Pagi sekali, Lilis selesai bersiap dengan pakaian olahraga. Dia ingin ikut dengan Anita dan Yuni yang akan pergi ke pusat olahraga. Hari ini, Anita libur bekerja. Anita hanya mengirim pesan pada Wira jika dirinya akan sibuk hari ini."Tante! Jaya ikut nggak?" tanya Lilis sambil berbisik. Lilis tahu, neneknya tidak suka jika nama Jaya di ucap."Nggak, nenek bisa jantungan nanti kalau kau terus membahas Jaya. Sudah, biarkan saja Jaya menghabiskan waktu bersama papa nya!" jawab Anita yang mengambil air minum di kulkas.Wajah Lilis langsung murung, kepalanya menunduk membuat Yuni heran melihat tingkah putrinya. "Ada apa sayang?" tanya Yuni sambil berjongkok menyetarakan tinggi tubuh Lilis. Wajah sedih anaknya semakin terlihat jelas."Anak tante nggak ikut kita olahraga, nanti Lilis main sama siapa disana?" ucap Lilis membuat Yuni tercengang."Lilis tahu nggak? nenek tidak suka jika kita bahas Jaya. Kemarin saja, Anita ketahuan habis dari rumah Jaya, hari ini dilarang keluar. Andai bukan
Air mata Anita tidak hentinya mengalir, hatinya semakin sakit di usir oleh neneknya. Bahkan Anita belum menjelaskan pun, Neneknya sudah masuk dan mengunci pintu. Yuni masih setia menemani adiknya di depan rumah nenek Anita."Aku akan bicara dengan nenek, kamu tetap disini. Aku yakin, nenek hanya kesal saja!" ucap Yuni yang berniat masuk ke dalam rumah, namun tangannya di tahan oleh Anita."Nggak apa-apa, Kak. Lebih baik kakak tidak perlu ikut campur atau kakak juga bisa di usir. Apalagi, si setan masih ada di dalam rumah. Mereka pasti akan memanas-manasi nenek lagi." ujar Anita yang mengusap air matanya."Lalu, kau sekarang mau kemana?" tanya Yuni."Aku tidak punya tempat lain selain tinggal dengan Jaya." jawab Anita. Mata Yuni membulat, setelah adiknya di usir, Anita semakin menjadi-jadi."Kalau nenek tahu, dia akan semakin marah. Dia melarang kami berhubungan dengan keluarga Jaya!" teriak Yuni tidak percaya dengan pengakuan Anita. Tetapi Anita malah tersenyum."Aku akan buktikan, ap
Malam hari yang panjang, semuanya tampan berbeda bagi Wira. Pemandangan lain yang belum pernah terjadi, malah dilihatnya malam ini. Senyum Jaya tidak hentinya bersinar ketika bermain dengan Lilis dan Anita. Wira diam-diam memperhatikan mereka dari kamera cctv yang dia pasang di kamar Jaya."Mereka tampak seperti keluarga!" ucap Wira tersenyum sambil fokus memperhatikan laptopnya dimana wajah Anita dan Jaya tidak hentinya membuat matanya takjub."Lilis senang punya sepupu kaya Jaya. Lilis juga mau, Jaya selalu jadi anak aunty!" ucap Lilis yang melompat di kasur super king Jaya."Tentu saja, aku sudah bilang diriku ini akan selalu menjadi anak mama, benarkan Ma?" tanya Jaya menoleh ke arah Anita. Tatapan dua anak itu terlihat polos membuat Anita terpaksa menyetujuinya."Jadi, kapan aunty ku punya hubungan dengan papa tua itu? Aku bahkan belum pernah bertemu dengannya selama ini?" tanya Lilis dengan mulut ceplosnya."Sebelum aku lahir tentu saja, karena itu aku jadi lahir kan? kalau tid
Anita panik sambil mengawasi Jaya dan Wira yang terbaring di depannya. Ayah dan anak itu masih belum sadar, wajahnya pucat pasi membuat Anita tambah khawatir. Tidak berselang lama, dokter pribadi keluarga Wira datang ke kediaman Wira tengah malam dibantu asisten Wira. Anita pun di usir dari kamar Wira bersama Lilis."Sebenarnya apa yang terjadi dengan mereka?" tanya Anita menatap lekat asisten Wira yang berdiri di depan pintu kamar. Wajah yang tampak menyeramkan dan tubuh gagah itu menatap tajam ke arah Anita sambil melirik Lilis yang berada di pelukan Anita."Aku tidak bisa membicarakan masalah pribadi pak Wira kepada sembarang orang, yang jelas pak Wira dan Jaya sering mengalami hal seperti ini. Itu semua karena kenangan buruk yang belum hilang dari ingatan mereka!" ujar asisten Wira yang bernama Rafael. Anita bahkan tidak tahu, Rafael bukan sembarang asisten, Rafael juga termasuk sepupu Wira."Kau serius, Paman? Apa Jaya pernah mengalami kecelakaan sejak kecil membuatnya trauma?"
"Sayang, kau sudah membaik. Bolehkan mama pergi sebentar menjenguk keluarga mama?" tanya Anita meminta izin pada Jaya. Namun wajah ceria Jaya langsung menghilang dan dengan cepat melipat kedua tangannya sambil menggeleng kepalanya."Oh, No. Kenapa lagi anak tersayang mama?" tanya Anita sambil membungkukkan tubuhnya menyetarakan tinggi badan Jaya."Mama nggak akan pergi selama-lamanya kan? Jaya takut banget jika Jaya tidak bisa melihat mama lagi!" ujar Jaya dengan mata sendu.Wira yang baru turun, termenung sebentar melihat anaknya yang begitu sedih padahal Anita hanya ingin pergi sebentar saja."Ya ampun, lebay banget. Kamu itu harus kuat, anak lelaki kan?" sahut Lilis yang jenuh melihat akting dua orang di depannya."Ma, Jaya benar nggak kuat ditinggali mama. Jaya boleh ikut?" tanya Jaya sambil memohon."Jangan gitu dong, kamu aja ke sekolah nggak kenapa mau ikut-ikut? Lebih baik istirahat sana biar cepat sembuh!" ujar Lilis."Nah, anak mama harus dengar apa kata aunty Lilis. Cepat s
"Darimana saja kau?" tanya Wira dengan membentak Anita. "Kau marah?" balas Anita dengan mata tidak percaya. Dia berusaha pulang ke rumah Wira dengan kondisi tubuh yang tidak baik. Anita rupanya di kurung dengan sengaja oleh neneknya agar dirinya tidak kembali ke rumah Wira."Ini semua salahmu, kencan ku malam ini gagal total. Apa kau tahu, Jaya membuat masalah!" ucap Wira sambil menunjuk Anita dengan wajah penuh amarah."Jadi, aku yang disalahkan? Apa kau tahu, aku menahan sakit sampai ke rumah ini!" ujar Anita tidak kalah keras. Suara perdebatan mereka membuat Jaya terbangun."Cukup, aku tidak kuat lagi. Jika bukan karena Jaya, aku mungkin sudah menyerang datang ke sini!" ucap Anita meneteskan air matanya. Hatinya seolah terkikis habis perlahan demi perlahan."Mama! Papa! Kalian kenapa..." Jaya berniat mencegah Anita dan Wira berdebat, tanpa hati-hati membuat kakinya terpeleset hingga berguling-guling di tangga. Saat Anita berbalik, dia terkejut melihat Jaya yang jatuh dari tangga.
Yuni menghentakkan kakinya keluar dari rumah neneknya. Wajah kesal dan marah jelas tampak di wajahnya. Saat berniat masuk ke dalam taksi, tangan seseorang menariknya. "Masuk ke mobilku saja, aku di suruh datang menjemputmu!" ucap Rafael dengan tangan kekar. Yuni memperhatikan lelaki di depannya dengan alis terangkat."Kau, siapa?" "Rafael, asisten Wira sekaligus sepupu Wira!" jelas Rafael memberitahu. "Ma! Ayo! Aku mau melihat Jaya!" teriak Lilis yang sudah ada di dalam mobil Rafael. Terpaksa, Yuni mengikuti kemauan anaknya dan buru-buru masuk ke dalam mobil Rafael. Sementara lelaki itu, memberi uang pada sopir taksi.Saat mereka tiba di rumah sakit, mata Anita sudah memerah. Dia tidak berhenti menangis melihat Jaya yang kritis."Nit, Jaya baik-baik saja kan? terus, lukanya gak parah? kok bisa sih, Nit. Jaya jatuh dari tangga? Apa yang kau lakukan, bukannya itu tugasmu menjaga Jaya?" ucap Yuni heran sekaligus panik."Aku gak tahu, Kak. Jaya tiba-tiba saja turun tangga sambil berlar
"Kondisi Jaya sudah semakin membaik, tetapi dia tidak berhenti memanggil mamanya! Aku sarankan, Jaya segera bertemu dengan mamanya!" Pinta Dokter pribadi keluarga Wiratman.Wira bernafas lega, anaknya sudah baik-baik saja. Jaya juga sudah sadar. Wira masuk menemui Jaya dengan senyum mengembang. Tetapi anak lelaki itu memurungkan wajahnya sambil melipat kedua tangannya menandakan dirinya sedang kesal. "Jaya! Kau...""Sebaiknya papa keluar! Jaya nggak suka papa yang selalu bentak Mama! Apa papa tahu, Jaya begitu senang mama kembali menemui Jaya. Tetapi, malam itu papa memarahi mama membuat Jaya jadi marah! Jaya benci papa!" Teriak Jaya dengan suara keras mengagetkan Wira."Jaya, waktu itu..." Saat Wira berniat menjelaskan pada anak yang lebih pintar darinya, kedua telinga Jaya di tutup rapat membuat Wira menghela nafas kasar. "Baiklah, istirahat saja disini. Papa akan belikan kamu makanan yang enak!" ujar Wira sambil menepuk kaki anaknya sebelum bangkit. Jaya buru-buru membersihkan be