***
[Keesokan paginya.]
“Celine, kau yakin tidak mau pulang? Sudah tiga hari kau mendadak pindah rumah dan menjadikan kamar rawat ini menjadi kamarmu sendiri?” Barra bertanya setelah membereskan alat makan siang mereka.
Celine mengangkat bahu. “Lola, hanya butuh teman.” Ia lalu memalingkan wajah pada gadis kecil yang saat ini sedang fokus menonton Spongebob squarepants di televisi. Rona wajah Lola sudah kembali bersemu ceria. Suhu tubuh dan segala sesuatu yang berhubungan dengan hasil operasi usus buntu menandakan hal positif.
Sejak kedatangannya yang dramatis itu pula, Barra juga tidak pulang kerumah. Ayah Barra tadi pagi sempat mengunjungi dan membawakan peralatan mandi
*** Setelah pamit dan berpelukan dengan Lola yang digendong Barra di lobby rumah sakit, malam itu Celine memutuskan pulang dengan dijemput supir pribadinya. Badannya lelah tidak terkira. Ngilu di pergelangan kakinya juga berdenyut. Celine meraih pereda sakit dan meminumnya. Ia sudah kembali di kamar tidurnya yang nyaman. Rumah berlantai dua dengan pemandangan belakang menuju Danau Wallis peninggalan mendiang Alaric adalah salah satu yang sulit dilepaskannya. Terlalu banyak kenangan yang pernah dipupuk bersama mendiang suaminya. ‘Tentang bagaimana mereka akan membesarkan tiga atau empat anak mereka sambil bermain di hamparan rumput hijau halaman rumah. Tentang bagaimana Alaric berjanji akan membuatkan rumah pohon
*** ‘Jangan sampai lelaki ini berpikir bahwa dirinya sengaja menunggu kedatangannya. Si*al!’ Celine mengutuk kedatangan Barra seolah ia lupa bahwa rumah yang sedang dikunjunginya adalah rumah orang tua Barra. “Celine.” Theo menyapa Celine dan menganggukan kepalanya. “Om.” “Sayang, kau sudah mengundang Celine untuk acara berlayar besok?” Theo bertanya pada istrinya. Lenna mengangguk. “Sudah. Tapi, Celine sendiri masih bimbang. Mungkin kalau Barra yang mengajaknya, ia akan berubah pikiran.” Barra merasa terpojok dengan pernyataan ibunya sendiri. ‘Bah, siapa pula yang mau meng
***Barra terbangun dengan kepala berat. Setengah matanya terpaksa terbuka karena sapaan matahari pagi yang menyambutnya dengan kurang ajar.“Menikmati pestamu sendiri tadi malam, nak?” Theo menyapa putranya sambil menyesap kopi hitam dari cangkirnya.Barra mengeluarkan suara tidak jelas. Ia lalu memaksakan diri untuk duduk tegak, menyingkap selimut tipis rajutan berwarna biru muda yang memeluknya sepanjang malam.Barra sepertinya hafal siapa pemilik selimut itu.“Jangan terlalu keras pada dirimu sendiri, Barra.” Ayahnya kembali mengutarakan wejangan pagi yang terlalu rumit untuk dicernanya pagi ini.“Kakek!” Lola menyapa Theo dan segera berlari
***“Barra, cukup! Kau tidak bisa memaksaku seperti ini!” Celine setengah berteriak tepat di wajah Barra.Mendengar Celine meronta, Barra semakin kesal. Dengan sengaja ia menggigit ujung bibir Celine dan menggesek janggut kasarnya pada tulang pipi perempuan itu.Brak! Tidak patah arang, Celine menggunakan lututnya untuk menendang kesayangan milik Barra. Lelaki itu sempat terhuyung mundur beberapa langkah sambil melindungi miliknya yang baru saja disambangi lutut Celine yang lincah.“Breng*sek!” Celine memaki dan menyentuh ujung bibirnya yang kini mengeluarkan rasa metal khas darah segar meski setitik.Celine mengusap kasar sisa gigitan Barra. Lelaki itu m
***Barra meninggalkan Celine yang masih menuntut penjelasannya di ruang makan. Ia menuju kamar tidurnya sendiri. Sesaat membuka pintu kamar Lola saat melewati kamar gadis kecilnya. Barra berjalan pelan menuju ranjang Lola.Malaikat kecilnya tengah nyenyak sambil memeluk boneka kuda poni kesayangannya. Barra menyentuh dahi Lola lembut sambil mengelus alis dengan ibu jarinya. Lola nampak tidak terganggu, malah justru belaian Barra membuatnya semakin nyenyak.Barra meninggalkan kamar Lola sesegera mungkin dan berharap ia tidak perlu berpapasan dengan Celine. Ia segera menarik tuas pintu dan membukanya lebar-lebar.Barra menarik ujung kemejanya dengan kasar dan melepasnya segera. Ia lalu masuk ke kamar mandi untuk menikmati air hangat sebelum tidur. B
***Celine masih bisa merasakan tatapan Barra yang masih mengekor mengikuti. Mengintimidasi dirinya dengan intens. Seolah lelaki itu sedang bersiap untuk menerkamnya kapan saja begitu peluit perang dibunyikan oleh wasit.‘Celine, kau terlalu berlebihan. Bukankah sejak dulu Barra memang memiliki sepasang mata yang menarik? Sepasang mata awas yang dapat menangkap segala kegalauan yang sedang dirasakannya? Sepasang mata yang pernah membuatmu jatuh hati. Sebelum, akhirnya Barra yang menghilang sendiri dengan kabar seadanya dan Alaric yang lalu hadir menawarkan cinta?’ Suara hati Celine sibuk mencari pembenaran alasan Barra membencinya.***Setelah menuntaskan j
***“Bang*sat!” Barra mengaum seolah singa yang mangsanya akan dilahap binatang lain. Tidak lupa ia mengeratkan dekapannya pada Celine. Perempuan yang dimaksud juga meraih pinggangnya. Seolah mereka memang berpasangan.Pria kurang ajar yang sempat merabai Celine lalu mengusap ujung hidungnya yang mengalirkan darah segar. Memperhatikan suasana bahwa Celine mungkin benar sudah ada pemiliknya, maka ia lalu mengangkat kedua tangan sebagai tanda menyerah. Pria itu lalu berjalan mundur dan menghilang.Seketika suasana kembali riuh dan ramai dengan aktivitas semula. Seolah pertengkaran memperebutkan perempuan antara kedua pria adalah hal biasa.Barra masih belum melepaskan pelukannya di pinggang Celine. Ia lalu
***Celine masih terpaku dengan pikirannya, tapi hasratnya juga tidak bisa dibohongi. ‘Astaga, ini hanya perkara ciuman Celine, mengapa kau membuat hidupmu rumit?’Dengan sentuhan lembut Barra mengangkat dahu Celine. Tanpa menunggu aba-aba karena Celine yang mematung. Seolah kediamannya merupakan tiket emas untuk Barra bergerak lebih lanjut.Barra memiringkan wajah dan seketika itu pula bibir mereka bertemu. Celine belum menepisnya. Tiga detik kemudian, mulutnya dengan pelan membuka jalan untuk Barra.Ciuman kali ini begitu lembut. Pertemuan bibir mereka mungkin bukan untuk pertama kali, tapi Celine dapat merasakan Barra tidak sekasar beberapa minggu lalu terhadapnya.Bibir Barra menyentuhny