"Sshhhttt... Pejamkan kedua mata, tidurlah putriku Sayang." Senandung kecil nyanyian di bibir Dalena terhenti begitu Raccel kembali terlelap dalam pelukannya.Raccel akan terbangun dan menangis bisa dibaringkan di atas ranjang. Hingga berjam-jam lamanya Dalena menggendong anak itu. "Duduklah, kau pasti lelah berdiri," kata Damien membujuk Dalena. "Tidak papa Tuan, nanti Raccel bangun kalau saya duduk." Dalena menggelengkan kepalanya. "Duduk Dalena!" Damien menarik lengan kecil Dalena dan membantunya duduk. Laki-laki itu memberikan posisi duduk yang nyaman untuk Dalena agar bisa bersandar. Sungguh ia menghormati bagaimana kerasnya Dalena menenangkan tangisan Raccel yang hebat seperti badai. Damien duduk di samping Dalena memperhatikan wajah lucu putri mereka yang tengah tertidur. "Raccel sangat cantik Tuan," ucap Dalena mengelus gemas ujung hidung Raccel. "Ya. Dia memiliki mata sepertiku, tapi raut wajahnya mungkin secantik Mamanya." Damien merangkul pundak Dalena tiba-tiba unt
"Tuan Damien sedang apa di sini?!" Dalena berjalan mendekati laki-laki itu dengan wajah penuh keterkejutan. Tatapan mata Dalena menajam dan gemetar terasa sampai napasnya terengah. Tidak! Laki-laki ini tidak boleh menemukan Cassel. Kalau sampai dia tahu tentang Cassel dan Dalena, kemungkinan besar yang akan terjadi, Damien akan mengambil Cassel. Perlahan Damien beranjak dari duduknya dan berdiri dengan menyembunyikan kedua telapak tangan di dalam saku celana bahan hitam yang dia pakai. "Harusnya aku yang bertanya padamu, sedang apa kau di sini? Bukannya kau berpamitan pulang?" Damien menaikkan salah satu alisnya. "Sa-saya... Saya menjenguk keponakan saya yang sedang sakit!" alibi Dalena dengan wajah berkeringat. Sorot mata Damien dipenuhi aura tak percaya. Namun karena wanita di hadapannya ini juga terlihat keras kepala, mau tidak mau Damien mengangguk. "Oh, begitu ya..." "Tu-Tuan sendiri sedang apa di sini? Tuan Damien mengikuti saya?!" pekik Delana mencekal lengan Damien den
Cassel dibawa masuk ke dalam ruangannya oleh Melinda. Di dalam sana Dalena masih duduk lemas dengan tubuh gemetar hebat, ia menangis tanpa suara menutupi wajahnya. Bagaimana Dalena tidak terkejut, begitu dia kembali mengambil air, dirinya melihat Cassel bersama Damien dan dengan asiknya mereka mengobrol. Untunglah ada Melinda yang Dalena minta pertolongan mengambil Cassel. "Dalena," panggil Maelinda. Saat itu juga Dalena berdiri dan langsung memeluk Cassel dengan erat. Anak itu hanya diam kebingungan. "Mami kenapa menangis?" tanya Cassel menatap wajah Dalena lekat-lekat. Dalena mendudukkan Cassel di atas brankar dan ia duduk di bawah putranya dengan tatapan hangat ia mengusap wajah Cassel. "Cassel tadi sama siapa?" tanya Dalena mencekal hangat lengan sang putra. "Sama Om Papi, Mami," jawab anak itu. Air mata Dalena menetes lagi. "Cassel jangan dekat-dekat dengan Om tadi ya, Sayang. Jangan..." "Tapi Om Papi itu baik, Mi. Cassel dibelikan mainan, camilan, dan Cassel juga-""Mam
Dalena berdiri di depan jendela kamar Raccel, ia menatap pemandangan siang hari di mana hujan kembali turun. Di benak Dalena terekam jelas ucapan Damien saat tadi bersama Mamanya, dengan tatapan mata yang tertuju padanya, seolah dia memberi peringatan pada Dalena. Ini sangat menakutkan. "Apa jangan-jangan dia tahu siapa aku sebenarnya?" Dalena berucap. Dadanya terasa bergemuruh hebat. "Apa yang harus kulakukan?" Wanita itu menundukkan kepalanya dan mengusap wajahnya frustrasi.Pintu kamar Raccel terbuka, nampak Damien masuk ke dalam kamar itu. Dia memperhatikan Dalena yang berdiri memasang ekspresi was-was padanya. Damien menoleh tanpa berucap dan mendekati Raccel yang tertidur di atas ranjang. "Raccel menangis?" tanya Damien. "Tidak Tuan, dia hanya tidak mau menemui Oma-nya.""Baguslah..." Damien mengecup pipi Raccel, sebelum kembali berdiri menegakkan tubuhnya dan berjalan mendekati Dalena yang masih bergeming di dekat jendela. Sorot tajam mata Damien jauh memandang pemanda
Keesokan harinya, Cassel hari ini sudah kembali bersekolah. Cassel berada di dalam kelasnya, ia sibuk mewarnai buku-buku gambar miliknya. Cassel duduk paling belakang dan juga sendirian. Dia tidak bisa dengan mudah akrab pada semua teman-teman di kelasnya yang sangat banyak. "Selamat pagi anak-anak, ayo... Ayo lihat ke sini!" Suara Madam Vivie membuat Cassel menghentikan kegiatannya. Anak itu menatap ke depan sana dan Cassel terkejut melihat laki-laki yang ia panggil 'Om Papi' berada di sana bersama anak perempuannya. "Om Papi!" Cassel langsung berdiri dari duduknya. Laki-laki berbalut tuxedo hitam itu langsung menatap Cassel dengan tatapan terkejut. "Cassel..." Dia tersenyum melambaikan tangannya. Cassel tersebut hangat membalas lambaian tangan Damien. Sementara anak perempuan di dalam gendongan laki-laki itu terlihat menangis sesenggukan memeluk botol Minumnya. "Anak-anak, sekarang kalian kedatangan teman baru. Namanya Raccel... Ayo Sayang, tidak boleh menangis," ujar Madam
"Memanggil Papi?" Damien bergeming menatap dalam-dalam Cassel yang kini mengatupkan bibirnya sembari mengangguk. "Iya. Papinya Cassel, tapi kalau tidak ada siapa-siapa. Boleh kan?" Cassel memberikan tatapan yang begitu dalam. "Tentu saja boleh," jawab Damien cepat. Pancaran wajah bahagia terlukis di raut wajah Cassel. Dia berjinjit mengulurkan kedua tangannya. "Minta peluk, boleh?" pintanya dengan tulus. "Kemarilah..." Damien menerima uluran kedua tangan Cassel dan memeluknya dengan erat. Menggendong tubuh mungil anak itu dalam dekapan eratnya. Jemari mungil Cassel meremas punggung Damien, dia menyembunyikan wajahnya dalam pundak Damien dengan perasaan sedih, bahagia, dan rindu. "Enak rasanya dipeluk Papi," bisik Cassel rendah. Suara lucunya membuat dada Damien terasa nyeri. Ia mengusap punggung mungil Cassel berkala dan nyaman. "Papimu memangnya ke mana, Cassel?" gumam lirih Damien. "Cassel tidak tahu. Cassel cuma sama Mami saja, Mami bilang Mami juga tidak punya keluarga
"Huwaa Raccel masih mau main sama Cassel! Hihhh Daddy nakal! Katanya mau culik Cassel! Nakalll...!" Raccel membanting keras-keras tas pink-nya di lantai teras depan sambil menangis berteriak marah-marah. Anak perempuan itu berbaring di lantai teras dengan kaki menghentak-hentak dan berteriak sekeras-kerasnya. Beginilah Raccel bila sudah tantrum. "Princess, dengarkan Daddy sebentar Sayang... Cassel pulang sama Om-nya. Cassel kan juga harus istirahat juga seperti Raccel," bujuk Damien dengan sabar. "Daddy bohong! Daddy nakal! Daddy tidak sayang Raccel lagi! Daddy benci sama Raccel! Raccel marah sekali!" teriak anak itu terus mencerocos. Raccel bangun dari duduknya dan meninju Damien dengan kepalan tangan mungilnya. Bahkan Raccel melepaskan sepatunya dan melemparkan ke sembarang arah, dia menjambak ikatan rambutnya hingga berantakan tanpa berhenti berteriak menangis. "Huwaa... Cassel! Mau main sama Cassel, ayo culik Cassel Paman, ayo cepat! Paman Thom ayo! Aaaaaa...!" Raccel mena
"Tidak... Tidak... Aku tidak punya, Tuan!" Dalena menggeleng-gelengkan kepalanya dan menunduk takut di hadapan Damien. "Dalena," lirih Damien semakin memangkas jarak dengannya. Wanita itu mengangkat wajah menahan tangisnya. "Tuan Damien saya mohon," lirih Dalena pilu. "Gambaran siapa yang ada di dalam tasmu?" tanya Damien lagi dan kali ini sangat pelan. "I-itu... Itu-""Temukan aku dengan keluargamu!" seru Damien mundur perlahan. Bergetar hebat tubuh Dalena saat ini. Ia teramat takut sekedar menatap raut wajah Damien di hadapannya. Sorot mata tajam Damien teralih pada rumah milik Dalena, tanpa perintah siapapun tiba-tiba Damien melenggang masuk ke dalam pekarangan rumah Dalena. Kedua mata Dalena melebar melihat Damien hendak berjalan masuk ke dalam rumahnya. "Tuan! Tuan Damien, tunggu!" teriak Dalena mengejarnya. Dalena tergopoh-gopoh, Damien tak menghentikan langkah lebarnya hingga sampai tiba saatnya tubuh Damien tersentak, Dalena memeluknya dari belakang dengan erat.