“Zahra.” Banyu memanggil selepas makan malam yang tunangannya sediakan telah tandas.“Ya.” Zahra menjawab dengan senyuman yang paling menawan. “Kamu mau buah?” Zahra tawarkan yang biasanya Banyu makan setelah makan malam. “Atau mau es krim?”Banyu menggeleng dan mengisyaratkan Zahra untuk duduk di sampingnya. “Kita perlu ngomong.”“Penting?” Zahra ganyem buah anggurnya. “Kamu ketika serius seperti ini, tahu apa yang aku pikirkan?”“Apa?” Alis kanan Banyu menukik ke atas.“Horor. Mendadak ruangan ini beraura gelap.”“Sembarangan!” Zahra tertawa sementara Banyu berusaha menyusun kalimat yang akan dikeluarkan dari mulutnya. “Di usia kita yang sudah sematang ini, pemikiran perihal cinta sudah tidak penting lagi, ‘kan?”Mata Zahra membeliak kaget. Wanita yang mengenakan baju santainya itu menoleh dengan cepat setelah meletakkan sepiring anggur di atas meja. Menatap Banyu yang memandang lurus-lurus ke depan. Pria ini bersikap tenang seakan-akan tidak ada kata yang baru meluncur dari mulutny
“We need talk!”“Aku sibuk.”“Anan!” Ivana berteriak tanpa peduli jika suaranya menggelegar dan akan di dengar dari luar oleh para bawahan Anan. Emosinya membuncah dan Anan sama sekali tidak peduli dengannya. “Kamu pikir ini pilihan yang terbaik, hah?”“Kamu yang membuatnya menjadi pilihan dan ya, kamu mengatakan jika Kinar adalah pilihan yang tepat. Bukankah aku sudah sangat baik dengan menerima saran darimu? Aku sebagai suami sangatlah patuh dengan ucapan istrinya. Jadi di mana letak kesalahan yang aku buat?”Anan memandangi Ivana dengan ekspresi yang tidak bisa ditebak. Hanya karena mencintai Ivana, perilaku Ivana yang semena-mena membuat Anan sadar bahwa ada titik jenuh yang saat ini tengah menyerangnya. Anan tidak memungkiri jika statusnya sebagai seorang suami kurang dihargai bahkan hampir tidak pernah dilihat oleh Ivana. Wanita ini berbuat sesuka hati dan Anan yang harus menderita seorang diri. Sekarang, bukankah sudah waktunya bagi Anan untuk melepaskan belenggu tersebut? Jika
Dulu, Kinar pernah merasa bahagia dan dibahagiakan. Sesaat setelah dinyatakan kehilangan nyawa untuk kedua orang tuanya, tidak ada raut kesedihan di wajah Kinar. Karena sudah pasrah dan tahu jika menyelamatkan nyawa kedua orang tuanya dari kecelakaan maut itu tidaklah mungkin. Kinar serahkan semuanya kepada Tuhan. Jika harus meninggal, artinya Tuhan lebih menyayangi mereka. Dan tugas kedua orang tuanya di dunia telah usai. Saatnya bagi Kinar untuk bangkit dan memperkokoh pijakannya. Dunia tidak akan melemah meski dirinya sedang berduka. Dunia tidak akan berbaik hati sehancur apa hatinya. Semuanya kembali pada Kinar dan caranya dalam memandang dunia.Beruntungnya dengan segenap kekuatan dan sisa-sisa kaisan atas tekad yang Kinar punya, kerasnya dunia bisa Kinar lawan. Meski tidak sepenuhnya mulus, jalan yang Kinar lalui tidak hanya berkerikil tajam namun juga berkelok-kelok. Tidak apa, toh pada titik akhir itu membawanya pada puncak yang saat ini kedua kakinya pijaki.Lagi pula, apa ya
“Ini terlalu berat,” kata editor Kinar yang petang itu mampir ke kostnya. Wanita berhijab yang ayu itu menyempatkan diri hanya untuk bertemu dengan Kinar dan memberi tahukan hasil review naskah milik Kinar yang dikirimkan beberapa waktu lalu. “Kamu selalu membahas tentang pernikahan. Pembaca yang tidak tahu apa maksudnya akan terpancing dengan sudut pandang kamu.”“Ini hanya fiksi. Jika pun itu terjadi di kehidupan nyata, bukan salah penulis. Bacaan ini sekadar hiburan dan mengenai sudut pandang orang, sebagai pembaca saya yakin mereka bisa memberi penilaian yang bijaksana. Lagi pula, saya menulis atas dasar yang saya sukai. Saya menulis bukan untuk memenuhi ekspektasi pembaca mau pun masyarakat luas.”Editor yang biasa dipanggil Mbak Al ini hanya menggelengkan kepalanya saja. Mengembuskan napas dan membaca naskah di baliknya. Kinar Dewi bisa dibilang penulis terkenal yang disukai oleh para pembaca di kalangan Ibu-ibu bahkan wanita yang sudah berusia matang namun belum siap untuk meni
“Mau bagaimana lagi, ‘kan?” ucap Anan seperti kalimat tanya yang membuat Kinar mengembuskan napasnya. “Saya tidak ingi berlama-lama bersama seorang pengkhianat.”“Pengkhianat?” ulang Kinar. Terkejut dan tidak tahu dengan maksud yang Anan ucapkan. Pria itu bersikap santai dengan memotong dagingnya. Suara yang bergesekan antara pisau dengan piring nyaring memasuki rungu Kinar.“Hm, Ivana itu pengkhianat. Kamu pernah mendengar ucapan: hukum penjahat namun hajar sampai mati pengkhianat.” Mata Kinar melotot penuh keterkejutan. Ucapan yang Anan keluarkan dari mulutnya terdengar amat serius meski sesudahnya tertawa terbahak-bahak. “Kamu lucu. Saya bercanda. Itu hanya kalimat yang pernah disampaikan oleh seseorang kepada saya. Lagi pula saya masih waras dengan tidak menganiaya seorang wanita. Tindakan itu tidak dibenarkan.”Kinar mendengkus. Makam malam yang sedang dilakukan bersama Anan tidak lagi menggugah seleranya. “Bapak pasti berpikir ini lelucon.” Bibir kanan Kinar terangkat ke atas. “
Ivana menggedor pintu Kinar keras-keras. Di pagi hari yang cukup dingin dan beberapa kelopak-kelopak mata milik para penghuni yang masih terpejam. Tindakan Ivana cukup bar-bar serta mengganggu kenyamanan para penghuni. Namun siapa yang akan peduli dengan itu semua. Ivana ingin segera melampiaskan emosinya. Wanita yang Ivana pilih untuk mau menyewakan rahimnya ternyata tidak sebaik perkiraannya. Sial!“Kinar!” Kali ini gedoran Ivana lebih brutal.Sampai suara kunci di putar dan pintu terbuka dari kamar sebelahnya menyembulkan kepalanya. Menatap Ivana dari atas ke bawah lalu mendengkus.“Pengganggu!” umpatnya terang-terangan dan Ivana tidak peduli dengan itu. “Kamu harus mengasah sopan santunmu untuk bertamu. Dasar pembuat onar.”“Saya tidak punya urusan denganmu. Lanjutkan saja tidurmu dan enyahlah!”“Kamu mengganggu penghuni yang lain.”Masih kekeuh meski tahu itu percuma. Ivana tidak mundur meski beberapa penghuni mulai menyaksikan tingkahnya. Tangan Ivana sekali lagi menggedor pintu
“Apa yang Ivana katakan?” tanya Anan yang di jam makan siang mendatangi Kinar di kostnya.Pria itu menyempatkan waktunya hanya untuk bertanya perihal apa yang Ivana lakukan di kostnya pagi tadi. Entah siapa yang memberi tahu masalah itu. Yang jelas, Kinar tidak menghubungi Anan setelah kepergian Ivana.“Ivana yang memberi tahu?” Anan menggeleng masih dengan kunyahan gado-gado di mulutnya. “Rahasia wanita.”“Tidak ada rahasia di antara kita.” Anan memungkas jawaban Kinar agar tidak ada jawaban seperti itu lagi di kemudian hari. “Saya tidak suka bermain rahasia dan jajarannya. Kamu hanya perlu mengatakan apa yang Ivana sampaikan hingga bersusah payah datang ke sini.”“Kenapa bukan Bapak saja yang bertanya dengan Ivana?” Kinar tersenyum sinis. Menatap wajah Anan yang memerah akibat kesal. “Dia masih istri Bapak dan sudah seharusnya menjadi kendali Bapak. Jangan malah mendatangi saya.”“Apa salah?” Kinar menggeleng seraya mengerutkan hidungnya yang terlihat imut di pandangan Anan. “Kamu a
“Kamu punya pernikahan impian?”Kinar menggeleng. “Tidak.” Mulutnya ganyem asinan yang disediakan oleh pihak penyelenggara road show.Saat ini, Kinar dan temannya yang sesama penulis, namanya Kania, sama-sama duduk di kursi menikmati makan siang. Hujan turun membasahi Bandung siang itu. Akhir-akhir ini cuaca mulai tak menentu. Pagi cerah, siang mendadak mendung lalu hujan dan kemudian kembali panas seolah tak pernah ada air dari langit yang mengguyur bumi.Kinar lemparkan tatapannya pada lalu lalang malang serta para tamu yang datang hendak menginap di hotel. Koper-koper yang di seret serta tas punggung yang digendong menjadi pemandangan penyeling setelah dua jam berada di dalam ruangan. Kinar embuskan napasnya sedang tangannya kembali menusuk asinan buahnya dengan garpu kecil.Lain halnya dengan Kania yang menghentikan kunyahan pada buah melonnya. Menatap Kinar horor yang sedetik kemudian menyipitkan matanya. Kania curiga, takut jika Kinar penyuka sesama jenis karena di usia yang sud