Aira sampai di rumah Ken saat matahari bersiap tenggelam di ufuk barat. Langkahnya terasa berat, menahan beban yang tidak pernah terpikirkan."Nona, Anda ...." Bibi Tsu tidak bisa melanjutkan pertanyaannya karena Aira lebih dulu menghambur ke dalam pelukan wanita itu. Sedu sedan terdengar memilukan. Wajahnya basah oleh air mata.Menit-menit berlalu dan tangis Aira belum juga redam Perlahan, wanita paruh baya itu membimbing nonanya menuju kamar dan berbaring di atas ranjang. Belum sempat selimut menutupi tubuh Aira, wanita itu sudah lebih dulu berlari ke arah wastafel dan memuntahkan isi perutnya.Bibi Tsu segera menyusul, memijat tengkuknya. Rasa iba menjalar di hatinya, ikut merasakan penderitaan Aira.Dengan cekatan wanita itu mengondisikan Aira, juga memberikan minuman hangat untuknya. Bukan hal yang asing lagi kalau seorang wanita hamil akan mengalami morning sickness di trimester awal kehamilannya.Meskipun Aira belum terbuka tentang hasil test pack miliknya, bibi Tsu yakin dia p
Malam semakin larut dan Ken masih terjaga. Setelah mengeluarkan semua keluhannya, Aira tampak kelelahan dan tertidur begitu saja. Ken membaringkannya perlahan, tidak ingin membangunkannya."Maaf sudah membuatmu jadi seperti ini, Love." Ken mengamati wajah Aira, merasa bersalah untuk ke sekian kalinya."Apa jadinya jika sejak awal aku jujur padamu? Apa kau akan tetap berada di sampingku?"Tidak terdengar jawaban sama sekali. Aira telah masuk ke alam bawah sadarnya. Dia sama sekali tidak tahu kalau pria cacat dan buruk rupa ini merupakan pria yang sudah membuat hatinya hancur berkeping-keping."Saat kau tahu kebenarannya nanti, semoga semua belum terlambat. Semoga kau mau memaafkanku dan kita bisa memulai semuanya dari awal lagi."Lagi-lagi tanpa jawaban. Ken bergumam sendiri. Sekarang saatnya berjuang, menjalin hubungan dengan wanita ini. Mungkin tidak akan mudah, tapi dia juga bukannya pesimis. Bukankah sebongkah batu saja bisa jadi berlubang jika setiap hari ditimpa tetes air?Hingga
"Dia tampak sedikit lebih baik dibandingkan semalam," ucap Ken sembari mengamati Aira yang duduk diam di kursi taman. Di sebelahnya, tampak bibi Tsu menemani bicara. Sejak meninggalkannya semalam, Ken memang tidak muncul lagi di hadapan istrinya. Dia menyelesaikan semua urusan kantor agar bisa meluangkan waktu lebih lama dengan Aira.Kosuke sendiri sudah kembali ke perusahaan setelah mengantarkannya. Lagi-lagi pria itu harus mengurus semua jadwal pertemuan dengan para klien mereka.Dari balik kaca jendela di lantai dua, Ken menggenggam kalung liontin bunga tulip yang kemarin dicampakkan oleh Aira. Suatu saat nanti, benda ini yang akan menjadi kunci pengakuannya pada Aira. Entah dimaafkan atau tidak, Ken harus berusaha memperbaiki hubungannya mulai sekarang. Di sisi lain, Aira selesai menceritakan detail kejadian yang menimpanya. Termasuk menggambarkan sosok Hiro yang sudah membuatnya kecewa. Bibi Tsu tampak terkejut, terhenyak di tempat duduknya."Maaf, saya tidak tahu hal seperti it
Tiga hari sudah berlalu sejak Aira memergoki Hiro mengkhianatinya. Dia tidak lagi murung, sudah bisa mengangkat wajahnya. Selama itu pula Ken selalu ada di rumah saat jam makan, entah pagi, siang, ataupun malam. Pria itu sengaja menyempatkan diri, meluangkan sejenak dari segala hiruk pikuk urusan kantor.“Silakan, Tuan.” Bibi Tsu meletakkan semangkuk nasi di hadapan tuannya, menundukkan kepala kemudian mundur dua langkah dari sana.“Bibi, mulai besok biarkan istriku yang mengambilkan makanan untukku. Sepertinya dia tidak sakit lagi.”Bibi Tsu mengangkat kepalanya, pun sama dengan Aira yang terhenyak dan langsung menatap Ken dengan pandangan heran. Ini pertama kalinya Ken buka suara, menyita atensinya. Ya, setelah ditampar tempo hari, pembawaan Ken sungguh banyak berubah.Pria itu duduk diam setiap kali ada di meja makan, sesekali memerhatikan Aira yang hanya bisa makan salad buah untuk mengisi perutnya. Pernah sekali waktu mencoba makan nasi, tapi langsung muntah detik berikutnya.Air
“Namanya Hiro?” Erina mengerutkan kening, tidak langsung percaya dengan pernyataan pria di hadapannya.“Benar, Nona. Dia salah satu staf IT di perusahaan tuan Yamazaki. Identitasnya tertutup sama sekali. Saya tidak bisa menggalinya.”Erina menatap potret wajah yang tergeletak di meja. Rasa-rasanya wajah Hiro tidak asing, seperti pernah dia lihat di suatu tempat. Bentuk matanya, seperti mata milik Ken yang membuatnya jatuh cinta. Tapi wajahnya jelas berbeda. Siapa dia?“Kamu yakin tidak ada yang terlewat? Sudah memeriksa ke bagian HRD Fujitsu?”Pria dengan topi hitam menutupi sebagian wajahnya itu menggeleng pelan, “Maafkan saya, Nona. Keamanan Fujitsu Corporation amat ketat. Saya tidak bisa meretas data karyawan mereka. Tapi dari salah satu karyawan di sana, saya dengar memang ada beberapa staf khusus yang sengaja direkrut oleh tuan Yamazaki Kenzo melalui asistennya, Kosuke Murasawa. Anda lebih tahu, saya tidak mungkin menyentuh pria itu, bukan?”“Baiklah. Kamu boleh pergi. Itu untuk
Ken memijat pelipisnya, berharap sakit kepala yang tengah menyergapnya bisa hilang. Namun, dia justru semakin kehilangan pijakan. Sudah dua hari Aira tidak menampakkan batang hidungnya. Wanita itu mengunci diri di dalam kamar, hanya mengizinkan bibi Tsu yang masuk untuk mengantar makanan."Bagaimana keadaannya? Dia sudah tidur?" tanya Ken saat mendapati wanita paruh baya itu keluar sambil membawa nampan berisi mangkuk."Nona baik, Tuan. Dia hanya ingin sendiri, begitu katanya. Sekarang Nona sedang asik membaca, melarang Anda mendekatinya."Ken mengembuskan napas berat. Ini tidak pernah ada dalam daftar rencana yang dibuat olehnya. Mereka bertengkar dan Aira marah semarah-marahnya. Wanita itu diam seribu bahasa, tidak akan membuka mulutnya di depan Ken."Dia mau makan?" Ken kembali memerhatikan pintu warna putih di belakang sana, berjarak sekitar lima meter dari tempatnya."Nona hanya bisa makan salad buah setiap hari. Pagi ini Nona ingin roti gandum kering. Besok saya akan coba tawark
Aira masih menunggu kedatangan Kosuke dan dokter yang dihubungi oleh bibi Tsu. Ini pertama kalinya dia melihat Ken sakit. Biasanya, pria itu tampak tegar tak terkalahkan. Namun, hari ini begitu lemah."Piyamanya basah, Bi. Keringatnya banyak sekali." Aira memerhatikan tubuh Ken yang masih menggigil. Demamnya bertambah tinggi, 39 derajat Celcius."Lebih baik ganti pakaiannya dulu, Nona. Takutnya Tuan akan semakin tidak nyaman dengan keadaannya yang sekarang." Bibi Tsu bergegas menuju lemari pakaian, mencari piyama lain untuk Tuannya.Tanpa pikir panjang, Aira mulai melepaskan satu persatu biji kancing pakaian suaminya. Dia tidak berniat apa pun, hanya ingin membuat Ken sedikit lebih baik. Kompres di dahinya jatuh, segera Aira singkirkan dan diganti dengan yang baru.Abaikan jika nanti Ken marah. Sekarang bukan saat yang tepat untuk merasa canggung karena melucuti pakaian pria itu.Namun, gerakan tangan Aira terhenti seketika. Bekas luka bakar merah kehitaman di dada Ken sedikit mengelu
Aira menyiapkan bubur nasi untuk Ken dan meminta bibi Tsu untuk istirahat. Dia merasa bersalah karena tidak memperhatikan keadaan suaminya. Bukankah sudah menjadi tugas seorang istri untuk memastikan sang suami dalam keadaan baik?Namun, demi menuruti ego dan kemarahan yang menjalar di hatinya, dia memilih bersembunyi. Enggan bertemu dengan Ken. Nyatanya, pria itu justru menyalurkan kemarahannya dengan mengabaikan dirinya sendiri."Sayang, apa yang harus ibu lakukan?" Satu tangan Aira mengaduk bubur dalam panci, sedang tangannya yang lain mengelus perut yang masih rata.Rasanya dia tidak sampai hati menuruti permintaan Ken. Bagaimana mungkin anak Hiro diakui sebagai putranya? Mewarisi harta keluarga Yamazaki padahal tidak ada hubungan darah sama sekali.Bagaimana kalau suatu hari nanti Hiro muncul dan membuat kekacauan? Nama baik keluarga Yamazaki akan dipertaruhkan."Bodoh!" Aira meremas gaun tidurnya. Sepintas ingatan untuk melenyapkan calon buah hatinya kembali terlintas, tapi sege