Di saat yang bersamaan, Rio sedang dalam perjalanan dengan mobilnya untuk menjemput Nico “Hore! Ayo Kak, kita jajan sama-sama!” Di tempat les, Nico terlihat pasrah saja saat Lunara menggandeng tangannya untuk masuk ke dalam toko. Sementara mereka sedang asyik memilih-milih jajanan, Slavia mengambil ponsel untuk mendokumentasikan kebersamaan anak-anak kandungnya. “Tante, boleh es krim?” “Boleh, ambil saja apa yang kamu suka.” Senyum Nico merekah, membuat pertahanan diri Slavia nyaris jebol dan ingin merengkuh anak itu dalam dekapan hangatnya. “Aku juga mau es krim dua!” celetuk Lunara ikut-ikutan. “Jangan berlebihan, nggak baik.” Nico menasehati. “Es krim memang enak, tapi makan satu cukup. Besok bisa beli lagi ....” “Terus aku jajan apa lagi?” “Roti lebih sehat, keripik kentang juga enak.” Lunara manggut-manggut dan mengambil produk-produk yang disebut Nico. Sungguh, Slavia sangat terharu dengan kebersamaan mereka saat ini. Di luar, Rio baru saja selesai memarkirkan mobilny
“Tapi bukan tentang hubungan yang lebih pribadi, kamu tahu maksudku kan? Aku masih sibuk dengan dendam masa lalu di hidupku.” Raras mengangkat bahu. “Aku hanya lihat kalau Ardan itu tulus sayang sama anak kamu.” “Nggak apa-apa, kan kita semua bersahabat.” Raras tidak berkata apa pun lagi karena urusan asmara Slavia bukanlah wewenangnya, meski kadang dia merasa kasihan kepada Ardan yang seakan masih berharap terjadi keajaiban di antara mereka. “Apa Nico masih bergaul sama tante-tante itu, Mas?” Di rumah, Shara bertanya dengan nada menyelidik kepada Rio yang baru saja selesai mandi. “Tolong ganti pertanyaan itu.” “Memangnya pertanyaan aku ada yang salah?” Rio menatap istrinya dengan sangat serius. “Nico itu masih anak-anak, tapi cara kamu bertanya sudah seperti membicarakan anak remaja yang terjebak pergaulan bebas bersama tante-tante yang tidak jelas.” Shara tersenyum sedikit sinis. “Habisnya anak itu kelihatan akrab banget sama orang nggak dikenal, ngomong-ngomong kamu sudah
Seorang wanita melangkah anggun ke dalam resto sembari menenteng tas tangannya dengan elegan. “Mas, lihat apa sih?” tegur Shara yang tanpa sengaja menatap kebisuan Rio. “Ada yang kamu kenal di tempat ini?” Rio terperanjat dan buru-buru menggeleng. “Tidak ada kok.” Shara masih menatap Rio dengan curiga, tapi tidak melanjutkan omelannya. Dia jauh lebih penasaran dengan cita rasa yang diusung oleh restoran baru ini dibandingkan mengusik ketenangan Rio. Setelah menunggu agak lama, seorang pelayan muncul mengabarkan pesanan Shara. “Asyik, udang!” “Pelan-pelan makannya, Nic.” “Iya, Pa.” Perhatian Rio teralihkan sepenuhnya oleh tingkah Nico yang sedang menyantap udangnya dengan penuh semangat. “Enak nggak, Nic?” bisik Shara ingin tahu setelah pelayan tadi pergi. “Enak, Mama mau coba?” Shara mengangguk dan sefera mencomot sepotong udang goreng tepung yang dipesan khusus untuk Nico. “Lumayan, kamu nggak mau coba juga, Mas?” “Jangan, ini punya aku! Papa biar pesan sendiri, Ma!” “Pa
“Aku akan benar-benar muncul di hadapan kamu.” Slavia mengepalkan tangan, dia teringat dengan Nico yang sejak awal bertemu sama sekali tidak menolak kehadirannya. Mungkin itulah yang dinamakan ikatan batin antara seorang ibu dengan anaknya, dan Slavia sangat bahagia. “Luna!” Nico memanggil salah satu murid yang baru saja keluar dari ruang kelas yang ada di bimbel. “Sudah selesai belajarnya?” Lunara mengangguk. “Biasanya sih ibu sudah menjemput,” kata bocah perempuan itu. “Ibu datangnya sama ayah kamu, ya?” tanya Nico ingin tahu sambil mengajak Lunara duduk depan untuk menunggu jemputan. “Enggak, ayahku nggak serumah.” Lunara menggeleng. “Aku selalu dijemput ibuku.” “Nico!” Rio muncul sambil berjalan mendekat. “Ayo pulang.” Nico menoleh ke arah Lunara yang belum dijemput ibunya. “Kok kamu belum dijemput?” “Macet,” jawab Lunara polos. “Yah, aku mau temani Luna dulu ya? Kasihan dia belum dijemput tante ....” Rio mengamati keberadaan Lunara dengan lebih jelas. “Dia teman satu
“Jawab Mas, apa itu benar?” Rio tidak memiliki pilihan lain kecuali menjawab. “Aku berpikir begitu, aku hanya khawatir seandainya aku salah orang.” Wajah Shara terlihat tidak senang. “Terus mana dia? Kenapa nggak kamu ajak ke sini sekalian?” Rio menarik napas, dia sangat berharap jika Shara tidak menampik pertengkaran dengannya untuk sementara waktu. “Aku belum benar-benar yakin dia Via atau bukan,” ucap Rio dengan suara berat. “Tapi tadi aku dengar di telepon ....” “Aku memang minta Gunadi untuk mencari keberadaan Via,” kata Rio mengakui. “Apa?” “Aku tetap ingin Nico kenal ibu kandungnya, Ra.” “Itu nggak penting, Mas! Memangnya selama ini Via peduli sama Nico? Enggak kan?” Rio diam saja. “Bertahun-tahun Via memutuskan pergi dari kita semua, bahkan dengan sengaja memblokir kontak kita ... Dia akan semakin besar kepala kalau tahu kamu ingin mencari keberadaannya!” Rio enggan menanggapi karena dia tahu jika keributan besar akan membubung tinggi tidak lama lagi. “Bertahun-t
“Dia adalah rekan kerja Via,” pungkas Gunadi. “Orang suruhanku bilang kalau dia selalu stay di toko, kadang juga bepergian sama anak kecil yang sering terlihat sama Via.” Rio mengamati foto yang diperlihatkan Gunadi kepadanya, dia harus bertemu langsung dengan wanita itu. Beberapa hari berlalu .... Slavia meraih ponselnya yang sedari tadi terus berdering, diliriknya nama penelepon yang tertera di layar sebelum mengangkatnya. “Halo, Ras?” sapa Slavia kepada rekan sekaligus sahabatnya. “Pak Rio sudah mulai mencari kamu,” kata Raras terus terang. “Aku tentu saja kaget karena tidak mengira kalau kalian akan bertemu lagi secepat ini.” Slavia menarik napas. Setelah sekian tahun berlalu, kenapa baru sekarang Rio tergerak hatinya untuk mencari keberadaannya? “Tapi kamu nggak bilang ke Pak Rio kan kalau aku punya anak dari dia?” tanya Slavia memastikan. “Jangan sampai dia dan keluarganya Pak Rio tahu soal Luna, aku nggak mau anak aku direbut juga nantinya ....” “Aku paham maksud kamu, V
Sepertinya permainan akan semakin menarik, pikir Slavia sambil menahan senyum misteriusnya di ujung bibir. Pembalasan akan segera kamu dapatkan, Mas Rio. Dengan tenang, Slavia mendatangi Gunadi yang mengangguk singkat ke arahnya. “Pasti Mas Rio yang menyuruh kamu untuk menyelidiki aku, kan?” tanya Slavia begitu dia tiba di hadapan pria muda itu. “Aku hanya menjalankan perintah saja, Vi.” Gunadi beralasan. “Apa yang diinginkan rekan bisnis kamu?” tanya Slavia lagi. “Setahu aku, aku sudah nggak ada urusan lagi sama Rio. Jadi buat apa dia menyuruh kamu menyelidiki aku? Apa dia khawatir aku sempat mengambil harta bendanya yang ada di rumah itu?” “Bukan begitu, Vi. Aku hanya mau menyampaikan pesan,” ujar Gunadi dengan nada biasa. “Kamu nggak perlu khawatir ...” “Apa yang Mas Rio inginkan?” potong Slavia tegas. “Mantan suami kamu minta untuk bertemu,” jawab Gunadi. “Aku rasa dia ingin membahas permasalahan yang terjadi di masa lalu.” Slavia menunjukkan sikap seakan dia tidak ingin la
Tiba-tiba ponsel Slavia berdering. “Halo, Ras?” “Aku lagi di resto nih, coba tebak siapa yang datang!” Di sebuah restoran yang belum lama ini dibuka, riuhnya para pengunjung yang antre makanan diskon seolah menyambut kedatangan Rio sekeluarga. “Mas, kalau begini caranya sama saja dengan kita mempercepat bangkrutnya restoran kita sendiri!” celetuk Shara kesal. “Kenapa kita nggak makan di resto sendiri sih?” “Hati-hati kamu kalau bicara,” tukas Rio tidak senang. “Aku masih ingin menginvestigasi rasa masakan di sini, biar aku tahu apa yang jadi daya tarik restoran baru ini—rasa yang berkualitas atau demi potongan harga semata.” Shara mendengus pelan, dia dan Rio memang seringkali berbeda pendapat. “Kalian mau makan apa?” tanya Shara setelah mereka mendapatkan meja. “Aku mau udang goreng tepung lagi, Ma!” “Oke, Mas Rio apa?” “Cah kangkung dan ikan goreng saja.” Shara mengangguk. “Minumnya apa?” “Es jeruk, dan es susu cokelat untuk Nico. Kamu sendiri pesan apa?” “Nasi goreng saj