Ken menunggu dengan gusar karena sepuluh menit sudah berlalu tapi Aira belum juga keluar dari kamar mandi. Bahkan, tidak ada tanda-tanda kehidupan di sana.Ken mendekat dan bersiap menggedor pintu, memaksa Aira untuk keluar dari sana. Namun, hal itu tidak pernah terjadi karena wanita dengan kardigan lengan panjang sudah keluar. Wajahnya pucat, tangannya terlihat gemetar."Mana hasilnya?" Ken membuka mulutnya, bertanya to the point. Aira tidak menjawab, mengabaikan suaminya. Dengan langkah lemah wanita itu kembali ke atas ranjang, naik dan kembali memejamkan mata. Dia belum ingin membicarakan hal ini pada Ken ataupun orang yang lainnya. Dia berharap ini hanya mimpi buruk dan besok pagi akan terbangun dalam keadaan yang berbeda.Ken bergeming, menatap tubuh mungil Aira yang kini tersembunyi di bawah selimut. Hanya bahu dan kepalanya saja terlihat. Wanita itu memeluk guling erat-erat, ingin mengendalikan dirinya agar tidak berteriak sekuat tenaga. Satu test pack tidak membuktikan apa pun
Headline surat kabar online membuat Aira semakin kalut. Kabar kehamilannya yang dituduh karena hasil serong dengan pria lain, menyita banyak atensi publik. Bahkan terpampang potret seorang pria yang mengakui sebagai ayah biologis dari anak itu. Meskipun namanya tidak diungkapkan dan foto dirinya disamarkan, jelas Aira tahu itu suami ke duanya. Bagaimana bisa jadi seperti ini? Kenapa Hiro berbuat semaunya? Jika Ken sampai tahu, apa yang akan pria itu lakukan?Di saat yang sama, nama Hiro tampak jelas menghubunginya. Tanpa menunggu waktu lama, Aira mengangkat panggilan itu."Love, bagaimana keadaanmu sekarang?""Kamu di mana?"Dua tanya itu diucapkan bersamaan, menyisakan hening dua detik berikutnya. Aira geram, marah, dan kesal. Tapi, dia juga kasihan dan khawatir."Kamu di mana?" Aira mengulangi pertanyaannya, semakin gusar dengan keberadaan Hiro yang beberapa pekan ini menghilang."Ada ... ada orang-orang yang ... yang hampir ... menyekapku. Untung saja aku ... aku bisa kabur." Napas
Aira sampai di rumah Ken saat matahari bersiap tenggelam di ufuk barat. Langkahnya terasa berat, menahan beban yang tidak pernah terpikirkan."Nona, Anda ...." Bibi Tsu tidak bisa melanjutkan pertanyaannya karena Aira lebih dulu menghambur ke dalam pelukan wanita itu. Sedu sedan terdengar memilukan. Wajahnya basah oleh air mata.Menit-menit berlalu dan tangis Aira belum juga redam Perlahan, wanita paruh baya itu membimbing nonanya menuju kamar dan berbaring di atas ranjang. Belum sempat selimut menutupi tubuh Aira, wanita itu sudah lebih dulu berlari ke arah wastafel dan memuntahkan isi perutnya.Bibi Tsu segera menyusul, memijat tengkuknya. Rasa iba menjalar di hatinya, ikut merasakan penderitaan Aira.Dengan cekatan wanita itu mengondisikan Aira, juga memberikan minuman hangat untuknya. Bukan hal yang asing lagi kalau seorang wanita hamil akan mengalami morning sickness di trimester awal kehamilannya.Meskipun Aira belum terbuka tentang hasil test pack miliknya, bibi Tsu yakin dia p
Malam semakin larut dan Ken masih terjaga. Setelah mengeluarkan semua keluhannya, Aira tampak kelelahan dan tertidur begitu saja. Ken membaringkannya perlahan, tidak ingin membangunkannya."Maaf sudah membuatmu jadi seperti ini, Love." Ken mengamati wajah Aira, merasa bersalah untuk ke sekian kalinya."Apa jadinya jika sejak awal aku jujur padamu? Apa kau akan tetap berada di sampingku?"Tidak terdengar jawaban sama sekali. Aira telah masuk ke alam bawah sadarnya. Dia sama sekali tidak tahu kalau pria cacat dan buruk rupa ini merupakan pria yang sudah membuat hatinya hancur berkeping-keping."Saat kau tahu kebenarannya nanti, semoga semua belum terlambat. Semoga kau mau memaafkanku dan kita bisa memulai semuanya dari awal lagi."Lagi-lagi tanpa jawaban. Ken bergumam sendiri. Sekarang saatnya berjuang, menjalin hubungan dengan wanita ini. Mungkin tidak akan mudah, tapi dia juga bukannya pesimis. Bukankah sebongkah batu saja bisa jadi berlubang jika setiap hari ditimpa tetes air?Hingga
"Dia tampak sedikit lebih baik dibandingkan semalam," ucap Ken sembari mengamati Aira yang duduk diam di kursi taman. Di sebelahnya, tampak bibi Tsu menemani bicara. Sejak meninggalkannya semalam, Ken memang tidak muncul lagi di hadapan istrinya. Dia menyelesaikan semua urusan kantor agar bisa meluangkan waktu lebih lama dengan Aira.Kosuke sendiri sudah kembali ke perusahaan setelah mengantarkannya. Lagi-lagi pria itu harus mengurus semua jadwal pertemuan dengan para klien mereka.Dari balik kaca jendela di lantai dua, Ken menggenggam kalung liontin bunga tulip yang kemarin dicampakkan oleh Aira. Suatu saat nanti, benda ini yang akan menjadi kunci pengakuannya pada Aira. Entah dimaafkan atau tidak, Ken harus berusaha memperbaiki hubungannya mulai sekarang. Di sisi lain, Aira selesai menceritakan detail kejadian yang menimpanya. Termasuk menggambarkan sosok Hiro yang sudah membuatnya kecewa. Bibi Tsu tampak terkejut, terhenyak di tempat duduknya."Maaf, saya tidak tahu hal seperti it
Tiga hari sudah berlalu sejak Aira memergoki Hiro mengkhianatinya. Dia tidak lagi murung, sudah bisa mengangkat wajahnya. Selama itu pula Ken selalu ada di rumah saat jam makan, entah pagi, siang, ataupun malam. Pria itu sengaja menyempatkan diri, meluangkan sejenak dari segala hiruk pikuk urusan kantor.“Silakan, Tuan.” Bibi Tsu meletakkan semangkuk nasi di hadapan tuannya, menundukkan kepala kemudian mundur dua langkah dari sana.“Bibi, mulai besok biarkan istriku yang mengambilkan makanan untukku. Sepertinya dia tidak sakit lagi.”Bibi Tsu mengangkat kepalanya, pun sama dengan Aira yang terhenyak dan langsung menatap Ken dengan pandangan heran. Ini pertama kalinya Ken buka suara, menyita atensinya. Ya, setelah ditampar tempo hari, pembawaan Ken sungguh banyak berubah.Pria itu duduk diam setiap kali ada di meja makan, sesekali memerhatikan Aira yang hanya bisa makan salad buah untuk mengisi perutnya. Pernah sekali waktu mencoba makan nasi, tapi langsung muntah detik berikutnya.Air
“Namanya Hiro?” Erina mengerutkan kening, tidak langsung percaya dengan pernyataan pria di hadapannya.“Benar, Nona. Dia salah satu staf IT di perusahaan tuan Yamazaki. Identitasnya tertutup sama sekali. Saya tidak bisa menggalinya.”Erina menatap potret wajah yang tergeletak di meja. Rasa-rasanya wajah Hiro tidak asing, seperti pernah dia lihat di suatu tempat. Bentuk matanya, seperti mata milik Ken yang membuatnya jatuh cinta. Tapi wajahnya jelas berbeda. Siapa dia?“Kamu yakin tidak ada yang terlewat? Sudah memeriksa ke bagian HRD Fujitsu?”Pria dengan topi hitam menutupi sebagian wajahnya itu menggeleng pelan, “Maafkan saya, Nona. Keamanan Fujitsu Corporation amat ketat. Saya tidak bisa meretas data karyawan mereka. Tapi dari salah satu karyawan di sana, saya dengar memang ada beberapa staf khusus yang sengaja direkrut oleh tuan Yamazaki Kenzo melalui asistennya, Kosuke Murasawa. Anda lebih tahu, saya tidak mungkin menyentuh pria itu, bukan?”“Baiklah. Kamu boleh pergi. Itu untuk
Ken memijat pelipisnya, berharap sakit kepala yang tengah menyergapnya bisa hilang. Namun, dia justru semakin kehilangan pijakan. Sudah dua hari Aira tidak menampakkan batang hidungnya. Wanita itu mengunci diri di dalam kamar, hanya mengizinkan bibi Tsu yang masuk untuk mengantar makanan."Bagaimana keadaannya? Dia sudah tidur?" tanya Ken saat mendapati wanita paruh baya itu keluar sambil membawa nampan berisi mangkuk."Nona baik, Tuan. Dia hanya ingin sendiri, begitu katanya. Sekarang Nona sedang asik membaca, melarang Anda mendekatinya."Ken mengembuskan napas berat. Ini tidak pernah ada dalam daftar rencana yang dibuat olehnya. Mereka bertengkar dan Aira marah semarah-marahnya. Wanita itu diam seribu bahasa, tidak akan membuka mulutnya di depan Ken."Dia mau makan?" Ken kembali memerhatikan pintu warna putih di belakang sana, berjarak sekitar lima meter dari tempatnya."Nona hanya bisa makan salad buah setiap hari. Pagi ini Nona ingin roti gandum kering. Besok saya akan coba tawark