"Jadi siapa wanita yang menculik dan berusaha melenyapkan Nafisa? Punya dendam apa dia kepadaku?" Melani kembali bertanya karena Deon tidak kunjung menjawab.Deon baru saja membuka mulut. Namun, kehadiran Nenek Karmila membuatnya urung berbicara."Ayo Melani, kita pulang!" ujar Nenek Karmila seraya menarik lengan Melani.Melani dan Deon masuk ke mobil yang berbeda sebelum Deon menjawab pertanyaan Melani."Kita kembali ke penginapan, Aldo!" titah Deon pada Aldo. Mereka kembali memakai atribut penyamaran mereka. Deon dengan topi dan kacamata hitamnya, dan Aldo dengan kumis dan jenggot palsunya."Untung saja, Nenek Karmila tidak mengenali kita," ucap Deon bernapas lega. Mereka sampai di penginapan lima belas menit setelah mobil Nenek Karmila terparkir di garasi rumah. Mereka tidak sempat bertemu.Saat hendak masuk ke penginapan, Deon menghampiri Evan yang sedang duduk bersantai di teras penginapan. Matanya tajam menatap Evan.Aldo mengekor di belakang Deon. Dia juga mengikuti cara Deon m
Nenek Karmila memiliki rutinitas berkebun di taman setiap sore. Evan yang melihat itu mulai mendekatinya."Hai, Nenek! Terima kasih sudah membelaku di hadapan dua orang gak jelas tadi." Evan berbasa-basi.Nenek Karmila tidak mengacuhkan kedatangan Evan. Dia tidak menghentikan aktivitasnya memotong daun-daun dan dahan di kebunnya. Hatinya masih kacau setelah tahu jika kakek tua yang disukainya ternyata adalah anak buah Deon yang sedang menyamar. "Bolehkah aku mebantumu, Nek?" Tanpa diminta, Evan membantu Nenek Karmila mencabuti rumput dan tanaman liar yang tumbuh di antara tanaman bunga yang indah."Bunga ini sangat cantik sepertimu, Nenek," rayu Evan. Dia berusaha keras mengambil hati Nenek Karmila."Benarkah?" Diluar dugaan, kali ini Nenek Karmila menyambut gombalan Evan. Dia menatap Evan dengan mata berbinar dan pipi memerah."Tentu saja, Nek. Aku tidak bohong. Nenek masih terlihat sangat cantik seperti bunga-bunga ini," ujar Evan seraya menunjuk ke arah bunga yang ada di depannya.
"Siapa tamu yang sedang menemui cucu Nenek?" Evan terus menatap ke arah ruang tamu. Dia merasa penasaran dengan tamu yang sedang datang untuk menemui Melani. Jangan-jangan Deon atau Aldo?"Apa Nenek tidak ingin menemui mereka juga? Jangan sampai mereka melakukan hal yang buruk pada cucu Nenek," ujar Evan terlihat khawatir."Kamu benar-benar menyukai cucuku?" Nenek Karmila menatap Evan dengan tatapan yang begitu mengerikan hingga membuat Evan ketakutan."Jangan salah paham, Nek. Aku tidak menyukai cucumu." Evan berkata terbata-bata. Dia tidak ingin Nenek Karmila mengetahui perasaannya pada Melani. Dia masih harus menunggu saat yang tepat.Nenek Karmila tersenyum senang. "Baguslah kalau begitu. Cucuku sudah punya suami. Di rumah ini, aku yang masih single." Dia tersenyum menatap Evan. Evan mengerutkan kening. Dia tidak bisa memahami sikap dan ucapan nenek tua di hadapannya itu. Memangnya kenapa jika nenek tua itu single? Itu sama sekali tidak penting. "Lalu di mana cucu menantu Nenek
"Ayo, Melani. Katakanlah kamu masih mencintaiku. Katakanlah kamu ingin aku membatalkan pernikahanku dengan Bonita," mohon Johan."Kamu masih mencintaiku, 'kan? Kamu menginginkan kita rujuk kembali, 'kan?" Dia menatap lekat Melani, berharap Melani mengiyakan pertanyaannya.Melani tersenyun sangat lebar. Dia menggeleng-gelengkan kepala dan menatap tajam Johan, lalu berkata yakin, "Kamu salah, Mas. Justru aku yang paling menginginkan pernikahan kalian. Sejak mengetahui hubunganmu dengan Bonita, aku sudah berusaha ikhlas melepasmu.""Kumohon, Melani. Sebelum semuanya terlambat. Aku ingin memperbaiki hubungan kita. Aku akan meninggalkan Bonita dan kita bisa kembali seperti dulu." Johan berusaha menggenggam jemari Melani, tapi Melani menepisnya dengan kasar.Bonita mengoceh sambil berjalan ke luar rumah. Sepanjang jalan, dia terkagum-kagum mengamati kemegahan rumah Nenek Karmila. Rumah Nenek Janet sangatlah luas. Bangunan rumah ini berpuluh kali lipat lebih besar dibandingkan bangunan ruma
"Pergi dari hadapanku. Aku tidak punya waktu untuk menanggapi kalian!" Evan mendorong tubuh Deon dan Aldo. Dia berjalan terburu-buru menuju penginapan.Deon dan Aldo kembali menghadang Evan. Kali ini Deon tidak bisa menahan emosi. Dia melayangkan tangan ke wajah Evan hingga menimbulkan memar kemerahan di bibir Evan.Evan tersenyum miring. Dia mengusap darah yang menetes di ujung bibirnya. Dia menatap lantang Deon, lalu berkata, "Kamu memang memiliki hak untuk melarangku menemui Melani, tapi kamu tidak memiliki hak untuk melarangku pergi ke rumah Nenek Kamila. Asal kamu tahu, Nenek Karmila sendiri yang mengundangku untuk makan malam di rumahnya." Dia tersenyum puas."Berhentilah bermain-main denganku." Deon mengepalkan tangan kuat. "Dari pada terus bermain-main di tempat ini. Sebaiknya kamu pergi ke kantor polisi dan menemui tunanganmu di sana. Vina Elrisa Ariani adalah tunanganmu, 'kan?" Dia berkata penjang lebar.Evan membuka mata lebar. Meski Vina tidak lagi menjadi tunangannya, dia
"Jadi bagaimana? Bisakah kamu menemui Vina di kantor polisi? Aku ingin tahu info yang kudapatkan benar-benar valid atau tidak. Aku juga ingin kamu menasehati Vina agar bisa menerima keputusanku dan tidak mengganggu Melani lagi." Evan berkata panjang lebar. Dia meletakkan kotak makannya yang telah kosong di atas meja.Desy menggeleng-gelengkan kepala. "Kenapa tidak Kakak saja yang menemui dia? Sejak Kakak memutuskan hubungan denganny, dia berubah menjadi wanita yang menakutkan. Kurasa kabar itu benar," ujarnya seraya bergidik ngeri mengingat kelakuan Vina yang sering menerornya."Ternyata bukan hanya aku yang mendapatkan teror dari Kak Vina. Kasihan Melani dan Nafisa yang malang." Vina menatap tajam Evan. "Kakak harus bertanggung jawab. Selesaikan urusan Kakak dengan Kak Vina," ketusnya."Ayolah Desy. Aku butuh bantuanmu. Aku tidak mungkin datang menemui Vina. Kamu tahu sendiri, 'kan, bagaimana Vina saat bertemu denganku? Aku sangat risih karena dia terus mengejarku," bujuk Evan.Desy
"Aku tahu selama ini kamu dekat dengan Melani. Kamu mau menyampaikan maafku kepadanya?" Vina berbicara dengan Desy di ruang jenguk tahanan.Desy tidak tahu harus menjawab apa. Dia hanya diam dan menatap iba Vina yang memakai baju tahanan. Vina meletakkan jemarinya di atas jemari Desy. Dia berkata, "Aku meneleponmu untuk meminta bantuanmu. Aku benar-benar membutuhkan bantuanmu saat ini. Kamu tahu, sangat berat hidup di tahanan ini. Aku takut, Desy. Aku sangat takut. Aku meminta bantuanmu untuk bicara pada Melani. Tolong bujuk dia agar mau mencabut kasus ini dan mengambil jalan damai. Aku bersedia membayar berapa pun asalkan mereka tidak mengurungku di sini." Netranya berkaca-kaca. Desy tidak tega melihat Vina yang mengiba. Terpaksa dia menganggukkan kepala. "Baiklah, Kak. Aku akan membujuk Melani. Tapi aku juga minta tolong pada Kakak. Bisakah Kakak berjanji untuk tidak mengganggu kehidupan Melani lagi?" mohonnya."Kak Evan mungkin menyukai Melani. Tapi Melani tidak pernah sekali pun
"Bagaimana ceritanya wanita itu dibebaskan? Aku tidak ingin dia membahayakan istri dan anakku lagi jika sampai dia berkeliaran di luar," ujar Deon pada polisi yang sedang bertugas. Dia pergi ke kantor polisi begitu mendengar pelaku penculikan dan percobaan pembunuhan terhadap Nafisa telah dibebaskan."Aku tidak bisa menerima ini, Pak. Dia bisa membahayakan anak dan istriku lagi. Bagaimana pelaku kejahatan akan jera jika dia dibebaskan dengan mudah? Dia bisa mengulangi kejahatannya kapan saja," protes Deon."Tapi, Pak. Istri Bapak sendiri yang meminta agar tersangka dibebaskan." Salah seorang polisi memberi penjelasan. "Kami tidak bisa berbuat apa-apa jika korban sudah mencabut laporannya," ujarnya."Apa? Istriku melakukannya?" Deon merasa frustasi. Dia meninggalkan kantor kepolisian dan pergi menuju rumah Nenek Karmila. Bagaimanapun, Melani harus menjelaskan semua ini.Melani sedang berada di sebuah cafe bersama Desy dan Vina. Mereka pergi ke cafe tersebut begitu Vina keluar dari taha