Indi menatap Damian. Terdiam setelah mendengar pertanyaan dari suaminya yang mungkin sedikit sulit untuk dia jawab. Ia kemudian menghela napasnya dengan pelan lalu mengulas senyumnya.“Untuk saat ini mungkin belum bisa mengatakan hal itu. Tapi, suatu saat nanti aku pasti akan mengatakan hal itu. Aku tidak ingin berbohong kalau masalah perasaan, Damian.”Damian kemudian mengecup kening Indi lalu mengusapi surat rambut perempuan itu yang menghalangi wajah cantiknya. “Aku akan menunggunya. Meski harus menunggu lama, aku akan menunggunya,’ ucap Damian kemudian mengulas senyumnya.“Sudah mau jam enam. Kita selesaikan mandi, habis itu makan malam sama-sama.”Keduanya lantas melanjutkan acara mandinya setelah bercinta dengan waktu yang cukup singkat. Hanya dua puluh menit saja karena dikejar waktu yang mengharuskan mereka mempersingkat hubungan intim tersebut. Lima belas menit kemudian, keduanya menyelesaikan acara mandinya. Bahkan mengenakan pakaian pun secara bersamaan. “Jangan pakai ba
“Kenapa Papa masih membahasnya? Aku udah bilang sama Papa kalau aku pasti bahagia dengan pilihanku sendiri. Oke, aku terima kasih sama Papa karena udah berusaha meyakinkan Papa Wijaya kalau Indi akan baik-baik saja denganku. Tapi, bukan berarti Papa terus menerus mengancamku dengan hal itu!”Damian tampak marah kepada Dipta sebab selalu membahas perjanjian yang mereka buat. Yang mana Damian harus mengakhiri rumah tangganya dengan Indi bila perempuan itu masih saja belum mau mencintainya dan juga tidak membuat Damian bahagia. “Papa sudah bilang sama kamu, Damian. Makan hati itu tidak enak! Lebih baik dicintai daripada harus mencintai. Jangan pernah membohongi Papa atas perasaanmu itu. Kamu tahu kan, bagaimana pergaulan Indi, huh? Jangan sampai kembali pada masa itu lagi atau Papa sendiri yang akan turun tangan untuk memisahkan kamu dengannya!”Dipta kemudian beranjak dari duduknya setelah berucap seperti itu kepada Damian. Lalu menatap sang anak dengan tatapan datarnya. “Jangan rusak
Damian menggelengkan kepalanya dengan tangan membalas pelukan Indi. Suara isak tangis yang keluar dari bibir Indi membuat Damian merasa bersalah karena sudah membuatnya sakit hati.“Aku tidak akan pernah meninggalkamu, Indi. Sampai kapan pun aku akan selalu di samping kamu apa pun yang terjadi,” ucap Damian menenangkan istrinya itu. Indi kemudian melepaskan pelukan itu. Mata penuh dengan genangan air mata itu menatap Damian yang tengah menatapnya sendu. “Setelah aku pikir-pikir, tidak ada lelaki yang mau menerima aku apa adanya. Hanya kamu meski aku tahu papa kamu tidak suka padaku. Tapi, setidaknya kamu akan selalu membelaku dan akan selalu mencintaiku meski papa kamu akan tetap memandangku rendah,” lirih Indi sembari terisak dengan pelan. Damian tersenyum lirih kemudian mengusapi sisian wajah sang istri. Lalu mengecup keningnya agar Indi merasakan damai kembali dalam hidupnya. “Tidak perlu menghiraukan apa kata orang lain di luar sana, Indi. Aku hanya ingin tua bersama kamu. Bia
Damian mengedip-ngedipkan matanya kala mendengar ucapan Indi. “Are you seriously?” tanyanya masih tak percaya dengan ucapan istrinya tadi. “Sayang, aku tidak mau main-main masalah kehamilan.”“Perlu bukti?” tanya Indi kepada Damian.Ia lalu menghela napasnya dengan pelan kemudian menghampiri Damian yang tengah menatapnya penuh dengan rasa tak percaya. Sembari membuka dress yang ia kenakan tadi serta ikatan rambutnya hingga kini terurai dengan indah.Kini, perempuan itu hanya mengenakan bra dan juga celana dalam yang memperlihatkan kemolekan tubuhnya yang berhasil membuat Damian berdesir juga pancaran signal di bawah sana berdiri tegap dengan sangat jelas.Tangan itu menyentuh bahu Damian dengan elusan yang begitu sensual. “Ya. Aku akan memberimu anak. Berapa pun yang kamu inginkan, aku akan memberinya. Asalkan jangan pernah membagi hati kamu dengan orang lain,” bisik Indi dengan suara lembut dan juga parau.Damian kemudian mengambil alih. Diraihnya tangan Indi kemudian mendudukkan tub
Waktu sudah menunjuk angka delapan pagi. Indi yang baru tertidur di jam dua pagi itu lantas masih terlelap. Sementara Damian sudah membuka matanya lalu menatap sang istri yang tertidur di sampingnya. Melingkarkan tangannya di perut sispax-nya.Ia kemudian mengecup kening perempuan itu sembari mengulas senyumnya. “Nggak pake apa-apa aja sangat cantik. Polos, nggak pakai baju.” Damian terkekeh dengan pelan kemudian memeluk tubuh mungil itu sembari menciumi wajah ayu milik istrinya itu.“Eeuuhhh ….” Indi menggeliat pelan. Terganggu oleh sentuhan yang dilakukan oleh Damian kepadanya.“Morning, Honey!” sapa Damian sembari menerbitkan senyumnya.Indi yang masih belum sadar sepenuhnya tidak mengindahkan sapaan Damian. Hanya menggeliat lalu mengucek matanya.“Jam beraa ini?” tanyanya dengan suara paraunya.“Jam delapan. Sudah punya dokter yang bisa kamu andalkan untuk memeriksa kondisi kesuburan kamu dan juga prog—““Heeuh? Kesuburanku? Kamu juga dong! Bukan aku aja. Gimana sih!” Indi tampak
Waktu lima jam begitu lama bila sedang ditunggu. Damian yang sedari tidak enak pikiran terus menunggu sampai hasilnya keluar. Sementara Indi hanya bisa menatap sang suami yang sedari tadi tidak bisa diam karena resah dan gelisah.“Indi, Damian. Hasilnya sudah keluar,” kata Regina memberi tahu. Raut wajah perempuan itu begitu terlihat lesu kala mendapat hasilnya. Seperti dugaannya saat memeriksa kondisi kesuburan Damian, itulah kenyataan pahit yang harus mereka terima.“Duduk!” ucap Regina kepada Indi dan juga Damian.Keduanya kemudian duduk lalu menatap Regina yang tengah menghela napasnya dengan pelan.“Jadi gimana, Na? Dugaan elo nggak bener, kan?” tanya Indi yang masih berpikir positif tentang kondisi Damian.Regina menggeleng dengan pelan. Ia kemudian memberikan hasilnya tersebut kepada Indi dan Damian.“Rahim elo udah siap membuahi sel mani yang ditransfer oleh Damian. Kondisi elo baik-baik aja dan bisa hamil kapan aja. Apalagi kalau dalam masa subur. Tapi, benih Damian ada sedik
Setibanya di rumah, Indi menghampiri sang papa yang tengah membaca majalah edisi terbaru di sofa ruang tengah. “Papa?” Indi memanggil Wijaya lalu menghampirinya.Wijaya menoleh kemudian menerbitkan senyumnya kepada sang anak. “Indi.” Lalu menghampiri perempuan itu. “Papa nggak bete, seharian di rumah terus? Nggak mau nyari pengganti Mama gitu?” Wijaya terkekeh dengan pelan. “Tidak, Nak. Papa sudah biasa seperti ini. Sejak masih kamu tinggal sama Papa juga nggak pernah pulang, kan?”Indi menerbitkan cengiran kepada papanya itu. “Sorry, Pa.”Wijaya mengusapi lengan anaknya itu. “Sendirian saja? Damian ke mana? Kenapa nggak diajak?” “Aku mau ngomong sesuatu sama Papa. Aku harap, Papa bisa menerimanya.” Indi menatap Wijaya dengan was-was. Khawatir Wijaya tidak bisa menerima keadaan Damian yang sulit untuk memberinya keturunan. Wijaya lantas mengerutkan keningnya mendengar ucapan anaknya itu. “Maksud kamu apa bicara seperti itu, Indi? Kamu tidak berulah, kan?” Indi menggelengkan kepa
Damian menganggukkan kepalanya dengan pelan sembari menerbitkan senyum hangat kepada sang istri.“Ya. Aku pun sudah merindukan itu, Sayang.” Indi membalas senyum itu kemudian menghela napasnya dengan panjang. “Nggak enak kalau pakai baju kayak gini. Sekalian mandi aja?”Damian terkekeh pelan. “Sampa lupa kalau istriku perempuan nakal,” ucapnya kemudian mencium sisian wajah Indi dengan tangannya merayap di atas gundukan kenyal Indi lalu meremasnya dengan lembut. “Eeuummh ….” Indi mendesah pelan seraya merasakan sentuhan lembut dari tangan kekar suaminya itu. Keduanya lantas masuk ke dalam kamar mandi. Saling melepaskan pakaian yang masih menempel di tubuh kedua insan itu. Matanya saling bertatap serta senyum merekah di bibir keduanya. “Damian. Ada satu kalimat yang belum pernah kamu dengar dari bibirku,” ucap Indi setelah keduanya melepas pakaian masing-masing. Damian menaikan sebelas alisnya. “Apa itu?” tanya Damian ingin tahu.Indi kemudian menerbitkan senyumnya. “I love you!” u