“Jadi kalau kamu bertanya bagaimana kehidupan sebagai seorang ibu yang merawat anaknya di atas padatnya pekerjaan, akan aku jawab bahwa itu sulit. Tapi karena aku tidak punya pilihan alih-alih selalu disbanding-bandingkan dengan saudara iparku, aku memilih tetap waras.”Kinar kaget mendengar penuturan Rania yang keras. Kinar pikir meskipun sudah mempunyai rumah sendiri dan hanya fokus pada keluarganya saja, pihak luar tidak akan ikut campur. Tapi siapa yang sangka jika ibu mertuanya justru menjadi kompor dalam rumah tangganya. Membayangkan itu, Kinar meringis sembari menyeruput es kopinya.“Makanya aku bertanya, bagaimana bisa kamu mengambil langkah ini? Apa kamu yakin? Itu alasan kenapa aku sangat khawatir. Bukan karena asal bertanya tapi aku lebih dulu berada di posisi itu. Sejauh pencarianku …” Rania hentikan ucapannya dan membuka ponselnya. “Anan Pradipta benar-benar konglomerat nomor satu di Indonesia. Kekayaan dan segudang prestasi yang dia sabet tidak main-main. Bukan cuma di p
“Apa temanya?” tanya Ivana menyeruput jus dinginnya. Bali dan cuacanya yang cerah. Berada di bawah terik matahari pagi mampu meregangkan otot-ototnya yang kaku. “Aku masih bingung. Kenapa kita membutuhkan liburan padahal tidak banyak aktivitas yang kita lakukan. Dan sampai sejauh ini …” Ivana menjeda dengan kepala menoleh ke samping. Di mana Banyu sedang tersenyum dengan kaca mata hitam yang bertengger di hidung mancungnya. “Aku lebih suka Lembang. Penginapan di tengah-tengah hutan pinus dan sungai di depannya. Belum lagi ketika rintik-rintik hujan turun menyambut.”Kekehan Banyu terdengar dan Ivana hanya menghela napasnya dalam-dalam. Pria ini memang unik dan sedikit berbeda dari pria pada umumnya yang Ivana kenal. Sifatnya yang sulit untuk Ivana tebak dan karakternya dengan pembawaan yang tenang. Pantas jika banyak wanita dikalangannya yang memujanya. Ivana saja tergiur walaupun tahu itu suatu tindakan yang bodoh. Tapi nasi sudah menjadi bubur. Ivana hanya akan mengoleh bubur dengan
“Menurut kamu arti dari menikah itu apa?”Teguh menoleh dengan sedotan yang masih menempel di mulutnya. Pertanyaan dari Kinar belum sepenuhnya Teguh pahami namun tahu arti dan arahnya ke mana. Wanita ini mungkin sedang bimbang. Terlihat dari raut wajahnya yang sendu meski segar sepenuhnya. Kualitas tidurnya mungkin terjaga atau semalam bisa memejamkan matanya dengan nyenyak.“Saya juga tidak tahu.”“Karena waktu kamu sudah habis untuk melayani Anan dan segala jadwal yang mengharuskan kamu menghandlenya.” Tidak Teguh sangkal hanya memberi senyuman kecil. “Kamu harus mulai merubah secara perlahan atau akan menjalani masa tuamu sendirian. Aku dengar, tidak menikah dan tidak ada pasangan yang menemani masa tua kita amatlah mengerikan.”Kinar benar dan seandainya Teguh bisa melakukan itu maka tidak akan ada Teguh di sini. Waktu Teguh tidak sepenuhnya tersita di kantor. Teguh bisa berkencan seperti pasangan pada umumnya, makan siang atau makan malam di restoran pilihan kekasihnya dan berman
Capek sekali menjadi Kinar Dewi. Yang isi pikirannya selalu rungsing. Yang diam saja sudah membuatnya tertekan apa lagi melakukan banyak tindakan-tindakan yang terlihat aneh. Kinar Dewi punya satu titik di mana ingin menyerah saja. Mengakhiri yang sedang dijalaninya karena merasa Tuhan tidak pernah adil kepadanya. Seakan takdir yang digariskan untuknya tidak pernah memihaknya. Seolah-olah yang Kinar lakukan bukanlah hal yang pantas untuk dilakukan.Setelah perginya Teguh dari kost Kinar, tidak serta merta membuat wanita berambut panjang hitam legam itu tenang. Kinar masih bimbang dengan pilihannya. Kinar masih belum menemukan keputusan mana yang harus diambilnya. Apakah harus mundur atau tetap melanjutkan penawaran yang Anan berikan. Agar Tuhan tahu jika Kinar sudah sangat berputus asa pada kehidupannya. Alih-alih memilih mati, Kinar lebih ingin menunjukkan rasa murkanya jika dunia tidak pernah memperlakukan dirinya dengan baik.“Kamu pikir menikah tidak butuh biaya!?”Selalu seperti
“Zahra.” Banyu memanggil selepas makan malam yang tunangannya sediakan telah tandas.“Ya.” Zahra menjawab dengan senyuman yang paling menawan. “Kamu mau buah?” Zahra tawarkan yang biasanya Banyu makan setelah makan malam. “Atau mau es krim?”Banyu menggeleng dan mengisyaratkan Zahra untuk duduk di sampingnya. “Kita perlu ngomong.”“Penting?” Zahra ganyem buah anggurnya. “Kamu ketika serius seperti ini, tahu apa yang aku pikirkan?”“Apa?” Alis kanan Banyu menukik ke atas.“Horor. Mendadak ruangan ini beraura gelap.”“Sembarangan!” Zahra tertawa sementara Banyu berusaha menyusun kalimat yang akan dikeluarkan dari mulutnya. “Di usia kita yang sudah sematang ini, pemikiran perihal cinta sudah tidak penting lagi, ‘kan?”Mata Zahra membeliak kaget. Wanita yang mengenakan baju santainya itu menoleh dengan cepat setelah meletakkan sepiring anggur di atas meja. Menatap Banyu yang memandang lurus-lurus ke depan. Pria ini bersikap tenang seakan-akan tidak ada kata yang baru meluncur dari mulutny
“We need talk!”“Aku sibuk.”“Anan!” Ivana berteriak tanpa peduli jika suaranya menggelegar dan akan di dengar dari luar oleh para bawahan Anan. Emosinya membuncah dan Anan sama sekali tidak peduli dengannya. “Kamu pikir ini pilihan yang terbaik, hah?”“Kamu yang membuatnya menjadi pilihan dan ya, kamu mengatakan jika Kinar adalah pilihan yang tepat. Bukankah aku sudah sangat baik dengan menerima saran darimu? Aku sebagai suami sangatlah patuh dengan ucapan istrinya. Jadi di mana letak kesalahan yang aku buat?”Anan memandangi Ivana dengan ekspresi yang tidak bisa ditebak. Hanya karena mencintai Ivana, perilaku Ivana yang semena-mena membuat Anan sadar bahwa ada titik jenuh yang saat ini tengah menyerangnya. Anan tidak memungkiri jika statusnya sebagai seorang suami kurang dihargai bahkan hampir tidak pernah dilihat oleh Ivana. Wanita ini berbuat sesuka hati dan Anan yang harus menderita seorang diri. Sekarang, bukankah sudah waktunya bagi Anan untuk melepaskan belenggu tersebut? Jika
Dulu, Kinar pernah merasa bahagia dan dibahagiakan. Sesaat setelah dinyatakan kehilangan nyawa untuk kedua orang tuanya, tidak ada raut kesedihan di wajah Kinar. Karena sudah pasrah dan tahu jika menyelamatkan nyawa kedua orang tuanya dari kecelakaan maut itu tidaklah mungkin. Kinar serahkan semuanya kepada Tuhan. Jika harus meninggal, artinya Tuhan lebih menyayangi mereka. Dan tugas kedua orang tuanya di dunia telah usai. Saatnya bagi Kinar untuk bangkit dan memperkokoh pijakannya. Dunia tidak akan melemah meski dirinya sedang berduka. Dunia tidak akan berbaik hati sehancur apa hatinya. Semuanya kembali pada Kinar dan caranya dalam memandang dunia.Beruntungnya dengan segenap kekuatan dan sisa-sisa kaisan atas tekad yang Kinar punya, kerasnya dunia bisa Kinar lawan. Meski tidak sepenuhnya mulus, jalan yang Kinar lalui tidak hanya berkerikil tajam namun juga berkelok-kelok. Tidak apa, toh pada titik akhir itu membawanya pada puncak yang saat ini kedua kakinya pijaki.Lagi pula, apa ya
“Ini terlalu berat,” kata editor Kinar yang petang itu mampir ke kostnya. Wanita berhijab yang ayu itu menyempatkan diri hanya untuk bertemu dengan Kinar dan memberi tahukan hasil review naskah milik Kinar yang dikirimkan beberapa waktu lalu. “Kamu selalu membahas tentang pernikahan. Pembaca yang tidak tahu apa maksudnya akan terpancing dengan sudut pandang kamu.”“Ini hanya fiksi. Jika pun itu terjadi di kehidupan nyata, bukan salah penulis. Bacaan ini sekadar hiburan dan mengenai sudut pandang orang, sebagai pembaca saya yakin mereka bisa memberi penilaian yang bijaksana. Lagi pula, saya menulis atas dasar yang saya sukai. Saya menulis bukan untuk memenuhi ekspektasi pembaca mau pun masyarakat luas.”Editor yang biasa dipanggil Mbak Al ini hanya menggelengkan kepalanya saja. Mengembuskan napas dan membaca naskah di baliknya. Kinar Dewi bisa dibilang penulis terkenal yang disukai oleh para pembaca di kalangan Ibu-ibu bahkan wanita yang sudah berusia matang namun belum siap untuk meni