“Sekarang sudah malam, tidurlah. Besok kita berangkat pagi-pagi sekali. Jangan sampai kamu drop lagi,” ucap Khaysan tanpa menanggapi pertanyaan Melody sebelumnya. Ia hendak menggandeng lengan istrinya, namun wanita itu malah sengaja menghindar. “Tinggal jawab saja apa susahnya?” balas Melody dengan senyum sinis. “Atau jangan-jangan kamu memang punya alasan terselubung di balik sikap baikmu ini? Sebelumnya saja kamu tidak pernah memedulikan aku.” Tak bisa dipungkiri Melody lebih senang dengan sikap Khaysan yang lebih lembut dan perhatian. Namun, ia takut hal itu malah menjadi bom waktu baginya jika akhirnya kembali menaruh harap, padahal Khaysan tak benar-benar tulus. Melody memang masih bisa menahan diri agar tidak terbawa perasaan, tetapi tidak dengan Nathan. Bocah itu masih polos dan belum mengerti apa-apa. Entah seberapa kecewanya putranya jika suatu saat nanti Khaysan kembali menunjukkan sikap aslinya. “Bukannya aku pernah mengatakan kalau aku ingin berubah?” jawab Khaysan deng
Melody tak menyangka Rosetta adalah sosok segigih ini sampai nekat mendatangi rumah ini. Dan anehnya, wanita itu mengetahui kalau hari ini Khaysan kembali. Seolah memiliki agenda kegiatan suaminya yang bahkan tak Melody ketahui. “Kamu memberitahunya kalau hari ini kamu pulang?” tanya Melody spontan sembari menoleh ke samping. Menatap sang suami yang tampak terkejut juga melihat Rosetta yang kini sedang bermain ponsel di bangku taman. “Kalian tunggu di sini, jangan ada yang turun sebelum aku kembali,” ucap Khaysan tanpa menjawab pertanyaan Melody dan langsung beranjak keluar dari mobil. Melody menatap dua orang yang kini berbincang itu dengan dengus samar. Masih untung Rosetta tidak menghampiri mobil ini. Bukannya ia takut dilabrak, hanya saja dirinya terlalu malas menghadapi drama tidak berguna. Terlebih dirinya juga masih sakit. Menerima pemutusan hubungan secara sepihak memang bukanlah sesuatu yang mudah. Namun, Melody mengira Rosetta akan membenci Khaysan setelah diperlakukan se
“Tidak cocok lagi, Dok?” tutur Khaysan setelah menghela napas kasar. “Ini sudah ketiga kalinya, apa memang sesulit itu?” “Mohon maaf, tapi hasilnya memang tidak cocok. Sulit atau tidaknya itu sebenarnya bergantung dari keberuntungan juga. Orang yang bersedia mungkin tidak cocok. Sedangkan yang tidak bersedia malah cocok,” balas sang dokter sembari menatap Khaysan dan Melody secara bergantian. Melody yang duduk di samping Khaysan hanya diam membisu. Jujur saja, ia berharap besar jika orang yang bersedia mendonorkan sumsum tulang belakang pada Nathan itu memiliki sumsum tulang belakang yang cocok untuk putranya. Sayangnya, mereka harus kembali menelan kekecewaan karena hasilnya. Dalam dua bulan terakhir, Khaysan berhasil mendapatkan 3 orang yang memiliki golongan darah sama dengan putranya dan bersedia melakukan donor. Namun, setelah diperiksa lebih lanjut, rupanya tidak ada satu pun dari mereka yang bisa mendonorkan sumsum tulang belakang pada Nathan. Apalagi hingga saat ini, belum
“Hei, kamu kenapa? Sakit? Pusing? Atau ada masalah di kantor?” tanya Melody sembari mengusap kepala Khaysan yang kini bertumpu di ceruk lehernya. Sudah lama Khaysan tidak menempel seperti ini padanya. Terutama setelah Nathan masuk rumah sakit. Mereka tak sempat memikirkan diri mereka sendiri selain fokus dengan kesehatan Nathan yang masih jalan di tempat. Ditambah lagi sejak memasuki ruangan ini tadi, Khaysan sudah terlihat berbeda. Melody yakin pasti ada yang tidak beres dengan suaminya ini. Belakangan ini lelaki itu selalu menjaga jarak dengannya kecuali jika mereka akan melakukan ‘sesuatu’. Dan, tidak mungkin juga Khaysan ingin melakukannya sekarang, di tempat seperti ini. Karena tak kunjung mendapat respon, Melody pun membiarkan Khaysan memeluk tanpa suara. Jika boleh jujur, ia merindukan pelukan ini. Rengkuhan hangat yang biasanya lelaki itu berikan ketika mereka tidur, namun dalam beberapa pekan terakhir, keduanya kembali asing. Seakan ada tembok tinggi yang membatasi mereka.
“Kamu ‘kan tidak suka makanan pedas. Kenapa tiba-tiba malah ingin makan rujak? Jangan aneh-aneh! Kalau kamu sakit perut, bagaimana? Apalagi semalam kamu sudah seperti itu!” sembur Melody menolak mentah-mentah keinginan Khaysan. Meskipun tak benar-benar tahu selera suaminya, tetapi Melody tahu kalau Khaysan tidak menyukai makanan pedas. Dulu, ia pernah memasak makanan yang sedikit pedas, lelaki itu marah besar karena diare setelah mengkonsumsi makanannya. Apalagi sejak semalam Khaysan sudah terlihat kurang sehat. Bahkan, pagi ini pun muntah-muntah. Suaminya itu sudah benar-benar aneh kalau masih nekat mengkonsumsi makanan yang jelas-jelas akan membuat perutnya semakin bermasalah. “Bagaimana kalau sup? Atau olahan berkuah yang segar lainnya? Aku yakin di kantin pasti ada sesuatu yang enak dan cocok di perutmu. Yang pasti itu bukan rujak,” saran Melody yang masih menerka dalam hati sebenarnya ada apa dengan suaminya ini. “Aku tidak mau makanan lain. Aku hanya ingin rujak. Sepertinya i
“Aku tidak hamil, Ma. Kebetulan beberapa hari lalu aku sudah mengeceknya dan hasilnya negatif. Mungkin memang belum waktunya,” sahut Melody dengan senyum tipis yang menghiasi wajahnya. Menutupi kekecewaan yang masih terasa. “Benarkah?” Senyum sumringah yang tadinya tersungging di bibir Melisa sedikit surut. “Tapi, apa kamu sudah memeriksakannya ke dokter kandungan? Kalau hanya alat tes kehamilan, mungkin saja ada kekeliruan. Atau kehamilan itu belum terdeteksi saat kamu mengeceknya.” Melody spontan melirik Khaysan yang ternyata menatap ke arahnya juga. Khaysan mengangkat bahu, sama-sama tak yakin apakah Melody hamil atau tidak. Walaupun kehamilan itu sangat mereka harapkan, tetapi beberapa hari lalu keduanya baru menelan kekecewaan. “Kalian juga bingung, ‘kan? Berarti sekarang Melody harus periksa ke dokter kandungan. Apa pun hasilnya, itu tidak masalah. Yang penting kalian cek dulu supaya ada kejelasan. Biar Mama dan Papa yang menemani Nathan,” tutur Melisa sembari mengelus lengan
Melody menghentikan langkah dan menoleh ke belakang. Tidak ada satu pun orang yang berkeliaran di sana, termasuk petugas rumah sakit. “Mungkin hanya perasaanku saja. Lebih baik aku segera kembali ke ruangan Nathan.” Melody bergerak cepat. Ia sangat menyayangkan lokasi pembuangan sampah yang cukup jauh dengan ruang perawatan Nathan. Tahu begini, ia tidak akan membuang sampah ke sana. Atau lebih baik dibiarkan saja di kamar rawat Nathan. Tadinya Melody ingin sedikit membantu meringankan pekerjaan petugas kebersihan dan dirinya pun ingin berjalan-jalan. Namun, bukannya dapat menghirup udara segar, dirinya malah panik sendiri seperti ini. Lagi, Melody merasa ada orang yang mengikutinya. Kali ini ia tak berani menoleh ke belakang lagi. Gerak langkahnya kontan semakin cepat. Berharap dapat sampai di ruangan putranya secepatnya. Rumah sakit ini masih sangat sepi, dan dirinya pun tidak membawa ponselnya. “Ya ampun! Aku malah salah belok!” rutuk Melody sembari menepuk keningnya. Karena pani
“Kami tidak pernah menjodohkan dengan siapapun lagi setelah perceraian kalian. Mama yakin Khaysan pasti bersikap buruk sampai istri cantiknya kabur,” jawab Melisa dengan senyum tipis. “Setahun yang lalu, Khaysan mengenalkan Rosetta sebagai kekasihnya. Mama tidak tahu bagaimana awal hubungan mereka.” Melody mengangguk paham. Berarti hubungan Khaysan dan Rosetta memang murni karena keinginan mereka sendiri. Wajar jika Rosetta tak terima Khaysan tiba-tiba memutuskan hubungan sepihak. Dirinya pun akan melakukan tindakan yang sama jika berada di posisi Rosetta. “Tapi, kamu jangan sedih. Mama yakin Khaysan tidak akan macam-macam lagi sekarang. Hubungan mereka sudah selesai sebelum kamu datang. Kamu tidak perlu merasa bersalah. Kalau sampai Khaysan berani menyakitimu lagi, dia akan berhadapan dengan Mama!” sahut Melisa menggebu-gebu. Melody hanya tersenyum tanpa memberi tanggapan. Melisa tidak tahu saja kalau sebenarnya yang meminta Khaysan memutuskan hubungan dengan Rosetta adalah dirinya