"Kenapa kamu menatapku seperti itu?" Ken mengangkat wajahnya dari tumpukan dokumen, balik menatap Aira yang sedari tadi terus memaku pandangan ke arahnya. "Apa wajahku begitu tampan sampai membuatmu tak bisa berpaling?"Ken terkekeh mendengar celotehnya sendiri. Dia merasa geli. Aneh rasanya memuji wajahnya yang buruk rupa.Aira tak lantas menjawab, mengembuskan napas berat dari mulutnya."Ada masalah?" Ken tidak bisa tinggal diam, menutup berkas dan memerhatikan Aira sepenuhnya."Sejak dokter membacakan hasilnya, kau tampak tidak puas. Kau curiga aku memalsukan hasilnya?""Kamu bisa melakukan apa saja. Bukan hal yang mustahil jika ....""Aku tidak melakukannya."Aira menahan napas, menunggu penjelasan lain yang lebih masuk akal. Berbagai prasangka seketika memenuhi kepala. Tentang Ken dan Hiro, juga rahasia yang menghubungkan keduanya."Sudah aku katakan, dia putraku. Seharusnya kau percaya. Tidak perlu memikirkan hal lainnya.""Tidak semudah itu. Bagaimanapun juga ....""Aku menipum
"Nona, saya mohon keluarlah. Jika tidak, Tuan Muda akan memenggal kepala saya."Kosuke terpaksa berbohong, membuat Ken membulatkan mata. Dia jelas tidak ada ide sama sekali untuk mengancam Kosuke. Keadaan Aira-lah yang menjadi fokus utamanya saat ini.Dari belakang, muncul Kaori dengan napas terengah-engah. Meskipun dia mengatakan tidak peduli pada Ken, tapi dia ikut mengkhawatirkan Aira juga. Bagaimanapun, kesehatan pasien menjadi tanggung jawabnya."Pergi dari sini," pinta Kaori sambil mengeratkan gigi-giginya. Dia memandang Ken dengan tatapan kesal juga marah."Kaori-chan, aku ....""Pergi atau Aira tidak akan keluar dari sana?! Gunakan akal sehatmu. Dia bisa kedinginan. Kamu mau anak dan istrimu dalam bahaya?" Kaori sampai menaikkan nada bicaranya, mengusir Ken dengan paksa."Kosuke, bawa dia pergi. Sekarang!" Mulai frustrasi, Kaori berteriak sambil menghentakkan kakinya.Mau tak mau Kosuke menyingkir sambil membimbing Ken dari sana. Tentu saja pria itu harus pura-pura duduk di ku
Ken masuk ke dalam kamar saat Aira terlelap di dalam kamarnya. Dengan langkah tanpa suara, pria itu mendekat, berjongkok di depan wanitanya."Sayang, maafkan aku," ucap Ken sembari menyentuh pipi Aira, perlahan mengelusnya dengan penuh penyesalan.Jika saja dia menuruti permintaan Kaori, mengaku sejak awal, tidak akan seperti ini kejadiannya. Dia memiliki waktu untuk menjelaskan kenapa dia harus berbohong, pura-pura cacat demi melindungi identitas aslinya.Ken kembali mengingat setiap detik kebersamaan mereka, di mana dia selalu saja merisak Aira saat berpenampilan sebagai Ken. Sebaliknya, sikapnya akan berubah lembut saat menjadi Hiro.Ken melepas topeng di wajahnya, juga membersihkan luka bohong-bohongan yang menutupi separuh wajahnya. Dia siap menghadapi ini demi Aira, membuka kedoknya yang asli.Perlahan namun pasti, Ken naik ke atas ranjang dan memeluk Aira dari belakang. Punggung ramping wanita itu menempel dengan dada bidang Ken yang tertutup piyama. Tangannya menelusup ke dala
Ken membuka matanya, menatap wajah tidur Aira yang tampak damai. Hatinya buncah oleh rasa bahagia, mensyukuri setiap anugerah yang Tuhan berikan padanya. Rasanya tidak sabar menunggu kelahiran putranya."Sayang, kita akan segera bertemu beberapa bulan ke depan. Sampai saat itu tiba, kau akan melihat ayahmu dengan bangga. Jangan merepotkan ibumu, ya. Tolong jaga dia selagi Ayah tidak bersamanya. Ayah janji tidak akan membuat ibumu terluka lagi. Kita sama-sama membahagiakannya, ya?"Ken mengelus perut Aira dengan sayang. Hatinya penuh oleh bunga, membayangkan bayi merah yang akan mewarnai hari-harinya dengan Aira. Saat masa itu datang, dia sudah bisa menunjukkan wajah yang sebenarnya, termasuk mengungkapkan rahasia besar yang selama ini menjadi ganjalan. Sudah cukup berpura-pura cacat dan buruk rupa. Aira dan putra mereka layak mendapatkan sosok suami dan ayah yang sempurna.Namun, senyum di wajah Ken seketika memudar saat mengingat permintaan Aira beberapa jam lalu, tepat sebelum merek
"Tuan, Nona Aira menghilang," ucap bibi Tsu dengan napas tersekat di tenggorokan. Dadanya naik turun, mengambil oksigen sebanyak mungkin dari udara di sekitar. Tangannya tampak gemetar, coba mengendalikan emosi dan menutupi ketakutannya.Kosuke mengerutkan kening, melirik Ken yang seketika itu juga berhenti menggoreskan pena. "Bibi bercanda?" Ken meraba-raba apa yang sebenarnya terjadi. Sekarang-kah saat yang tepat untuk memulai rencana besar mereka? Jujur saja, dia belum siap kehilangan Aira, tapi cepat atau lambat pasti masa ini akan terjadi juga, kan?"Bibi sudah memeriksanya di sekitar rumah? Di taman?" Dengan hati dipenuhi oleh gemuruh kekhawatiran, Ken menyempatkan bertanya. Jika semua terjadi sesuai rencana, Aira saat ini sedang menuju ke rumah keluarga Nagasawa. Dia akan ada di sana selama drama ini berlangsung."Tidak ada sama sekali, Tuan. Saya juga sudah mengecek CCTV, Nona pergi membawa kopernya selagi saya pergi ke luar. Nona meminta saya membeli buah apel, tapi saat kem
Sakura baru saja keluar dari kamar mandi saat melihat layar ponselnya berkedip. Getarannya terdengar, menandakan ada telepon masuk untuknya.“Moshi-moshi, Sakura here.” Dengan suara manja, gadis itu berusaha menyambut Erina dengan semangat.“Sakura, saatnya bekerja.”“Eh?”Kemampuan otak Sakura tidaklah secerdas Erina. Dia harus mengambil jeda untuk menangkap pernyataan lawan bicaranya.“Aku libur hari ini. Tidak ada pemotretan. Bekerja apa?”Erina hanya bisa memutar bola matanya, jengah dengan daya tangkap Sakura yang di bawah rata-rata. Kalau saja bukan untuk membantunya menyingkirkan Aira, Erina juga enggan berurusan dengan wanita ular ini. Sedikit banyak dia tahu seperti apa tabiat Sakura. Tidak ada satu agensi pun yang mau menaunginya. Selain kemampuan akting maupun modelingnya yang kurang, attitude-nya juga patut dipertanyakan.“Tentang saudara angkatmu. Bukankah kamu mau membantuku memisahkannya dari Ken? Jika berhasil, aku akan mengenalkanmu dengan seorang produser film. Kamu
Dua hari setelah menghilangnya Aira. Wanita hamil itu tidak pernah mendatangi kediaman keluarga Nagasawa. Pun dengan ponselnya, tidak sekali pun dihidupkan sejak pergi. Pesan yang Kosuke kirimkan masih ceklis satu. Tidak ada tanda dibaca, apalagi dibalas pesannya. Tidak ada harapan."Nona, apa yang sedang Anda lakukan?" tanya Kosuke lirih sembari memeriksa ponselnya. Berkali-kali dia juga memeriksa titik GPS di ponsel istri tuannya, berharap pernah berkedip satu detik saja. Sayangnya, itu tidak pernah terjadi. Pria itu mengusahakan segala cara, termasuk menyisir rekaman CCTV di seluruh kota, tapi tetap tidak dapat menemukan jejak Aira."Jika Anda tidak segera kembali, saya takut Tuan Muda akan benar-benar gila," lanjutnya sembari menatap Ken yang duduk terpekur di lantai. Tangannya menggenggam potret pernikahannya dengan Aira. Pernikahan yang tidak diinginkan oleh wanita itu.Jangan tanya seperti apa keadaan Ken. Dia seperti singa jantan yang kehilangan pasangannya. Seluruh barang yan
Limusin yang membawa Ken dan Kosuke terhenti di sebelah deretan kontainer yang siap diangkut ke kapal. Puluhan kendaraan terparkir sembarang di depan sana, membuat Ken tidak bisa lebih dekat menuju dermaga."Mereka sudah datang?" Ken mengerutkan keningnya, memerhatikan rombongan wartawan yang berjarak seratus meter di depan. Dia tidak menyangka informasi ini akan menyebar dengan cepat ke awak media. Beberapa pekan ini, mereka seolah bertindak satu langkah lebih cepat dibandingkan Ken maupun Kosuke."Saya akan memeriksanya." Kosuke bergegas turun, berbincang dengan salah satu pengawal keluarga Yamazaki yang berjaga di sana. Mereka berusaha menghalau lalat-lalat hidup itu, melarang mereka mendekat ke dermaga.Orang-orang berpakaian hitam itu mulai kewalahan saat jumlah wartawan semakin banyak. Mereka seolah mendapat komando dari seseorang untuk terus membuat keributan.Kosuke mengambil sapu tangan guna mengusap peluh di pelipis. Udara pengap terasa semakin panas, membuatnya tak bisa ber