"Bertahanlah, Melani. Kamu harus bertahan." Beberapa perawat membantu memindahkan Melani ke brankar pasien rumah sakit dan mendorongnya masuk ke ruang ICU. Deon berlari mengikuti mereka dan menatap panik Melani. "Sebaiknya Anda tunggu di sini dulu, Pak. Kami akan memeriksa pasien terlebih dahulu." Seorang perawat menghalangi saat Deon hendak mengikuti mereka masuk ke dalam ruangan ICU. Di saat Melani sedang ditangani di ruangan ICU, Aldo sedang menjaga Desy di ruangan lainnya. Untung saja tidak ada hal serius yang menimpa Desy. Dia hanya pingsan karena terkejut saat melihat kayu besar jatuh di depan matanya. Aldo terus menunggu untuk memastikan Desy benar baik-baik saja. Saat Desy mulai menggerakkan jari dan membuka mata, secepat kilat Aldo berlari keluar ruangan tempat Desy dirawat. Desy mengucek-ucek matanya. "Aku sepertu melihat seseorang, tapi kenapa tidak ada siapa-siapa?" gumamnya lirih. "Di mana aku?" Desy melihat sekeliling dan merasa bingung. Dia baru ingat tentang kejad
"Bagaimana keadaan istri saya, Dokter? Apa dia baik-baik saja?" Deon mengulangi pertanyaannya pada dokter yang bertugas memeriksa Melani. Dokter tampan itu tersenyum lembut. "Tenanglah, Pak. Istri Anda baik-baik saja. Anda harus bersyukur karena kebakaran itu tidak sampai membuat istri Anda mengalami luka bakar serius ataupun mengalami trauma inhalasi. Anda telah menyelamatkannya tepat waktu." Dokter itu menjelaskan panjang lebar. Deon tersenyum lega setelah mendengarkan penjelasan dari dokter. Akhirnya kekhawatirannya tidak terjadi. "Bolehkah saya menemui istri saya?" tanyanya. Aldo yang sejak tadi menemani Deon meski mendapatkan amarah, ikut tersenyum lega. Untung saja tidak terjadi sesuatu pada Melani. Jika tidak, dia harus siap-siap menerima kemarahan yang lebih besar lagi dari bosnya itu. *** "Aku mau pulang!" Melani berusaha mengangkat tubuhnya. Sekarang dia sudah berada di ruang perawatan ditemani oleh Deon dan Aldo. Deon menahan tubuh M
"Desy baik-baik saja, Nyonya. Benar apa yang dikatakan Tuan Deon. Dia hanya pingsan saja. Namun, saat ini dia sudah sadarkan diri. Dokter hanya menyuruhnya beristirahat sebentar dan besok sudah boleh pulang." Aldo menjelaskan panjang lebar untuk menenangkan istri bosnya. Selain itu, dia berharap Melani tidak jadi memintanya pergi ke ruangan Desy. Dia sedang tidak ingin bertemu dengan wanita itu. "Aku ingin kamu tetap pergi ke ruangan adik psikopat itu. Karena dia sudah berusaha menolong istriku, aku ingin memberikan imbalan yang pantas untuknya. Pastikan dia berada di ruangan yang nyaman tanpa kekuarangan apapun, dan sampaikan undangan makan malam untuknya besok malam." Kali ini Deon yang bersuara lantang. Aldo tercekat. Kali ini perintah untuk pergi ke ruangan Desy tidak hanya datang dari istri bosnya, tetapi datang langsung dari mulut bosnya. Mau tidak mau, dia harus menjalankan perintah itu. Padahal, dia ingin menghindari Desy. Bagaimana ini? "Baik, Tuan. Saya akan pergi ke ruang
Aldo kembali mengetuk pintu ruang inap Desy. Dia harus tahu dengan apa yang dimaksud Evan tadi. 'Bertanggungjawab? Sebenarnya apa yang dibicarakan lelaki psikopat itu?' Dia bertanya-tanya dalam hati. Aldo terus mengetuk pintu, tetapi Evan dan Desy tidak mau membukakan pintunya. "Kak Evan, tolong buka pintunya. Aku ingin berbicara kepadamu." Akhirnya Aldo mengalah dengan merendahkan suaranya dan memanggil Evan dengan sebutan "kakak". "Kamu benar-benar ingin berbicara baik-baik kepadaku?" Tiba-tiba Evan membuka pintunya dan tersenyum kepada Aldo. "Baiklah, mari kita bicara," ujarnya sigap. Aldo hendak masuk ke dalam ruang inap Desy, tetapi Evan menahannya. "Kita bicara di luar saja," ucapnya. "Desy, kamu tunggu di sini. Kakak akan bicara dengan Aldo sebentar." Dia berjalan ke luar menyusuri koridor rumah sakit diikuti Aldo di belakangnya. Desy menatap Aldo dan kakaknya dengan khawatir. Dia sangat paham jika kakaknya memiliki emosi yang tidak stabil. Bagaimana jika
"Tunggu!" teriak Evan menghentikan Aldo yang hendak berjalan meninggalkan kantin rumah sakit. "Apa lagi? Apa kamu berubah pikiran?" Aldo menghentikan langkahnya dan berbalik. Dia berharap Evan berubah pikiran dan mau menjawab pertanyaannya. "Sekarang juga jawablah pertanyaanku. Apa yang kamu maksud dengan mencari laki-laki yang bertanggungjawab untuk Desy? Memangnya apa yang terjadi pada Desy?" tanyanya ingin tahu. Evan tersenyum menyeringai. "Jangan bermimpi! Jika kamu memang benar-benar menginginkan jawaban dariku, maka kamu harus menjalankan syarat yang aku berikan tadi!" "Lalu kenapa kamu memanggil dan menghentikanku saat aku sudah mau pergi?" Aldo berteriak geram dan geregetan. Evan kembali tersenyum. "Aku memanggil dan menghentikanmu karena kamu harus membayar semua ini." Dia menunjuk ke arah meja yang penuh dengan piring dan mangkuk kosong bekas makanan dan minumannya. Dia segera berdiri dan mendahului Aldo pergi dari kantin rumah sakit itu. "Apa? Dia yang makan kenapa aku
"Desy hamil?" Aldo berjalan mondar-mandir di lorong rumah sakit. "Jadi itu maksud Evan? Dia ingin mencari laki-laki yang mau bertanggung jawab dan menjadi ayah dari bayi di kandungan Desy?" Aldo melihat Evan keluar dari kamar rawat Desy. Dia menyembunyikan diri di balik tembok agar Evan tidak melihatnya. Saat memastikan Evan telah meninggalkan kamar Desy, Aldo berjalan pelan masuk ke kamar rawat Desy. "Apa yang kamu lakukan? Kenapa tiba-tiba kamu masuk ke kamarku?" Desy yang sedang berbaring segera berdiri dan berteriak melihat Aldo yang masuk tanpa mengetuk pintu. "Berbaringlah, Desy! Jangan terlalu banyak bergerak. Tetaplah di tempat tidurmu." Aldo membaringkan tubuh Desy kembali. Dia menatap Desy khawatir dan bertanya, "Apa yang kamu rasakan sekarang? Apa kamu baik-baik saja?" "Apa yang kamu katakan? Memangnya aku sakit? Aku baik-baik saja sejak kemarin." Desy menatap Aldo seraya mengerutkan kening tidak mengerti. "Siang ini aku juga akan pulang ke rumah. Jadi kamu tidak perlu
"Maafkan aku, Desy. Siang ini aku harus mengantar Nyonya Melani pulang. Kamu tidak apa-apa, 'kan, jika di sini sebentar? Tenang, aku hanya sebentar saja. Setelah mengantar Nyonya Melani, aku akan segera kembali ke sini." Aldo berkata panjang lebar sambil membuka bungkusan berisi sandwich sayur. Dia memberikan sandwich itu kepada Desy. "Makanlah. Kamu harus makan makanan sehat," lanjutnya. Desy menerima sandwich pemberian Aldo dan segera memakannya dengan lahap. Dia menggeleng-gelengkan kepala. "Tidak bisa! Aku tidak mau sendirian di sini. Aku akan ikut bersama kalian," ujar Desy setelah mengunyah dan menelan gigitan pertama sandwichnya. "Apa? Maksudmu kamu mau ikut aku mengantar Nyonya Melani?" Aldo membuka mata lebar. "Tidak! Tidak." Dia menggeleng-gelengkan kepala. "Kamu harus beristirahat, Desy. Apa kamu tidak mendengarkan perkataan dokter? Dokter menyarankan kamu untuk beristirahat total," ujarnya menjelaskan. "Kapan dokter mengatakan itu?" Desy mengerutkan kening tidak mengerti
"Kamu masih bertanya? Apa kamu pura-pura tidak tahu? Atau kamu sengaja menyembunyikan sesuatu dariku?" Aldo bertanya balik kepada Desy. "Menyembunyikan sesuatu? Kamu ini bicara apa? Aku tidak merasa menyembunyikan apapun darimu." Desy mengerutkan kening tidak mengerti. "Sudahlah, Desy. Berhenti menyembunyikannya dariku. Aku sudah mengetahui semuanya." Aldo tersenyum penuh kemenangan. "Ish! Dasar tidak jelas." Desy mencebik. Dia melangkah hendak menjauh dari Aldo, tetapi Aldo menahannya. "Apa kamu sedang berusaha membohongiku? Jangan coba-coba menutupi sesuatu dariku, Desy. Kamu tidak akan bisa melakukannya," ucap Aldo seraya menatap tajam Desy. "Sekarang kamu menuduhku sebagai pembohong?" Desy melebarkan mata tidak percaya. "Bicaralah dengan jelas! Jika tidak bisa bicara, lebih baik kamu pergi dari sini. Aku tidak pernah berbohong atau menutupi sesuatu darimu." Desy berusaha menepis tangan Aldo, tetapi dia malah tersandung dan terjatuh ke pelukan Aldo. Desy dan Aldo saling bertat