Aldo kembali mengetuk pintu ruang inap Desy. Dia harus tahu dengan apa yang dimaksud Evan tadi. 'Bertanggungjawab? Sebenarnya apa yang dibicarakan lelaki psikopat itu?' Dia bertanya-tanya dalam hati. Aldo terus mengetuk pintu, tetapi Evan dan Desy tidak mau membukakan pintunya. "Kak Evan, tolong buka pintunya. Aku ingin berbicara kepadamu." Akhirnya Aldo mengalah dengan merendahkan suaranya dan memanggil Evan dengan sebutan "kakak". "Kamu benar-benar ingin berbicara baik-baik kepadaku?" Tiba-tiba Evan membuka pintunya dan tersenyum kepada Aldo. "Baiklah, mari kita bicara," ujarnya sigap. Aldo hendak masuk ke dalam ruang inap Desy, tetapi Evan menahannya. "Kita bicara di luar saja," ucapnya. "Desy, kamu tunggu di sini. Kakak akan bicara dengan Aldo sebentar." Dia berjalan ke luar menyusuri koridor rumah sakit diikuti Aldo di belakangnya. Desy menatap Aldo dan kakaknya dengan khawatir. Dia sangat paham jika kakaknya memiliki emosi yang tidak stabil. Bagaimana jika
"Tunggu!" teriak Evan menghentikan Aldo yang hendak berjalan meninggalkan kantin rumah sakit. "Apa lagi? Apa kamu berubah pikiran?" Aldo menghentikan langkahnya dan berbalik. Dia berharap Evan berubah pikiran dan mau menjawab pertanyaannya. "Sekarang juga jawablah pertanyaanku. Apa yang kamu maksud dengan mencari laki-laki yang bertanggungjawab untuk Desy? Memangnya apa yang terjadi pada Desy?" tanyanya ingin tahu. Evan tersenyum menyeringai. "Jangan bermimpi! Jika kamu memang benar-benar menginginkan jawaban dariku, maka kamu harus menjalankan syarat yang aku berikan tadi!" "Lalu kenapa kamu memanggil dan menghentikanku saat aku sudah mau pergi?" Aldo berteriak geram dan geregetan. Evan kembali tersenyum. "Aku memanggil dan menghentikanmu karena kamu harus membayar semua ini." Dia menunjuk ke arah meja yang penuh dengan piring dan mangkuk kosong bekas makanan dan minumannya. Dia segera berdiri dan mendahului Aldo pergi dari kantin rumah sakit itu. "Apa? Dia yang makan kenapa aku
"Desy hamil?" Aldo berjalan mondar-mandir di lorong rumah sakit. "Jadi itu maksud Evan? Dia ingin mencari laki-laki yang mau bertanggung jawab dan menjadi ayah dari bayi di kandungan Desy?" Aldo melihat Evan keluar dari kamar rawat Desy. Dia menyembunyikan diri di balik tembok agar Evan tidak melihatnya. Saat memastikan Evan telah meninggalkan kamar Desy, Aldo berjalan pelan masuk ke kamar rawat Desy. "Apa yang kamu lakukan? Kenapa tiba-tiba kamu masuk ke kamarku?" Desy yang sedang berbaring segera berdiri dan berteriak melihat Aldo yang masuk tanpa mengetuk pintu. "Berbaringlah, Desy! Jangan terlalu banyak bergerak. Tetaplah di tempat tidurmu." Aldo membaringkan tubuh Desy kembali. Dia menatap Desy khawatir dan bertanya, "Apa yang kamu rasakan sekarang? Apa kamu baik-baik saja?" "Apa yang kamu katakan? Memangnya aku sakit? Aku baik-baik saja sejak kemarin." Desy menatap Aldo seraya mengerutkan kening tidak mengerti. "Siang ini aku juga akan pulang ke rumah. Jadi kamu tidak perlu
"Maafkan aku, Desy. Siang ini aku harus mengantar Nyonya Melani pulang. Kamu tidak apa-apa, 'kan, jika di sini sebentar? Tenang, aku hanya sebentar saja. Setelah mengantar Nyonya Melani, aku akan segera kembali ke sini." Aldo berkata panjang lebar sambil membuka bungkusan berisi sandwich sayur. Dia memberikan sandwich itu kepada Desy. "Makanlah. Kamu harus makan makanan sehat," lanjutnya. Desy menerima sandwich pemberian Aldo dan segera memakannya dengan lahap. Dia menggeleng-gelengkan kepala. "Tidak bisa! Aku tidak mau sendirian di sini. Aku akan ikut bersama kalian," ujar Desy setelah mengunyah dan menelan gigitan pertama sandwichnya. "Apa? Maksudmu kamu mau ikut aku mengantar Nyonya Melani?" Aldo membuka mata lebar. "Tidak! Tidak." Dia menggeleng-gelengkan kepala. "Kamu harus beristirahat, Desy. Apa kamu tidak mendengarkan perkataan dokter? Dokter menyarankan kamu untuk beristirahat total," ujarnya menjelaskan. "Kapan dokter mengatakan itu?" Desy mengerutkan kening tidak mengerti
"Kamu masih bertanya? Apa kamu pura-pura tidak tahu? Atau kamu sengaja menyembunyikan sesuatu dariku?" Aldo bertanya balik kepada Desy. "Menyembunyikan sesuatu? Kamu ini bicara apa? Aku tidak merasa menyembunyikan apapun darimu." Desy mengerutkan kening tidak mengerti. "Sudahlah, Desy. Berhenti menyembunyikannya dariku. Aku sudah mengetahui semuanya." Aldo tersenyum penuh kemenangan. "Ish! Dasar tidak jelas." Desy mencebik. Dia melangkah hendak menjauh dari Aldo, tetapi Aldo menahannya. "Apa kamu sedang berusaha membohongiku? Jangan coba-coba menutupi sesuatu dariku, Desy. Kamu tidak akan bisa melakukannya," ucap Aldo seraya menatap tajam Desy. "Sekarang kamu menuduhku sebagai pembohong?" Desy melebarkan mata tidak percaya. "Bicaralah dengan jelas! Jika tidak bisa bicara, lebih baik kamu pergi dari sini. Aku tidak pernah berbohong atau menutupi sesuatu darimu." Desy berusaha menepis tangan Aldo, tetapi dia malah tersandung dan terjatuh ke pelukan Aldo. Desy dan Aldo saling bertat
"Hey, aku hanya ingin memperhatikanmu. Apa aku terlihat posesif?" protes Aldo. "Sudah seharusnya aku memperhatikan kesehatanmu. Ayolah, cepat pergi ke kamarmu dan beristirahat. Aku harus segera mengantar Nyonya Melani." Aldo menggandeng tangan Desy menuju ke kamarnya. "Lepaskan tanganku!" Desy menepis tangan Aldo. "Siapa yang mau terus-terusan berada di kamar itu? Aku merasa bosan. Aku mau pulang saja," ucapnya seraya mengerucutkan bibir. "Kenapa kamu keras kepala sekali." Aldo menghembuskan napas panjang. Dia terlihat mulai kesal. "Kalau kamu bosan di dalam kamar, aku akan mengantarkanmu jalan-jalan di taman. Kamu bersabarlah sebentar. Aku antar Nyonya Melani dulu, lalu kita jalan-jalan, oke?" bujuk Aldo kepada Desy. "Sudah kubilang, aku mau pulang sekarang. Kenapa kamu terus memaksaku untuk tetap di sini?" gerutu Desy kesal. Dia juga mulai jengkel dengan tingkah Aldo yang aneh dan tidak seperti biasanya. "Ini demi kesehatanmu, Desy. Aku tidak ingin terjadi sesuatu kepadamu," buj
"Tunggu apa lagi? Pergilah dan bertanya pada dokter. Kamu harus memastikan semuanya," titah Melani pada Aldo. "Baik, Nyonya." Aldo yang sedang bengong mendadak membalikkan badan dan siap melaksanakan perintah Melani. Dia melangkah ke luar kamar. "Tunggu!" teriak Melani menghentikan langkah Aldo. "Ada apa lagi, Nyonya?" Aldo kembali berbalik dan bertanya. "Biarkan Desy ikut bersamamu. Kurasa Desy juga perlu bertemu dengan dokternya," ujar Melani. Dia menatap Desy dengan mengedipkan mata, memberi kode agar Desy segera mengikuti Deon. "Baik, Nyonya." Aldo melirik Desy. "Ayo ikut denganku, Nona Desy," ucapnya. "Dia masih belum benar-benar pulih. Jaga dia. Jangan sampai dia kenapa-kenapa," pesan Melani. Aldo menggandeng Desy dan menuntunnya pelan menuju ke ruangan dokter. "Kamu mengadu pada Nyonya Melani?" tanyanya dengan suara lirih. Meski suara Aldo sangat pelan, Desy bisa mendengarnya dengan sangat jelas. Itu karena jarak mereka sekarang sangat dekat. Aldo seperti sedang berbi
"Apa kamu mengharapkan aku mengungkapkan cinta kepadamu?" Aldo bertanya seraya tersenyum mengejek. "Bilang saja, kamu memang menyukaiku. Aku tahu tanpa kamu mengatakannya kepadaku." Desy berkata penuh percaya diri. "Jadi kamu pikir perhatianku adalah karena aku menyukaimu?" Aldo bertanya, lalu tertawa memperlihatkan deretan giginya yang putih. "Tentu saja. Apa lagi?" Desy mengangkat kedua alisnya. "No no no. Jangan terlalu percaya diri, Nona. Aku bukan bermaksud untuk memberi perhatian kepadamu. Aku hanya peduli dengan calon anakku," ucap Aldo penuh keyakinan. "Calon anakmu?" Desy mengerutkan kening tidak mengerti. "Siapa yang kamu maksud dengan calon anakmu?" tanyanya memastikan. "Tentu saja bayi yang ada di dalam kandunganmu. Siapa lagi?" jawab Aldo. "Aku mengira kamu hamil. Bukankah jika kamu hamil itu artinya bayi itu adalah anakku?" "Kenapa kamu begitu yakin?" Desy menyipitkan mata menatap Aldo. "Apa kamu benar-benar melupakan malam itu?" Aldo mendekatkan wajahnya dan be