Sejak sebelum atau bahkan sesudah Slavia hadir di tengah-tengah mereka. Maafkan aku, Vi. Rio berbisik dalam hati. “Ibu mantap sekali,” puji Bik Tata yang masih menggendong Nico. “Apanya yang mantap, Bik?” “Duh, Ibu jangan pura-pura ... Di sini kan sudah nggak ada siapa-siapa selain bibik.” Shara mengernyit. “Saya nggak tahu bibik ngomong apa, mantap gimana maksudnya?” Bik Tata nyengir lagi, setelah itu dia berbisik di dekat Shara. “Ibu sama bapak mantap, kejar setoran ya? Sampai merah-merah begitu ....” “Eh, masa sih?” Shara menutup mulutnya dengan telapak tangan. “Bibik jangan bercanda, aduh—saya jadi nggak enak sama Via kan?” “Kok nggak enak, Ibu sama bapak kan suami istri!” “Aduh, bibik nggak akan ngerti ... Serius tadi ada bekasnya, Bik? Jangan-jangan Bibik cuma mau goda saya ....” “Sumpah, Bu! Saya lihat sendiri kok, jadi seharusnya Mbak Via juga lihat.” Shara sontak lemas mendengar pengakuan Bik Tata. “Kasian Via ....” “Kok kasihan sih, suami istri kan wajar kalau s
Slavia diam sejenak. Kata-kata bijak Shara belum mampu membuat tenang sejak dia tahu bahwa selama ini dirinya dihujat oleh sebagian orang yang membenci pernikahan segitiga ini. “Apa aku ... mundur saja ya, Kak?” “Hah, maksud kamu?” Slavia menarik napas panjang, terlihat sedang tertekan. “Kenapa tiba-tiba kamu berpikir begitu, Vi? Apa selama ini Mas Rio kurang adil sama kamu?” Slavia tidak menjawab. “Kamu nggak perlu khawatir, nanti aku akan bicara sama Mas Rio supaya membagi segalanya dengan lebih adil ....” “Nggak usah, Kak.” Slavia menggeleng. “Kalau tiba saatnya nanti ... mungkin aku akan mundur kalau sudah nggak sanggup lagi.” Shara tertegun, dia membelai puncak kepala Slavia sembari menghela napas. “Apa maksudnya sudah tidak sanggup lagi?” Suara di belakang mereka membuat keduanya menoleh. “Mas ... kamu sudah pulang?” tanya Shara buru-buru. Slavia mengubah ekspresi wajahnya menjadi biasa saja, dia mengalihkan perhatiannya kepada Nico yang berbaring di atas karpet. “Ap
Shara ternyata sudah berdiri di depan pintu kamar tamu yang terbuka sedikit, dia membelalakkan matanya ketika menyaksikan Rio yang sedang bercumbu mesra dengan Slavia. Nico semakin rewel ketika Shara mengajaknya kembali ke kamar utama. “Sudah dibilang, papa sama ibu kamu lagi asyik-asyikan berdua!” desis Shara seraya menaruh Nico di atas karpet. “Kamu jangan ikut-ikutan bikin mama kesal ya?” Nico berguling-guling di karpet sambil terus merengek, tapi Shara tidak peduli. Pandangannya menerawang jauh, hingga dia tidak lagi mengawasi Nico yang bergerak terus hingga tubuhnya bergeser melewati karpet. Tidak dapat dipungkiri, bagaimana sakitnya hati Shara ketika melihat sendiri bagaimana Rio memperlakukan Slavia. Dia tidak bisa menerima karena ternyata Rio berbuat hal yang sama seperti yang biasa mereka lakukan saat berdua saja. Awas saja, geram Shara. Awas saja kalau sampai aku lihat bekas sekecil apa pun di kulit Mas Rio, aku nggak akan tinggal diam. “Aku minta maaf kalau aku belum
Shara terdiam, dia bahkan tidak sadar kapan Nico meninggalkan kamar. Anak itu kan belum bisa merangkak, jadi bagaimana bisa dia jatuh?“Mas, jangan bicara sembarangan! Aku tadi sama Nico ada di kamar, kamu tuh yang salah, ngapain saja sama Via?”“Kok jadi kamu yang nuduh aku? Justru karena Nico sama kamu, makanya aku percaya kalau kamu bisa menjaga anakku ....”“Oh begitu, seenaknya kamu menyalahkan aku sedangkan kamu sendiri asyik-asyikan sama Via di kamar?”Rio mengerutkan keningnya mendapati respons Shara yang jauh lebih emosional daripada dirinya. Bukankah jelas-jelas dia yang salah karena telah lalai menjaga Nico? Bagaimana kalau Nico terluka parah gara-gara kelalaiannya itu?“Apa maksud kamu? Kenapa jadi memojokkan aku sama Via?”“Karena kalian berdua cuma peduli sama urusan kalian sendiri!” tunjuk Shara ke dada Rio. “Kalian nggak peduli sama perasaan aku!”Rio mengacak rambutnya, tidak mengerti kenapa tiba-tiba Shara berubah sedrastis ini mengingat kemarin-kemarin dia be
Rio berdiri dan meninggalkan Shara untuk merenungkan semua ucapannya tadi, dia hampir saja menyerah dan berniat untuk melepas salah satu dari istrinya. Namun, orang-orang pasti akan menyudutkannya sebagai seorang suami yang jahat.Serba salah.“Sebenarnya apa yang terjadi, Mas?” Slavia bertanya ketika Rio muncul di kamar tamu untuk melihat Nico.“Shara ... sepertinya mulai tidak stabil lagi,” keluh Rio, membuat mata Slavia membulat sempurna.“Aku nggak mau Nico kenapa-kenapa, Mas!”“Nico terluka?’Slavia mengangguk. “Dia tidur setelah tadi sempat rewel, beruntung lukanya nggak parah. Ini keajaiban, Mas. Seandainya Nico nggak dilindungi, pasti ... bayi sekecil ini, Mas ....”Slavia mendekap Nico semakin erat, kedua matanya basah. Dia membayangkan saat-saat menegangkan yang Nico alami setiap kali emosi Shara sedang tidak stabil.“Maafkan Shara, ya?” ucap Rio dengan suara berat. Bukan dia ingin membela istri pertamanya, tapi lebih supaya hati Slavia merasa dihargai.“Apa nggak
“Aku tidak akan begitu, sekalian aku harus cek keadaan Shara juga. Semoga saja emosinya sudah lebih stabil.” Slavia mengangguk, dia tidak ingin menceritakan tentang kemarahan Shara terhadapnya. Pagi itu ibu datang berkunjung dengan wajah masam. “Bu, kok tidak kabar-kabar kalau mau ke sini?” sapa Rio sembari menyalami ibu mertuanya. “Memangnya kenapa, saya ini ibunya Shara. Masa saya harus lapor dulu kalau mau ketemuan sama anak sendiri?” tukas Rini, ibu mertua Rio. “Bukan begitu, Bu. Maksudnya biar aku bisa suruh Bik Tata untuk masak makanan kesukaan Ibu.” “Oh, kalau itu sih Via juga bisa. Suruh saja Via yang masak, dia tinggal seatap sama kamu juga kan?” Rio mengangguk. “Suruh dia bikin teh dulu, saya mau lihat Shara.” “Baik, Bu.” Rio terpaksa membiarkan Rini bersikap semaunya di rumah sendiri, tapi biar bagaimanapun dia adalah ibu mertua yang harus tetap dihormatinya sampai kapan pun. “Vi, ibu kamu datang!” kata Rio memberi tahu. “Ibu? Serius, Mas?” Rio mengangguk, ekspre
“Itu kamu tahu! Kenapa susah sekali bagi kamu untuk menceraikan Via?” Rio memilih untuk tidak menjawab.Suasana di kediaman Rio berubah menjadi tidak enak sejak kedatangan ibu Shara yang memutuskan untuk menginap selama beberapa hari. “Mas, apa nggak sebaiknya aku numpang di rumah ibu kamu? Kira-kira boleh nggak ya?” Slavia mengutarakan keinginannya karena dia sudah sangat merasa tidak nyaman dengan segala macam cibiran yang terlontar dari mulut wanita yang sudah berjasa membesarkannya itu. “Benar juga, kenapa aku tidak kepikiran sama sekali!” celetuk Rio sembari menelepon ibunya. “Tunggu sebentar ya, Vi?” Slavia mengangguk, bersyukur karena Rio mau mendengarkan segala keluh kesahnya tanpa menganggapnya labil. Bukan dia tidak menghargai kedatangan ibu Shara, hanya saja cibiran pedas yang terlontar dari bibirnya sering kali melukai hati seperti duri tajam yang menusuk. “Ibuku setuju kamu tinggal di rumah, Vi.” Rio mengabarkan beberapa saat kemudian. “Nico gimana, Mas? Boleh ngga
“Ya sudah, ibu bikin minum dulu.” Slavia menarik napas lega setelah ibu mertuanya berlalu pergi dari hadapan mereka. “Setidaknya ibu kamu menerima kedatangan aku, Mas.” “Tentu saja, ibu mendukung keputusan aku untuk meneruskan pernikahan sama kamu. Tanpa ibuku, mungkin talak itu betul-betul aku ucapkan terhadap kamu.” “Oh ya? Kok bisa, Mas?” Pandangan Rio menerawang jauh, dia teringat bagaimana detik-detik ketika dia hampir saja menceraikan Slavia sesuai perjanjian yang telah mereka sepakati. “Kamu ingat saat aku mau mengabulkan permintaan cerai kamu?” tanya Rio lambat-lambat. “Tentu saja ingat.” “Saat aku hampir mengucap talak, tiba-tiba ibu datang dan memberi tahu sebuah rahasia kalau kamu bukanlah adik kandung Shara.” Rio meneruskan ucapannya. “Serius, Mas? Kok ibu mertua bisa tahu?” “Aku tidak paham soal itu, karena ibu fokus mencegahku supaya tidak buru-buru mentalak kamu. Mungkin ibu juga merasa kasihan karena Nico harus terpisah sama kamu, sedangkan kamu adalah ibu ka