“Merebut kekasih sahabat sendiri lalu beralasan itu takdir benar-benar menjijikkan.” “Bukankah dia tidak tahu malu?” “Tidak bisa dipercaya.” “Ya, berikan saja sampah seperti itu padanya.” Yang awalnya hanya berbisik pelan mulai terdengar jelas hingga ke indra pendengaran Andini dan Rhea. Perkataan Rhea ditambah rekan-rekannya sudah tidak bisa membuat Andini mempertahankan sikap tenangnya. Dia menghentakkan tangannya kasar hingga dia mundur sedikit ke belakang. Menatap Rhea dengan marah sejenak, Andini kemudian pergi dengan langkah cepat diiringi seruan cemooh. Apakah Rhea puas? Tidak, belum saatnya dia puas. Hanya karena wanita itu dipermalukan sekali tidaklah bisa mengobati luka di hatinya. Setelah kepergian Andini, beberapa teman kerjanya mengerumuninya hingga membuatnya sesak. Dan bertanya dengan wajah prihatin, “Kau baik-baik saja, Rhea?” “Kau pasti patah hati dan kecewa.” “Aku tidak apa-apa. Itu bukan masalah besar sekarang.” Rhea menjawab berusaha untuk menenangkan merek
Putik Art Centre sudah sepi pengunjung mengingat waktu berkunjung sudah berakhir 1 jam yang lalu. Rhea yang selesai mengurus seluruh lukisan di galeri mulai mengambil tasnya. Dari jauh, Rhea melihat Andini tengah berdiri di halaman depan Art Centre. Dia berhenti melangkah. Memejamkan matanya sebentar, menarik napas dalam, Rhea melanjutkan langkahnya. Mungkin karena mendengar suara hak sepatu, Andini segera menoleh. “Rhe.” Berhenti sebaris dengan Andini namun memiliki jarak yang cukup renggang, Rhea tidak menjawab dan hanya membuka aplikasi layanan transportasi dari ponselnya. Berpikir jika Rhea tidak mendengarnya, Andini menyapanya sekali lagi. Dan kali ini Rhea hanya meliriknya dari ekor matanya sebelum kembali fokus pada ponsel. “Aku memanggilmu sebelumnya. Apa yang menyita perhatianmu?” Andini mendekat dengan sikap akrab dan melihat ponsel Rhea. Setelah melihat apa yang Rhea lakukan, dia tertawa dalam hati. “Karena kalian sudah berpisah, kamu jadi menggunakan taksi. Aku pikir
“Kau tidak mengatakan dengan rinci tentang keluargamu.” Rhea membuka suara setelah Albar mengemudi.“Maksudmu tentang Naomi? Kalian bekerja di satu tempat yang sama. Aku pikir dia akan mengatakannya lebih dulu.”“Ya, dia melakukannya.” Rhea menanggapi dengan datar. “Dan aku terlihat seperti orang bodoh saat mengetahui itu darinya.”Maven meliriknya. “… Maaf. Aku tidak punya banyak waktu untuk mengenalkan keluarga Williams secara lengkap.” Yah, pria ini tidak bisa disalahkan juga. Mereka menikah terburu-buru dan banyak yang harus mereka urus untuk sebuah pernikahan 'sederhana'.“Tapi setelah ini, aku akan menjelaskannya agar kamu tidak terlalu kaget.”Rhea menatap Maven datar. Oh sungguh? Dia sudah mendengarnya dari Naomi dan juga sudah kaget.Melihat tatapan Rhea, Maven bergumam, “Jadi, Naomi sudah mengatakannya, ya …. Tapi aku pikir itu tidak lengkap. Aku akan menambahkannya nanti. Lalu, aku tidak tahu kau akan kembali bekerja hari ini. Pelayan di rumah Kakek mengatakannya ketika ak
“Ah!” Desahan dan erangan terus keluar dari bibir manis Rhea tiap kali Maven mendorong pinggulnya. Maven memperhatikan wanita yang membungkuk di atas tempat tidur dengan lututnya tanpa berkedip. Sebelumnya Rhea masih kuat menahan tubuhnya sendiri dengan tangannya. Namun lama-kelamaan setengah tubuhnya hingga wajah sudah menempel ke kasur. Dengan wajah Rhea yang menoleh ke samping, Maven bisa melihat fitur wajah Rhea walau ruangan cukup gelap. Matanya yang basah diliputi kesenangan. Rambut panjangnya menyebar berantakan di kasur tampak liar dan menampakkan punggung telanjangnya yang awalnya bersih kini penuh dengan tanda cinta darinya. Pelipisnya sudah berkeringat dengan bibir setengah terbuka. Dan tangan ringkihnya mencengkram erat seprai. Godaan seperti itu mana mungkin tidak membuat Maven menjadi lebih bersemangat? Hasratnya berkobar hebat. Dengan posisi membelakangi dan tetap menahan pinggang wanita itu agar tidak jatuh, gerakannya menjadi lebih kasar dan cepat.“Oh Lord.” Lagi,
Bunyi dentingan sendok saling bersahutan pelan. Di ruang makan, baik Rhea maupun Maven makan dalam diam. Sambil menguyah sesekali Rhea akan melirik Maven yang duduk di depannya.Maven lebih tenang dari yang Rhea bayangkan. Jika mereka makan seperti ini, tampak jelas kesenjangan di antara mereka seakan mereka tidak memiliki hubungan apapun. Tapi kenapa ketika mereka bersatu di tempat tidur, Maven sangat berbeda? Pria itu tampak aktif dan … bersemangat. Apakah itu tindakan alami para pria?“Katakan saja jika ada yang perlu kamu katakan.”Menangkap basah dia, Rhea sontak saja kaget. Padahal pria itu tidak menatap Rhea sama sekali. Apa dia memiliki mata di dahinya?“Aku pikir kamu tidak suka berbicara ketika makan.”“Aku tidak pernah mengatakan itu.” “Aku … tidak ingin kamu membuat tanda di leherku.”Maven melirik Rhea tanpa menggerakkan kepalanya.Tidak menatap Maven karena malu, Rhea menambahkan, “Di sana susah hilang. Dan aku tidak punya waktu untuk menutupinya.”“Padahal itu area s
“Kamu ingat hari itu? Hari pertama kita bertemu di kampus. Kamu tersenyum lebar dan banyak wanita yang mengelilingimu.” Enzo merapikan rambut Rhea yang berantakan karena angin laut. “Saat itu aku menyadari aku jatuh cinta padamu pada pandangan pertama ketika melihat senyuman indahmu.” Gombalan itu membuat Rhea tertawa. Enzo menggenggam tangannya kemudian. “Aku serius. Kamu sangat bersinar.” “Ya, aku tahu.” “Apa aku sudah mengatakan itu?” “Sering kali.” Rhea menatapnya dengan tawa geli. Enzo menyeringai. “Aku akan mengatakannya berulang kali.” Tunggu … kenapa kenangan lama muncul? “… Kamu pikir aku akan menikahi wanita dari keluarga yang sudah tidak memiliki apa-apa lagi?” Enzo menatapnya di dalam kamar pria itu. “Aku akan mengaku, aku dan Andini sudah menjalin hubungan diiam-diam di belakangmu. Dan rencananya kami sepakat akan mengumumkan hubungan kami padamu besok. Aku tahu, kamu pasti bingung sekarang, tapi aku sudah selesai denganmu, Rhe. Aku mulai menyadari bahwa di mataku,
Mobil yang dikendarai Maven melaju di jalan yang sepi. Dia menoleh ke samping di mana Rhea memiringkan kepalanya menghadap ke kaca mobil dengan mata terpejam dan tersenyum. Kembali menatap ke depan, Maven berujar, “Aku pikir kamu akan merasa sangat senang setelah dari acara itu.” “Aku sedang tersenyum.” Maven tidak menanggapi membuat Rhea membuka matanya. Kemudian membuang napas perlahan. “Apakah terlihat jelas di wajahku?” “Tidak juga. Tapi sesuatu mengganggumu, benar?” Rhea terdiam. Dia kembali mengingat permintaan maaf Enzo sebelumnya dan hampir saja memaafkannya. Ketika dia menebak asal maksud permintaan maaf tersebut yang ternyata benar, Rhea kembali mengeraskan hatinya. Rhea sungguh tidak habis pikir dengan pria itu. Menjawab pertanyaan Maven, Rhea hanya bergumam pelan. “Aku pikir kau akan puas dengan hasilnya.” “Aku senang dengan hasilnya. Tapi terlalu berlebihan jika aku puas terlalu dini. Namun,” Kembali menatap ke luar jendela mobil, Rhea kembali tersenyum. “Aku bisa
Di dalam lift bersama dua direktur induk, Enzo menatap pintu lift dengan sabar. Lift tersebut sedang membawa mereka ke lantai atas kantor. Sambil menunggu, dia mendengar pembicaraan dua orang tersebut yang berdiri di sebelahnya. “… Aku melihat proposalnya. Perusahaan finansial itu dalam kondisi yang bagus. Cuma, memang beberapa minggu ini nilai sahamnya turun karena kesehatan pemiliknya. Aku dengar adiknya ingin mengambil alih maka jadi perebutan di sana dengan direksinya.” “Pantas saja Pak Maven ingin mengakuisisinya. Ngomong-ngomong kau sudah membeli saham di sana?” "Tentu saja. Sahamnya turun drastis, itu kesempatanku membelinya." Temannya mengeluarkan ponsel sambil berdecak. "Jangan bilang sekarang sudah naik." "Tenang saja, menurut perkiraanku jika sudah melewati formalitas dan mengumumkannya ke publik, saat itulah nilainya akan kembali dan lebih tinggi." "Aku harus membelinya juga kalau begitu." Pembicaraan yang sudah sering dia dengar seperti itu hanya masuk dan keluar be