gaun pengantin.
“Mau sih. Abang maunya honeymoon ke mana?”
“Lho kok tanya Abang. Abang sih ikut maunya Ayu.” Berpikir sejenak. Kira-kira ke mana ya?
“Bingung. Abang aja deh yang mutusin.”
“Oke. Nanti Abang cari tempat yang bagus.” Kutanggapi dengan anggukkan kepala.
Perjalanan selanjutnya hanya keheningan yang menyelimuti. Sesekali kami beradu pandang, aku memalingkan pandangan dengan senyum dikulum.
“Kenapa, Yu?”
“Kenapa apanya?”
“Itu sih mukanya merah?” Langsung menangkupkan kedua tangan pada
PoV DiraDi luar dugaan, di sini aku bertemu dengan Eva dan Dion. Terrnyata tak perlu mencari target ke mana-mana, tanpa aku cari, mereka sudah ada di depan mata.Satu yang membuatku ragu, mereka satu darah dengan wanita yang sangat kucintai, Ayu.“Masa bodo lah! Toh Ayu sudah punya Bunda Tari yang kasih sayangnya melebihi ibu kandung.” Menepis pikiran yang melintas.Mengeluarkan ponsel, dari kejauhan kufoto Dion dan Eva. Nanti dua foto ini akan aku kirim pada Ratih.“Cin, pulang yok! Gaes, gue ama Cindy pulang duluan ya?” seru Rina berdiri.“Oke!!”Dua wanita seksi itu menghampiri Ayu yang berbalut gamis berwarna merah muda. Menyalami keluarganya satu persatu.“Gila ya? Malam ini si Ayu kelihatan tambah cantik! Gimana kalau udah rias penganten! Beruntung banget tuh Abangnya!” Celetukkan Rico
PoV Dira Aku terpaku, bibir terasa kelu mendengar suara Ayu. Tidak menduga kalau Ayu ada di rumah Eva. Aduh, bagaimana ini? “Mas, mau cari siapa?” tanya Ayu lagi. Aku menelan saliva. Sebelum menjawab aku berdehem. “Ini, Mbak, mau anter pesanan Ibu Maria," sahutku meninggalkan kotak yang berisi makanan. Sengaja aku mencari nama Maria, agar terkesan salah alamat. Aku sudah putuskan, tidak memberikan makanan ini sekarang. Kening Ayu berkerut. “Ibu Maria?” Aku yakin Ayu pasti heran. “Siapa, Nak?” Salah satu target muncul dari balik pintu. Entah kenapa, kehadirannya membuatku salah tingkah. “Mas ini mau anter pesanan Ibu Maria. Emang di sini ada yang namanya Ibu Maria?” “Maria? Gak ada. Di rumah ini gak ada yang namanya Maria. Mungkin Mas salah alamat.” Pura-pura nge-cek alamat kembali. “Oh iya, salah al
PoV SudiraApa yang dibicarakan Mang Supri ada benarnya. Rasanya hatiku jadi lebih lega setelah mengobrol dengan tukang ojek online itu.“Makasih ya, Mang. Saya jadi sedikit lega. Saya akan pertimbangkan saran Mang Supri. Saya juga udah mantap, tidak akan membunuh siapa-siapa. Biarlah menjadi urusan istri saya dengan dua target.”Meski hidupku tidak baik, pernah menjadi simpanan tante-tante, suka morotin uang mereka, tapi untuk membunuh, selintas pun tidak pernah terpikirkan.“Mas Dira ini orang yang cerdas, pendidikan tinggi, penampilan keren, wajah tampan, pasti mudah buat ngelamar kerja di perusahaan besar.” Lagi-lagi Mang Supri memujiku dan memberi semangat.“Mang Supri bisa aja nih.” Kuhela napas, masih ada sesuatu yang mengganjal.“Ada masalah lain, Mas?” Laki-laki yang rambutnya mulai beruban seolah tahu apa yang sedang aku pikirkan. Tapi untuk soal ini, tak perlulah
PoV SilviSetelah beberapa hari berpikir, akhirnya memutuskan pulang ke rumah. Rumah yang seharusnya menjadi tempat ternyaman, justru bagiku tempat yang menakutkan. Bagaimana tidak? Jika kaki ini menginjakkan rumah yang terbilang mewah itu, segala caci maki serta omelan selalu kudapatkan tanpa tahu kesalahan apa yang telah aku perbuat.Belum lagi, tatapan Mama. Sedari dulu, tatapan Mama selalu seperti memendam kebencian. Seorang ibu yang semestinya menjadi tempatku berkeluh kesah dan bermanja, justru seolah menjadi tempat pelampiasan kemarahan.“Neng Cipi mau Bang Ion antar?” tanya laki-laki yang kini telah menjadi tempatku berkeluh kesah. Meski perkenalan kami baru hitungan hari, entah kenapa, aku merasa seperti sudah mengenalnya sangat lama.“Gak usah, Bang.”“Tapi, Abang khawatir.”Sedikit banyak Bang Dion memang sudah mengetahui keadaan keluargaku.
PoV AyuLima sampai sepuluh kali produksi dalam sehari? Apa tidak kebanyakan? Tidak capek?Aku bergidik ngeri membayangkannya. Astaghfirullah ... gara-gara omongan Abang, otak aku jadi ketuluran mesum.Kututupi wajah dengan kedua telapak tangan, menggelengkan kepala sambil menghentakkan kaki.“Yu, Ayu?”Membuka kedua telapak tangan, menoleh.“Kenapa?”“Gak kenapa-napa.”“Mikir mesum ya?”Astaga! Untuk kedua kalinya Abang bisa menebak pikiranku.“Ng-nggak kok! Emangnya Abang!!” Ketusku mengerucutkan bibir.Abang melirikku sambil tersenyum.“Jangan lirik-lirik, fokus ke jalan!! Nyebelin!!” Bersungut, membuang muka.“Abang gak bisa fokus kalau Ayu kayak gini.”Aku enggan menanggapi. Tetap memasang wajah k
PoV AyuPukul empat sore, Abang datang menjemput. Seperti biasa, dia pasti mampir dulu, ngobrol-ngobrol sama Ibu.“Minum kopinya, Bang?” Aku meletakkan secangkir kopi di hadapan Abang. Kemudian duduk di samping Ibu.“Bu, Dendy berasa lagi bertamu.” Bisik Abang pada Ibu. Ibu menoleh padaku, lantas tersenyum.“Bertamu jadi mantu.” Timpal Ibu. Lalu mereka tertawa. Ish! Ibu mulai berkelakar.“Canda, Cantiiik....” Melihatku bermuka masam, Abang angkat bicara.“Emang gitu Nak Dendy, kalau gadis mau nikah, bawaannya tuh sensitiiiiiff banget. Hati-hati lho.”Aku tetap diam. Menjadi penonton aksi dua orang yang aku kasihi.“Iya, Bu. Ayu belakangan jadi sering ngambek. Nangiiiiss ... terus.”“Ya kan Abang yang bikin Ayu nangis!!” Au
PoV AyuCemburu? Abang cemburu sama siapa? Perasaan aku tidak memuji-muji lelaki lain.“Abang cemburu sama siapa?” tanyaku heran. Laki-laki yang duduk bersebrangan denganku malah membuang muka, seolah enggan menatapku.“Dira," sahutnya singkat.“Dira? Kenapa?”“Karena Ayu kenal banget dia.” Suaranya masih tertahan tapi aku tahu, ada nada tidak suka dibalik itu.“Bang, Ayu kan temenan ama Dira udah lama. Ya, Ayu tahu dia. Kenal dia.”Abang bungkam. Napasnya memburu.Apa iya, aku terlalu mengenal Dira? Apa Iya, omongan aku bikin Abang cemburu?“Ya deh ... Ayu salah. Ayu ... minta maaf ya, Bang?” Menatapku, bibirnya tersenyum. Senyuman terpaksa.“Lain kali, jangan bicarain laki-laki lain di depan Abang. Apalagi cowoknya pernah suka ama Ayu.”&nb
PoV Ayu Dira menarik diri, terkejut mendengar pertanyaan Abang. Bibirnya dipaksakan tersenyum tapi aku tahu, kalau itu hanya untuk menghalau rasa gugup saja. “Ra-Ratih Herlina siapa?” Dira mengusap tengkuk. Membuang muka ke arah lain. Merunduk. Abang masih menatap intens mantan ketua BEM itu. “Gue gak suka berbelit-belit. Apa lo tau sikap Herlina sebenarnya?” Dira menoleh sekilas, lalu membuang pandangan lagi. Seolah tak mau beradu pandang dengan Abang dan aku. “Ratih Herlina alias bini lo itu, seorang pem-bu-nuh!!” Spontan kedua mata Dira membeliak. Abang menyandarkan tubuh ke sofa sambil bersedekap. “Gue yakin, lo tau dia di mana sekarang.” Lelaki berlesung pipit di depanku tetap bungkam. Seperti menahan beban yag berat. “Oke! Kalau lo gak mau jawab pertanyaan gue, terpaksa ... lo harus jawab pertanyaan dari Polisi. Ayok, Yu! Kita pulang! Mampir dulu ke kantor polisi.” “Bang, tunggu!!!” Abang dan aku yang sudah berdiri, duduk kembali. Memandang serius pada Dira. “Dira, kamu