"Maafkan aku, Desy. Siang ini aku harus mengantar Nyonya Melani pulang. Kamu tidak apa-apa, 'kan, jika di sini sebentar? Tenang, aku hanya sebentar saja. Setelah mengantar Nyonya Melani, aku akan segera kembali ke sini." Aldo berkata panjang lebar sambil membuka bungkusan berisi sandwich sayur. Dia memberikan sandwich itu kepada Desy. "Makanlah. Kamu harus makan makanan sehat," lanjutnya. Desy menerima sandwich pemberian Aldo dan segera memakannya dengan lahap. Dia menggeleng-gelengkan kepala. "Tidak bisa! Aku tidak mau sendirian di sini. Aku akan ikut bersama kalian," ujar Desy setelah mengunyah dan menelan gigitan pertama sandwichnya. "Apa? Maksudmu kamu mau ikut aku mengantar Nyonya Melani?" Aldo membuka mata lebar. "Tidak! Tidak." Dia menggeleng-gelengkan kepala. "Kamu harus beristirahat, Desy. Apa kamu tidak mendengarkan perkataan dokter? Dokter menyarankan kamu untuk beristirahat total," ujarnya menjelaskan. "Kapan dokter mengatakan itu?" Desy mengerutkan kening tidak mengerti
"Kamu masih bertanya? Apa kamu pura-pura tidak tahu? Atau kamu sengaja menyembunyikan sesuatu dariku?" Aldo bertanya balik kepada Desy. "Menyembunyikan sesuatu? Kamu ini bicara apa? Aku tidak merasa menyembunyikan apapun darimu." Desy mengerutkan kening tidak mengerti. "Sudahlah, Desy. Berhenti menyembunyikannya dariku. Aku sudah mengetahui semuanya." Aldo tersenyum penuh kemenangan. "Ish! Dasar tidak jelas." Desy mencebik. Dia melangkah hendak menjauh dari Aldo, tetapi Aldo menahannya. "Apa kamu sedang berusaha membohongiku? Jangan coba-coba menutupi sesuatu dariku, Desy. Kamu tidak akan bisa melakukannya," ucap Aldo seraya menatap tajam Desy. "Sekarang kamu menuduhku sebagai pembohong?" Desy melebarkan mata tidak percaya. "Bicaralah dengan jelas! Jika tidak bisa bicara, lebih baik kamu pergi dari sini. Aku tidak pernah berbohong atau menutupi sesuatu darimu." Desy berusaha menepis tangan Aldo, tetapi dia malah tersandung dan terjatuh ke pelukan Aldo. Desy dan Aldo saling bertat
"Hey, aku hanya ingin memperhatikanmu. Apa aku terlihat posesif?" protes Aldo. "Sudah seharusnya aku memperhatikan kesehatanmu. Ayolah, cepat pergi ke kamarmu dan beristirahat. Aku harus segera mengantar Nyonya Melani." Aldo menggandeng tangan Desy menuju ke kamarnya. "Lepaskan tanganku!" Desy menepis tangan Aldo. "Siapa yang mau terus-terusan berada di kamar itu? Aku merasa bosan. Aku mau pulang saja," ucapnya seraya mengerucutkan bibir. "Kenapa kamu keras kepala sekali." Aldo menghembuskan napas panjang. Dia terlihat mulai kesal. "Kalau kamu bosan di dalam kamar, aku akan mengantarkanmu jalan-jalan di taman. Kamu bersabarlah sebentar. Aku antar Nyonya Melani dulu, lalu kita jalan-jalan, oke?" bujuk Aldo kepada Desy. "Sudah kubilang, aku mau pulang sekarang. Kenapa kamu terus memaksaku untuk tetap di sini?" gerutu Desy kesal. Dia juga mulai jengkel dengan tingkah Aldo yang aneh dan tidak seperti biasanya. "Ini demi kesehatanmu, Desy. Aku tidak ingin terjadi sesuatu kepadamu," buj
"Tunggu apa lagi? Pergilah dan bertanya pada dokter. Kamu harus memastikan semuanya," titah Melani pada Aldo. "Baik, Nyonya." Aldo yang sedang bengong mendadak membalikkan badan dan siap melaksanakan perintah Melani. Dia melangkah ke luar kamar. "Tunggu!" teriak Melani menghentikan langkah Aldo. "Ada apa lagi, Nyonya?" Aldo kembali berbalik dan bertanya. "Biarkan Desy ikut bersamamu. Kurasa Desy juga perlu bertemu dengan dokternya," ujar Melani. Dia menatap Desy dengan mengedipkan mata, memberi kode agar Desy segera mengikuti Deon. "Baik, Nyonya." Aldo melirik Desy. "Ayo ikut denganku, Nona Desy," ucapnya. "Dia masih belum benar-benar pulih. Jaga dia. Jangan sampai dia kenapa-kenapa," pesan Melani. Aldo menggandeng Desy dan menuntunnya pelan menuju ke ruangan dokter. "Kamu mengadu pada Nyonya Melani?" tanyanya dengan suara lirih. Meski suara Aldo sangat pelan, Desy bisa mendengarnya dengan sangat jelas. Itu karena jarak mereka sekarang sangat dekat. Aldo seperti sedang berbi
"Apa kamu mengharapkan aku mengungkapkan cinta kepadamu?" Aldo bertanya seraya tersenyum mengejek. "Bilang saja, kamu memang menyukaiku. Aku tahu tanpa kamu mengatakannya kepadaku." Desy berkata penuh percaya diri. "Jadi kamu pikir perhatianku adalah karena aku menyukaimu?" Aldo bertanya, lalu tertawa memperlihatkan deretan giginya yang putih. "Tentu saja. Apa lagi?" Desy mengangkat kedua alisnya. "No no no. Jangan terlalu percaya diri, Nona. Aku bukan bermaksud untuk memberi perhatian kepadamu. Aku hanya peduli dengan calon anakku," ucap Aldo penuh keyakinan. "Calon anakmu?" Desy mengerutkan kening tidak mengerti. "Siapa yang kamu maksud dengan calon anakmu?" tanyanya memastikan. "Tentu saja bayi yang ada di dalam kandunganmu. Siapa lagi?" jawab Aldo. "Aku mengira kamu hamil. Bukankah jika kamu hamil itu artinya bayi itu adalah anakku?" "Kenapa kamu begitu yakin?" Desy menyipitkan mata menatap Aldo. "Apa kamu benar-benar melupakan malam itu?" Aldo mendekatkan wajahnya dan be
Aldo membawakan barang-barang milik Desy. Mereka berdua berjalan menyusuri koridor rumah sakit dan ke luar menuju parkiran mobil. "Kamu tunggu di sini. Aku akan menemui Nyonya Melani lebih dulu," ucap Aldo seraya memasukkan barang-barang Desy ke dalam bagasi mobil. Aldo segera membuka pintu untuk Desy. "Masuklah," ucapnya. Dia tersenyum lembut pada Desy. "Jaga dirimu baik-baik. Aku akan segera kembali." Dia menutup pintu mobil, lalu bergegas menjauh dari sana. "Ke mana saja kamu, Aldo? Kenapa lama sekali jika hanya menemui dokter?" tanya Melani begitu Aldo sampai ke kamarnya. "Maaf, Nyonya." Hanya itu yang bisa terucap dari bibir Aldo. Dia segera mengambil barang-barang Melani. "Mari kita pulang, Nyonya. Saya akan membawa barang-barang ini ke mobil," ucapnya seraya melangkah ke luar kamar. Melani, Nafisa, dan Namira mengikuti langkah Aldo. "Bagaimana dengan Desy? Apa dia boleh pulang hari ini?" tanya Melani penasaran. Dia terus mengikuti langkah Aldo hingga mereka sampai di luar r
"Ini ke mana, Nak Aldo? Ibu sangat hafal ini bukan jalan menuju rumah Nak Desy atau Nak Deon. Jadi sebenarnya kamu mau membawa kita ke mana?" Namira merasa kebingungan melihat jalan yang nampak asing baginya. Desy dan Melani saling berpandangan. Mereka hafal jalanan itu adalah jalanan menuju kantor Deon. "Betul juga. Kita mau ke mana?" tanya mereka serempak. "Kalian tenang saja. Ini sebuah kejutan. Sebentar lagi kalian akan melihatnya sendiri." Aldo menjawab dengan santai. Melani mengerutkan kening. Dia tidak mengerti apa yang dibicarakan Aldo. "Kejutan? Kejutan apa?" tanyanya penasaran. Aldo tersenyum tipis. "Maafkan saya, Nyonya. Saya tidak bisa memberitahukan pada Anda," jawabnya pada Melani. "Kamu ini, Melani. Jika sebuah kejutan diberitahukan sebelum waktunya, bukan kejutan lagi dong namanya?" Desy menjitak pelan kepala Melani. "Kau ini apa-apaan, Desy. Kenapa kamu memukulku?" Dia mengusap-usap kepalanya yang tidak terlalu sakit. "Sudahlah, kita menurut saja. Mungkin sopir
Desy berjalan masuk ke dalam butik, diikuti oleh Melani dan Namira. Sementara Aldo berjalan paling akhir dengan menggendong Nafisa. Desy menatap takjub pada interior butik yang serba putih. Butik ini terlihat jauh lebih mewah dari butik sebelumnya. "Melani, kamu beruntung sekali mempunyai suami yang rela memberikan segalanya untukmu," gumamnya. "Apa kalian menyukai butuk ini?" Tiba-tiba suara bariton terdengar dari belakang. Semuanya menoleh dan melihat Deon baru saja memasuki butik. Dia mengambil alih tugas Aldo menggendong Nafisa. Nafisa terbangun saat mendengar suara Deon. Dia mengucek-ngucek mata melihat sekeliling. "Papa! Lagi di mana kita?" tanyanya ingin tahu. "Kamu sudah bangun, Nafisa?" Deon hendak menurunkan Nafisa, tetapi Nafisa memegang erat pundak Deon. Dia masih ingin berada di gendongan papa sambungnya itu. "Kita sedang berada di butik milik mamamu. Apa kamu menyukainya?" Deon menatap lekat Nafisa. Nafisa mengedarkan pandangan ke sekeliling, lalu menganggukkan kepa