Setibanya di rumah, Indi menghampiri sang papa yang tengah membaca majalah edisi terbaru di sofa ruang tengah. “Papa?” Indi memanggil Wijaya lalu menghampirinya.Wijaya menoleh kemudian menerbitkan senyumnya kepada sang anak. “Indi.” Lalu menghampiri perempuan itu. “Papa nggak bete, seharian di rumah terus? Nggak mau nyari pengganti Mama gitu?” Wijaya terkekeh dengan pelan. “Tidak, Nak. Papa sudah biasa seperti ini. Sejak masih kamu tinggal sama Papa juga nggak pernah pulang, kan?”Indi menerbitkan cengiran kepada papanya itu. “Sorry, Pa.”Wijaya mengusapi lengan anaknya itu. “Sendirian saja? Damian ke mana? Kenapa nggak diajak?” “Aku mau ngomong sesuatu sama Papa. Aku harap, Papa bisa menerimanya.” Indi menatap Wijaya dengan was-was. Khawatir Wijaya tidak bisa menerima keadaan Damian yang sulit untuk memberinya keturunan. Wijaya lantas mengerutkan keningnya mendengar ucapan anaknya itu. “Maksud kamu apa bicara seperti itu, Indi? Kamu tidak berulah, kan?” Indi menggelengkan kepa
Damian menganggukkan kepalanya dengan pelan sembari menerbitkan senyum hangat kepada sang istri.“Ya. Aku pun sudah merindukan itu, Sayang.” Indi membalas senyum itu kemudian menghela napasnya dengan panjang. “Nggak enak kalau pakai baju kayak gini. Sekalian mandi aja?”Damian terkekeh pelan. “Sampa lupa kalau istriku perempuan nakal,” ucapnya kemudian mencium sisian wajah Indi dengan tangannya merayap di atas gundukan kenyal Indi lalu meremasnya dengan lembut. “Eeuummh ….” Indi mendesah pelan seraya merasakan sentuhan lembut dari tangan kekar suaminya itu. Keduanya lantas masuk ke dalam kamar mandi. Saling melepaskan pakaian yang masih menempel di tubuh kedua insan itu. Matanya saling bertatap serta senyum merekah di bibir keduanya. “Damian. Ada satu kalimat yang belum pernah kamu dengar dari bibirku,” ucap Indi setelah keduanya melepas pakaian masing-masing. Damian menaikan sebelas alisnya. “Apa itu?” tanya Damian ingin tahu.Indi kemudian menerbitkan senyumnya. “I love you!” u
Waktu sudah menunjuk angka tujuh pagi. Hujan yang mengguyur pun sudah reda sekitar tiga jam yang lalu. Pelukan hangat dari sang suami membuat Indi enggan untuk membuka matanya. Namun, tubuh Damian yang menggeliat karena ingin membuka matanya lantas membuat Indi ikut bangun. “Udah pagi,” ucap Indi dengan suara paraunya. Damian menganggukan kepalanya dengan pelan. “Sudah jam tujuh, mau setengah delapan.”“Heuuh! Kok kamu belum berangkat ke Malang? Nggak kesiangan? Atau nggak jadi pergi?” Indi tampak panik melihat Damian yang masih memeluknya dan seperti enggan pergi ke Malang.Damian terkekeh dengan pelan. “Sebenarnya aku sudah bilang kalau aku akan berangkat di jam sepuluhan. Diego juga belum ada jemput aku.” Damian berucap dengan pelan sembari mengusapi dengan lembut wajah Indi.“Oh, iyaa.” Indi mengusap wajahnya kemudian beranjak dari tempat tidur. “Mau mandi bareng?” Indi menawarkan mandi bersama kepada Damian.“Dengan senang hati,” ucap Damian kemudian menggendong tubuh mungil pe
Indi mengerutkan keningnya kala mendengar suara dari si penelepon tersebut. Matanya melirik kepada Manda yang tengah bertanya, siapa orang yang sudah menghubunginya. “Maaf, dengan siapa saya bicara?” tanya Indi pura-pura tak mengenali suara itu.Lelaki tersebut lantas menghela napas lelah mendengar pertanyaan Indi. “Kamu yakin, tidak mengenali suaraku? Hanya berpisah selama dua bulan saja kamu sudah lupa dengan suaraku?” Indi menghela napas kasar. “Rangga. Nggak usah sok kenal apalagi sok deket sama gue! Kita udah asing dan elo sendiri yang udah milih pergi dari hidup gue! Stop, ganggu gue dan jalani hidup kita masing-masing. Semuanya sudah berakhir. Elo nggak usah hubungi gue lagi dan … kalau ini nomor elo yang baru, jangan ganti lagi buat hubungi gue!”Indi kemudian menutup panggilan tersebut lalu memblokir nomor tersebut karena tidak ingin Rangga menghubunginya kembali. Perempuan itu lantas mendengus kesal karena Rangga tiba-tiba menghubunginya dengan nomor baru yang entah milik
“Apa?” Manda tampak terkejut mendengar ucapan Indi. Indi lantas beranjak dari duduknya lalu menghubungi Rangga yang sudah nekad ingin menemuinya ke rumahnya. Tidak akan pernah ia biarkan Rangga masuk ke dalam rumah papanya karena Indi tidak ingin mengecewakan sang papa dan sudah berjanji akan setia kepada Damian.“Di mana, lo? Temui gue di Fiona Resto sekarang juga! Jangan ke rumah. Gue nggak mau Papa ketemu sama elo!” ucap Indi kemudian menutup panggilan tersebut.“Indi. Elo mau ngapain nemuin si Rangga? Palingan juga mau minta maaf karena udah ninggalin elo dan udah hamilin si kuda nil satu itu,” ucap Manda sembari memegang pundak perempuan itu.Indi kemudian menghela napasnya dengan panjang. “Biar semuanya selesai, Nda. Gue nggak mau punya urusan lagi sama Rangga. Dia mau ngomong apa, nanti gue dengerin. Tapi, bukan berarti gue bakalan nerima dia balik lagi ke kehidupan gue.” Indi berucap dengan sangat serius. Manda menghela napasnya dengan panjang. “Jangan bikin dia merasa kala
Rangga menganga mendengar ucapan Manda yang memberi tahu bila Indi telah menikah dengan Damian. “Kapan, kamu menikah dengan Damian?” tanya Rangga dengan pelan. Ia masih tidak percaya bila Indi sudah menikah. Dan oran yang kini telah menjadi suaminya ternyata Damian Kusuma—salah satu pria yang dia kenal.Indi menghela napasnya dengan pelan seraya menatap Rangga dengan tatapan datarnya. “Nggak penting ngasih tahu ke elo, Rangga! Yang jelas, hubungan kita udah selesai dan jangan pernah temui gue lagi! Cukup sampai di sini dan jangan pernah hubungi gue lagi, Rangga. Jangan merusak rumah tangga orang.“Karena selama ini pun gue nggak pernah mengganggu rumah tangga elo. Nggak ada lagi kisah kita meski elo udah mau cerai sama Zoya. Silakan cari penggantinya dan semoga rumah tangga elo yang ketiga kalinya awet.”Indi kemudian menarik tangan Manda lalu pergi dari sana. Meninggalkan Rangga yang masih berdiri sembari meresapi semua ucapan Indi. Baru tahu kalau Indi sudah menikah, ia benar-benar
Damian menahan tangan Indi agar jangan keluar dari rumah itu. “Indi. Kita bisa selesaikan ini baik-baik. Jangan pergi begitu saja apalagi aku tidak boleh tahu kamu mau pergi ke mana. Aku mohon.” Damian menatap sendu wajah Indi agar mau mendengarkan permohonannya tadi. Indi kemudian menatap datar wajah Damian. “Mau kamu apa sih, Damian? Baru pulang, bukannya bawa oleh-oleh. Ini malah bawa masalah. Memangnya kenapa kalau Rangga punya anak? Itu anak hasil hubungan dia dengan mantan istrinya dulu, bukan anak aku!” Damian menarik napasnya dengan panjang lalu menarik tangan Indi dan memeluknya. Sekalipun Indi meronta, ia tidak akan pernah melepaskannya. “Aku benar-benar minta maaf, Sayang. Aku tahu ini terlalu berlebihan. Tapi, semua itu karena aku tidak ingin kehilangan kamu. Ada masanya pasangan jenuh kalau tidak ada buah hati dalam rumah tangganya. Itulah yang aku takutkan setelah nanti rumah tangga kita sudah berjalan tahunan.”Damian menjelaskan kembali ketakutan yang ada dalam diri
Indi masih menunggu Damian menjawab pertanyaan yang dia tanyakan kepada Damian. “Damian. Kamu mau ke mana?” tanya Indi saat melihat sang suami membalikkan tubuhnya meninggalkan Indi. “Ambil surat keterangan yang diberikan oleh dokter kemarin,” kata Damian menjawab pertanyaan sang istri.“Ooh.” Indi berucap dengan pelan. Damian lalu mengambil hasil diagnosa yang diberikan dokter kemarin saat dia menjalani pemeriksaan di Malang. Lalu memberikan selembar kertas itu kepada Indi yang sudah tidak sabar menunggu hasilnya. Lalu membaca diagnosa tersebut dengan khusuk.“Kurang lebih satu tahun dan harus rutin mengonsumsi obat yang sudah dianjurkan oleh dokter?” kata Indi sembari menatap Damian.Pria itu menganggukkan kepalanya. “Ya. Semoga kamu bisa sabar menunggu, Indi. Karena kondisi kamu yang sangat baik dan bisa merespon kapan pun benih itu tumbuh di rahim kamu, maka dari itu cukup menunggu sampai satu tahun untuk mengembalikan kualitas mani yang aku keluarkan.”Indi tidak bisa berkata-