“Jadi karena itu kau tidak bertanggung jawab dengan menikahinya.”“Bukan tanggung jawab seperti yang kau pikirkan, Megan.”“Apa kau pernah jatuh cinta pada wanita lain?”Sekali lagi Mikail menangkap kecemburuan dalam pertanyaan Megan. “Kiano dan ditambah pekerjaan. Keduanya sudah sangat menyita waktuku. Aku tak memiliki waktu untuk melakukan hal semacam itu.”Dada Megan serasa dipenuhi sesuatu yang menggelitik dan menyenangkan. “Kau tak pernah jatuh cinta padanya?” tanyanya lagi sekaligus memastikan.“Well, jatuh cinta padamu saja sudah membuat hidupku kacau, Megan. Kau masih ingin aku membawa kekacauan lain dalam hidudku?”Megan memberengut, tak menyangkal pertanyaan retoris tersebut.Mikail membawa Megan ke dalam pelukannya. Mendaratkan kecupan singkat di ujung kepala sebelum melanjutkan kalimatnya. “Apa aku salah?”Megan memberikan gelengan kepala sebagai jawaban. “Pernikahan pertama kita memang sangat kacau.”“Bagaimana pun, aku tak pernah menyesalinya. Semuanya yang pernah kita a
"Kau benar-benar sudah gila, Marcel. Berikan padaku!" Megan berusaha meraih tangan Marcel, yang langsung bergerak menghindar ke atas. Megan bergerak lebih maju dan berjinjit karena tinggi badannya yang hanya sepundak Marcel. Akan tetapi kesempatan itu digunakan oleh Marcel untuk menangkap pinggangnya.Megan segera menurunkan tangannya dan meletakkannya di dada Marcel. Mendorong pria itu menjauh sekuat tenaganya, tetapi Marcel menahan pinggang dengan cekalan yang lebih kuat. “Apa yang kau lakukan, Marcel?! Lepaskan!!” desisnya dengan jengkel.Marcel malah menunduk, memastikan jarak di antara mereka sedekat mungkin, nyaris membuat wajah mereka saling bersentuhan. Tetapi Megan berusaha lebih keras agar tak saling bersinggungan. Dengan gemetar yang mulai datang menyerang. Bayangan ketika Marcel menyentuhnya dengan cara yang kasar, masih terekam dengan jelas di benaknya. Rasa sakit dan pelecehan yang pria itu lakukan, tak pernah menghilang dari ingatannya. Napas pria itu yang berhembus di
Sampai di ruang makan, hanya ada Kiano yang ditemani Helena. Putranya tersebut langsung melompat turun dan menghambur ke pelukan Megan begitu melihat sang mama muncul di ruang makan. “Mama lama,” protes Kiano dengan bibir yang dimanyunkan. Megan tersenyum, membawa tubuh Kiano dalam gendongannya dan mengecup pipi gembul putranya kiri dan kanan berulang-ulang. “Sebagai ucapan maaf. Cukup?” “Lagi,” pintah Kiano dengan riang. Megan pun menghujani wajah Kiano dengan ciuman yang lebih banyak. Hingga membuat putranya tersebut tergelak. Mikail yang melihat putra dan istrinya tersebut tersenyum. Mengusap-usap kepala putranya dengan penuh kasih sayang. Rasanya ia tak pernah merasa begitu bahagia melihat Kiano tersenyum seperti saat ini. “Habiskan makananmu, Kiano. Kau bisa terlambat ke sekolah.” Mikail menghentikan canda tawa tersebut, mengambil Kiano dari gendongan Megan dan mendudukkan putranya kembali ke kursinya. “Apa Mama akan mengantar Kiano ke sekolah lagi?” “Ya, tentu saja.” Jaw
Megan berpikir akan menolak panggilan tersebut, tetapi tangannya tak bergerak. Ia menatap layar ponselnya hingga deringan berakhir dan tak lebih dari dua detik, panggilan dari Nicholas kembali masuk. Megan menempelkan ponselnya di telinga. Tak ada suara selama beberapa saat dan Megan berpikir Nicholas telah memutus panggilan tersebut. Tetapi saat ia menatap kembali layar ponselnya, panggilan masih berlangsung. “N-nicholas?” Suara Megan terdengar begitu kering dan ia menelan ludahnya. Membasahi tenggorokannya. “Kau mengangkatnya.” Suara Nicholas pun terdengar begitu diselimuti kepedihan. Megan terdiam sejenak. “Ada apa, Nicholas?” Nicholas pun tak langsung menjawab. “Merindukanmu.” Kepedihan dalam jawaban Nicholas terasa begitu menusuk dada Megan. Wanita itu menjilat bibirnya yang kering. “Kakiku masih sakit, juga lenganku. Aku bosan seharian berbaring di tempat tidur. Dan saat berpikir ingin menemuimu, kau tidak ada di apartemen. Aku hanya iseng, pergi ke rumah Mikail, tetapi a
Megan mengangguk pelan. “S-sejak kapan kau berdiri di sini, Nicholas?” “Sejak panggilan kita berakhir.” “Bagaimana kau tahu aku akan datang?” “Aku hanya yakin.” “Jika aku tidak datang?” “Aku akan tetap menunggu di sini.” Senyum Nicholas terlihat dipenuhi ketololan dan kepedihan yang bercampur aduk. Yang sengaja digunakan untuk memanfaatkan rasa bersala Megan kepadanya. Megan Ailee, di hadapan semua orang adalah wanita karir yang mandiri dan tidak bergantung pada orang lain. Pekerja keras dan melakukan segala sesuatunya sendiri. Dengan semua jejak karirnya yang panjang dan banyak rintangan, tak hanya kesempurnaan tubuh yang wanita itu miliki. Cantik dan seksi. Megan juga terkenal sebagai wanita yang tangguh. Akan tetapi, semua itu tak lebih dari bungkus yang berusaha ditampilkan oleh Megan di hadapan siapa pun. Megan yang sesungguhnya adalah wanita yang lemah lembut dan rapuh. Membutuhkan sandaran untuk tangis yang wanita itu redam di setiap malam. Tentu saja Nicholas mengetahu
Setelah menjemput Kiano di sekolahnya, Megan dan bocah mungil tersebut langsung menuju kantor Mikail. Kiano terlihat riang seperti biasanya, setelah menceritakan tentang kegiatan selama di sekolah dengan gayanya yang polos. Megan sendiri mendengarkan dengan tak kalah bersemangatnya. Saat keduanya turun dari mobil, Mikail tampak menunggu di teras gedung. Membukakan pintu untuk Megan dan Kiano. “Kalian sudah datang?” Mikail langsung menarik Megan ke dalam pelukannya dan mendaratkan kecupan singkat di bibir sebelum berganti menggendong Kiano yang mengulurkan kedua lengan memanggilnya dengan penuh antusias. Megan masih tertegun di tempatnya setelah kecupan singkat tersebut. Jantungnya berdebar kencang, dan ia yakin seluruh wajahnya memerah. Jejak bibir Mikail masih membekas di bibirnya. Megan mengelengkan kepalanya, mengenyahkan pengaruh Mikail yang begitu familiar. “Gunakan ini untuk naik lift.” Mikail meletakkan sebuah kunci di telapak tangan Megan. “Kau tak akan berpapasan dengan
Mikail menghampiri Megan dan Alicia yang berdiri saling berhadap-hadapan, berhenti tepat di antara keduanya dan melepaskan tangan Megan dari lengan Alicia. Yang menyisakan bekas memerah di sana saking kuatnya cengkeraman Megan. “Apa yang kau lakukan, Megan?” Suara Mikail diselimuti kemarahan dan kedua mata pria itu mendelik pada Megan. Megan hanya tercenung. Merasa terjebak dengan situasi yang sulit. Pandangannya berpindah ke arah Alicia, yang seketika memulai kelicikan wanita itu dengan memasang raut merana yang dibuat-buat. Megan tak mengatakan apa pun, penjelasan apa pun yang coba ia berikan pada Mikail tak akan membuat pria itu percaya padanya. Ialah yang menyeret Alicia keluar dari ruangan pria itu dengan kedua tangannya sendiri. Dan tak mungkin ia mengatakan perdebatannya dan Alicia sebagai dalih untuk pembenaran apa yang dilakukannya pada Alicia. Alicia memegang pelipisnya dan memasang ekspresi semerana mungkin. Tubuh wanita itu terhuyung ke arah Mikail yang langsung menangka
Mikail membuka pintu kamar mandi yang tak dikunci dengan perlahan. Melangkah masuk dengan tanpa menciptakan suara. Lampu kamar mandi tidak dinyalakan, dan hanya ada kesunyian. Telapak tangannya meraba dinding dan menyalakan lampu. Pandanganya mencari ke setiap sudut kamar mandi dan langsung menemukan keberadaan Megan yang duduk meringkuk di dalam bath up yang kosong. Kepala wanita itu bersandar di dinding dan jatuh ke samping dengan kedua mata bengkaknya yang terpejam. Sepertinya wanita itu tertidur karena terlalu lelah menangis. Sudah setengah jam Mikail memberi Megan waktu untuk wanita itu sendiri, dan ia sendiri sibuk menenangkan emosi yang bergemuruh di dadanya. Duduk bersandar di depan pintu kamar mandi mendengarkan Megan yang terisak. Memastikan bahwa Megan tidak melakukan kekonyolan lain seperti saat di apartemen wanita itu. Sudah beberapa saat yang lalu isakan tersebut mereda dan benar-benar berhenti ketika Mikail memutuskan untuk melihat ke dalam. Kelegaan mengaliri tenggor