“Ya.” Megan mengangguk, menyamarkan kedipan matanya dengan anggukan singkatnya. “A-aku memiliki sedikit urusan di sana.” Ia bersyukur suaranya keluar tanpa getaran sedikit pun. Mikail terdiam. Tetapi kemudian teringat kalau Megan sedang menjalani pengobatan trauma wanita itu. Ia pun mengangguk. “Kenapa kau tidak membawa sopir?” Megan terdiam, bernapas dengan lega karena Mikail tak bertanya lebih tentang urusannya. “Aku hanya ingin sendiri. Rasanya aku tak memiliki banyak pekerjaan setelah berhenti dari pekerjaan lamaku.” Mikail manggut-manggut. “Kalau begitu pastikan kau menyetir dengan hati-hati, Megan.” Megan pun mengangguk. Sekali lagi bernapas dengan lega meski ia merasa bersalah karena berbohong tentang kepergiannya dengan Nicholas. Yang ia tahu pria itu tak akan menyukai pertemuannya dan Nicholas yang diam-diam seperti ini. Alicia tentu saja dikecewakan dengan jawaban Mikail. Bibirnya menipis tajam dan cengkeraman tangannya di sendoknya semakin menguat. Tentu saja ia tak ak
Sampai di rumah sakit, Mikail mengantar Alicia lebih dulu ke ruangan dokter. Janin wanita itu baik-baik saja. Menginjak usia enam bulan dan semua berkembang dengan baik. “Ah ya, tuan Marcel menghubungi saya dua hari yang lalu.” Mikail dan Alicia seketika terdiam, keduanya saling bertatapan dan kemudian kembali menatap sang dokter. “Ya, Dok.” Alicia mengangguk. “Beliau berpesan ingin melakukan tes DNA dengan janin dalam kandungan Anda. Beliau bertanya-tanya apakah sekarang adalah waktu yang tepat untuk melakukannya.” Sekali lagi Alicia mengangguk. “Ya, kami memerlukannya. Apakah itu memungkinkan?” Dokter tersebut mengangguk. “Anda harus menjalani beberapa tes lebih dulu. Saya akan mulai mempersiapkannya.” “Ya, lakukan saja, Dok.” Dokter pun kembali menjelaskan tentang keadaan janin Alicia, menanyakan keluhan-keluhan, dan meresepkan vitamin ibu hamil. Setelah selesai, keduanya pun keluar bersama. “Kau yakin akan melakukannya?” Alicia mengangguk. “Aku sudah bicara dengannya. Da
“Kau datang?” Suara Alicia menyambut kedatangan Megan yang baru saja menyeberangi ruang tamu dan hendak naik ke lantai dua. Wajah Megan berputar, menemukan Alicia yang keluar dari kamar wanita itu dan berjalan mendekat. Senyum wanita itu benar-benar licik. Membuat Megan semakin muak. “Ya, ini rumah suamiku.” Megan menekan kata suamiku dengan sejelas mungkin. Tak peduli jika terdengar berlebihan. “Rumahku. Aku bisa datang dan pergi sesukaku. Tanpa perlu meminta ijin padamu, kan?” Alicia mendengus. “Seperti yang kau lakukan pada hidup Mikail dan Kiano, begitu?” Raut Megan membeku, kedua tangannya segera terkepal. Senyum licik Alicia benar-benar membuatnya mual. Tetapi ia segera menekan gelombang kemarahan yang datang karena kalimat itu. Ia tahu ini yang diinginkan oleh Alicia. Wanita itu sengaja menggunakan kelemahan itu untuk mengusiknya. Dan ia tak akan memberikan keinginan wanita itu dengan mudah. Kepalan tangan Megan perlahan melonggar. “Tutup saja mulutmu, Alicia. Kau tak tahu a
Mikail masih membeku. Jadi adiknya itu juga memberikan hasil tes DNA yang asli kepada Megan. Tanpa mengalihkan pandangannya dari ponsel yang diletakkan Marcel di meja. Sejenak ia mencerna kalimat Marcel yang mencemooh kepercayaan Megan padanya, kemudian pandangannya bergerah ke wajah Marcel. “Aku tak tahu apa yang kau katakan, Marcel.” Mikail nyaris tak menggerakkan bibirnya. “Oh ayolah, Mikail. Kau tahu hasil yang kau berikan pada Megan adalah sebuah kebohongan. Dan kau mungkin bisa membodohi Megan, tapi denganku? Kau tahu itu adalah sebuah kekonyolan.” Mikail terdiam. “Sejak kau tahu Kiano bukan darah dagingmu, kau tahu dengan pasti milik siapa anak itu. Ya, Mikail tahu itu. Ia sendiri dibuat terkejut dengan hasil tes tersebut yang meruntuhkan segala kepercayaan dirinya sendiri. Mikail tak mengatakan apa pun. Saat ia mengetahui hasil tes sampel miliknya dan Kiano yang tidak cocok, ia sudah tahu kalau Kiano adalah darah daging Marcel. Fakta itu menamparnya keras-keras. Semua bena
Begitu mobil Megan memasuki area parkir di halaman depan restoran yang dikirim Nicholas, pandangan wanita itu langsung menemukan keberadaan pria itu di teras restoran. Berdiri menunggu dengan kruk yang terselip di ketiak. Pria itu tentu saja mencuri perhatian beberapa pengunjung restoran, yang sebagian besar berbisik-bisik setelah menatap Nicholas, dan lebih banyak yang menatap kagum ketampanan pria itu. Rasanya tak ada tempat bagi Nicholas selain menjadi pusat perhatian. Megan turun dan menghampiri Nicholas dengan langkah yang tidak terlalu tergesa juga tidak melambat. “Kenapa kau tidak menunggu di dalam, Nicholas?” Nicholas tersenyum. “Aku hanya ingin melihatmu datang.” Megan memilih tak menanggapi. “Kita masuk sekarang?” Megan mengangguk singkat. Nicholas memiringkan tubuhnya dan mempersilahkan Megan dengan salah satu lengannya. Megan berjalan lebih dulu. Saat wanita itu melintasinya, tiba-tiba senyum Nicholas membeku. Keningnya berkerut akan aroma tubuh Megan yang tidak sep
Marcel menarik tubuhnya ke belakang, menjauh dari tubuh Megan yang masih menempel di pintu mobil. Wanita itu tetap membeku selama beberapa saat. Megan masih tenggelam dalam ketercengangannya ketika telapak tangannya yang terlunglai diambil oleh Marcel dan meletakkan kunci mobil di telapak tangannya. Tangan Marcel bergerak menyentuh helaian rambut Megan, tetapi wanita itu beringsut menjauh. Membuat tangan Marcel melayang di samping wajah Megan. Marcel tersenyum miris, kemudian berkata, “Pulanglah.” Megan tak mengatakan apa pun. Marcel berjalan meninggalkannya. Menuju mobil pria itu yang terparkir tak jauh dari mobilnya. Melaju menuju jalanan. Butuh waktu lebih dari lima menit bagi Megan untuk menelaah apa yang baru saja terjadi dan masuk ke dalam mobil. Duduk di balik kemudi dan mulai meninggalkan halaman restoran. Sepanjang perjalanan, Megan tak berhenti memikirkan kata-kata Marcel yang bahkan lebih memengaruhinya ketimbang perbuatan berengsek pria itu di masa lalu. Megan menggel
Mikail membungkuk, mengambil Kiano dalam pelukan Megan dan menggendongnya. “Apa kau baik-baik saja?” Mikail memeriksa seluruh tubuh Kiano dengan seksama. Melepaskan pelampung yang kempes dari kedua lengan putranya dan melemparnya ke lantai. Kiano mengangguk pelan, kemudian menoleh ke arah Megan yang masih bersimpuh di pinggiran kolam. Menahan genangan air mata yang memanas di kedua kelopak matanya. “Mama?” Mikail menatap tajam ke arah Megan, pandangan keduanya bertemu dan kemurkaan di wajah Mikail benar-benar tak tertahankan. Kemudian pria itu membawa Kiano masuk ke dalam rumah dan berteriak pada pelayan untuk menghubungi dokter dengan segera. Megan menggigit bibir bagian dalamnya, air matanya kembali menggenang. Ia benar-benar tak berani menatap kekecewaan di mata Mikail untuknya. Bangkit berdiri, Megan hendak menyusul Mikail ke dalam. Memastikan putranya masih baik-baik saja. “Megan?” Marcel menahan pundak Megan. Pandangannya turun ke bawah dan ia berjongkok di depan kaki wanit
Mikail membanting tubuhnya di sofa dan mengerang dalam hati. Kesepuluh jemarinya tenggelam di helaian rambut kepala dan ia menggenggamnya dengan kuat. Hubungannya dan Megan baru saja membaik. Kenapa ia harus melakukan kesalahan setolol ini karena emosi dan kecemburuannya? “Tuan?” Suara panik pelayan yang baru muncul membuat Mikail mengangkat kepalanya. “Ada apa?” “Nona, Nona Alicia jatuh di kamar mandi.” “Apa?” Mikail melompat berdiri dan langsung berlari ke kamar Alicia. Ia benar-benar dikejutkan dengan tubuh Alicia yang berbaring di lantai kamar mandi di tengah darah yang menggenang di lantai. Mikail seketika menggendong Alicia dan menyuruh pelayan untuk memberitahu sopir. Membawa Alicia ke rumah sakit. Sampai di rumah sakit, Alicia segera mendapatkan penanganan yang tepat di ruang operasi selama satu jam lebih. Janin dalam kandungan wanita itu baik-baik saja. Mikail bernapas pun dengan lega. Baru saja Kiano selamat dari bahaya, dan sekarang janin dalam kandungan Alicia pun ik