“Jangan bilang yang Kakak maksud adalah Aldo?” Desy bertanya pada Evan. “Apa benar Aldo juga menginap di penginapan ini?” Dia merasa bersemangat saat membahas tentang Aldo.“Siapa lagi kalau bukan dia? Otak mesum yang pecundang itu,” Evan menjawab tanpa menoleh ke arah Desy. Dia masih asyik melahap nasi goreng buatan Desy.“Kakak! Jangan sebut dia pecundang. Dia akan menjadi adik ipar Kakak. Kalian harus akur,” protes Desy.“Kenapa aku tidak boleh memanggilnya pecundang? Sampai sekarang dia belum menghubungi Kakak untuk meminta restu,” ujar Evan.“Jadi Kakak akan merestui kami?” Desy berteriak girang.“Siapa bilang? Aku hanya akan merestuinya jika dia berusaha keras dan berhasil meluluhkan hatiku.” Evan menjawab asal.“Kenapa hati Kakak seperti batu? Kakak harus sedikit melunakkan hati Kakak. Aldo adalah laki-laki yang baik dan berkualitas. Kakak akan menyesal jika melewatkan dia,” rengek Desy. Dia menangkupkan kedua tangan di depan dada, memohon kepada Evan.“Terserah kamu,” ujar Eva
Deon duduk di ruang kerjanya yang menghadap ke jendela besar. Dari jendela itu dia bisa melihat butik Melani dengan jelas. Dia terus menunggu, tetapi Melani tidak kunjung datang ke butik itu.Deon mengambil ponsel yang dia letakkan di atas meja, menelepon seseorang. “Savira, apa hari ini Melani tidak datang ke butik?” tanyanya pada orang kepercayaan yang bertugas menjadi asisten pribadi untuk membantu Melani mengelola butik.“Tadi Nyonya Melani izin berangkat agak siang, Tuan. Sepertinya ada urusan penting yang membuatnya datang terlambat ke butik,” jawab Savira.“Urusan penting? Urusan penting apa itu?” Deon bertanya penasaran.“Saya juga tidak tahu, Tuan. Nyonya Melani tidak mengatakannya,” ujar Savira. “Nyonya Melani hanya meminta izin dan menitipkan butik kepadaku,” lanjutnya menjelaskan.“Baiklah. Lakukan pekerjaanmu dengan baik. Aku akan menghubungimu lagi nanti,” ucap Deon tegas, lalu menutup telepon.Deon mengetuk-ngetukkan jemarinya di atas meja. Dia sedang berpikir keras. Se
"Tolong!" Nafisa berteriak kencang, tetapi tangan seseorang segera membungkam mulutnya. Seorang wanita yang tidak dikenal menggendong Nafisa secara paksa ke luar dari gedung sekolah. Wanita itu memakai pakaian yang berwarna serba hitam. Saat hendak memasukkan Nafisa ke dalam mobil, tiba-tiba sebuah tangan menarik tubuhnya."Papa Deon!" Nafisa berteriak memanggil nama lelaki yang selalu menjadi penyelamatnya. "Berikan anak itu kepadaku," ucap Deon pada wanita yang hampir saja Menculik Nafisa. Deon mengulurkan tangan hendak merebut Nafisa dari tangan wanita asing itu, tetapi dengan cepat wanita itu melarikan diri. Dia berlari menjauh dengan menggendong Nafisa.Deon bergerak cepat mengejar wanita itu. Namun, saat sampai di persimpangan, dia kehilangan wanita itu.Deon berlari kembali masuk ke dalam mobil dan melajukan mobil cepat mengelilingi area sekitar sekolah. Tatapan matanya menyusuri setiap jalan. Namun, wanita itu tidak juga terlihat."Aldo, kamu harus ke sini sekarang! Bantu
“Jawab aku, Melani. Memangnya kamu pelayan suamimu? Kenapa memanggilnya seperti itu? Apa dia yang menyuruhmu memanggilnya seperti itu? Apa selama ini dia memperlakukanmu seperti pelayan?” Nenek Karmila memberondong Melani dengan pertanyaan.“Bukan begitu, Nek. Aku hanya salah menyebutnya saja. Selama ini suamiku memperlakukanku dengan sangat baik.” Melani mencoba menjelaskan.“Tidak, tidak. Aku tidak akan mempercayai ucapanmu begitu saja. Sekarang, ayo ikut aku. Kita buktikan semuanya.” Nenek Karmila berjalan dan menyeret Melani masuk ke dalam mobil.Sementara di tempat lain, Deon dan Aldo telah menemukan rekaman CCTV yang memperlihatkan penculikan Nafisa. Mereka melihat seorang wanita yang membawa Nafisa masuk ke dalam sebuah mobil.“Catat nomor polisi mobil itu, Aldo. Dari nomor polisi itu, kita bisa melacak keberadaan mobil itu saat ini.” Deon memberi perintah pada Aldo. Mereka meminta izin pada petugas keamanan untuk mendapatkan salinan CCTV sebagai barang bukti yang bisa diberika
Melani dan Nenek Karmila telah sampai di gedung sekolah Nafisa, tetapi mereka tidak menemukan Deon atau siapa pun di sana.“Kamu lihat, ‘kan, sekarang? Dia telah menipumu. Dia menjebakmu ke sini agar dia bisa menyembunyikan Nafisa di rumahnya.” Nenek Karmila terus saja mengomel.“Kenapa Nenek terus berpikiran buruk tentang suamiku? Jika Nenek tidak bisa membantuku menemukan Nafisa, sebaiknya Nenek pulang saja. Biar aku menunggu sendirian di sini,” ujar Melani. Dia tidak suka mendengar Nenek Karmila menjelekkan suaminya, meski dia tidak yakin dengan nasib pernikahannya dengan Deon pada akhirnya.Nenek Karmila akhirnya memilih untuk diam dan terus menemani Melani di sana meski dia sudah merasa lelah.Tidak lama, Deon memberi kabar pada Melani untuk segera ke kantor polisi. Dia meminta maaf karena tidak bisa menemui Melani di gedung sekolah Nafisa.Melani sampai di kantor polisi dan melihat Deon sedang menggendong Nafisa. Dia berlari menghampiri Nafisa sambil tersenyum lega.“Kamu ke man
"Jadi siapa wanita yang menculik dan berusaha melenyapkan Nafisa? Punya dendam apa dia kepadaku?" Melani kembali bertanya karena Deon tidak kunjung menjawab.Deon baru saja membuka mulut. Namun, kehadiran Nenek Karmila membuatnya urung berbicara."Ayo Melani, kita pulang!" ujar Nenek Karmila seraya menarik lengan Melani.Melani dan Deon masuk ke mobil yang berbeda sebelum Deon menjawab pertanyaan Melani."Kita kembali ke penginapan, Aldo!" titah Deon pada Aldo. Mereka kembali memakai atribut penyamaran mereka. Deon dengan topi dan kacamata hitamnya, dan Aldo dengan kumis dan jenggot palsunya."Untung saja, Nenek Karmila tidak mengenali kita," ucap Deon bernapas lega. Mereka sampai di penginapan lima belas menit setelah mobil Nenek Karmila terparkir di garasi rumah. Mereka tidak sempat bertemu.Saat hendak masuk ke penginapan, Deon menghampiri Evan yang sedang duduk bersantai di teras penginapan. Matanya tajam menatap Evan.Aldo mengekor di belakang Deon. Dia juga mengikuti cara Deon m
Nenek Karmila memiliki rutinitas berkebun di taman setiap sore. Evan yang melihat itu mulai mendekatinya."Hai, Nenek! Terima kasih sudah membelaku di hadapan dua orang gak jelas tadi." Evan berbasa-basi.Nenek Karmila tidak mengacuhkan kedatangan Evan. Dia tidak menghentikan aktivitasnya memotong daun-daun dan dahan di kebunnya. Hatinya masih kacau setelah tahu jika kakek tua yang disukainya ternyata adalah anak buah Deon yang sedang menyamar. "Bolehkah aku mebantumu, Nek?" Tanpa diminta, Evan membantu Nenek Karmila mencabuti rumput dan tanaman liar yang tumbuh di antara tanaman bunga yang indah."Bunga ini sangat cantik sepertimu, Nenek," rayu Evan. Dia berusaha keras mengambil hati Nenek Karmila."Benarkah?" Diluar dugaan, kali ini Nenek Karmila menyambut gombalan Evan. Dia menatap Evan dengan mata berbinar dan pipi memerah."Tentu saja, Nek. Aku tidak bohong. Nenek masih terlihat sangat cantik seperti bunga-bunga ini," ujar Evan seraya menunjuk ke arah bunga yang ada di depannya.
"Siapa tamu yang sedang menemui cucu Nenek?" Evan terus menatap ke arah ruang tamu. Dia merasa penasaran dengan tamu yang sedang datang untuk menemui Melani. Jangan-jangan Deon atau Aldo?"Apa Nenek tidak ingin menemui mereka juga? Jangan sampai mereka melakukan hal yang buruk pada cucu Nenek," ujar Evan terlihat khawatir."Kamu benar-benar menyukai cucuku?" Nenek Karmila menatap Evan dengan tatapan yang begitu mengerikan hingga membuat Evan ketakutan."Jangan salah paham, Nek. Aku tidak menyukai cucumu." Evan berkata terbata-bata. Dia tidak ingin Nenek Karmila mengetahui perasaannya pada Melani. Dia masih harus menunggu saat yang tepat.Nenek Karmila tersenyum senang. "Baguslah kalau begitu. Cucuku sudah punya suami. Di rumah ini, aku yang masih single." Dia tersenyum menatap Evan. Evan mengerutkan kening. Dia tidak bisa memahami sikap dan ucapan nenek tua di hadapannya itu. Memangnya kenapa jika nenek tua itu single? Itu sama sekali tidak penting. "Lalu di mana cucu menantu Nenek