“Kami tidak terlibat dalam one night stand, dia sudah berada di sini cukup lama. Jauh lebih lama,” jawab Damian dengan tenang, dia sebenarnya tidak begitu terganggu dnegan pandangan ayahnya.
Sementara Hendry menghela nafasnya dan menatapi Selena yang terlihat tegang. Dia memperhatikan sikap Damian pada Selena juga. Putranya sepertinya tidak tertarik untuk menenangkan Selena sama sekali.Latar belakang Selena yang memang bisa disebut tidak jelas akan sangat mempengaruhi reputasi dari keluarga Sagaras juga tentunya. Jika Damian bisa mendapatkan wanita yang setidaknya dikenal oleh kalangan orang-orang seperti mereka, meski tidak punya kekuatan, itu akan lebih baik.“Dia hanya menyandang nama Raguano. Hey, kau tahu siapa ayahmu itu?” Hendry menatap Selena dengan tatapan penasaran, nama belakang Selena sepertinya cukup mempengaruhinya terlwpas dari asal usul Selena itu sendiri.Selena mengangkat sedikit wajahnya dan menggelengkan kepalanya. Dia melMelihat Selena yang langsung pergi begitu saja membuat Damian sepertinya cukup dikejutkan dengan tindakan Selena. Perkataan ayahnya berhasil mempengaruhi Selena sepenuhnya. “Aku belum mengambil keputusan bukan berarti aku akan melenyapkan anak itu begitu saja. Bukankah Ayah yang memintaku untuk segera menikah dan punya penerus? Aku sudah mendapatkan calonnya tanpa perlu bersusah payah.”Andai saja perkataan itu keluar sebelum Selena pergi, Selena tidak perlu merasakan rasa sakit di dadanya yang cukup dalam. Sayangnya, Selena tak mendengar ucapan pembelaan itu keluar dari mulut Damian. Damian mendecak pelan dan melirik Luca yang mengerutkan dahinya. Luca pun dibuat bingung oleh Damian. Tak salah jika Selena juga selalu bingung dengan sikap Damian yang seperti labil padanya. Hendry sendiri tak membalasnya untuk beberapa saat, hanya menatap Damian balik dengan rasa bingung melihat perubahan Damian. Damian dari tadi tutup mulut, sepertinya memang h
Damian menghela nafasnya saat melihat Selena yang sepertinya berusaha untuk menstabilkan emosinya dengan membaca buku. Pria itu hanya berdiri di pintu, sambil menyilangkan tangannya. Selena melirik Damian dan kembali menatap bukunya. Dia menghela nafas dengan sedikit gemetar. Dia tak tahu apa yang dilakukan Damian di sana. Tapi, rasanya sangat mengganggu melihat Damian berada di sana cukup lama, dan mengawasinya juga. Dia hanya ingin sendirian saat itu. “Kau harus benar-benar memulangkanku setelahnya,” ucap Selena tanpa melihat ke arah Damian. “Setelah apa? Kenapa aku harus memulangkanmu?” Damian tak bergerak dari tempatnya. “Setelah semuanya selesai. Ayahmu yang menyuruhmu, kan. Pulangkan aku setelah menyelesaikan semuanya,” jawab Selena, dia benar-benar terdengar gemetar saat itu. “Tidak akan.” Damian mengangkat bahunya, ekspresinya masih monoton memperhatikan Selena. Selena menghela nafasnya lagi dan menutup bukunya, lal
“Jadi, keputusanmu adalah... kita akan bersama?” tanya Selena. Selena masih ingin mendengar semua kejelasan itu dari Damian. Dia menatap Damian dari tempat tidur Damian, memeluk bantal sambil terus menatapi Damian yang bertelanjang dada.“Bukankah itu sudah jelas? Kenapa kau terus bertanya?!” balas Damian terlihat sedikit kesal. “Kau tidak mengatakannya dengan jelas. Kau hanya bilang jika aku tidak diizinkan untuk menggugurkan bayinya, tanpa memberitahu lebih lanjut bagaimana hubungan kita ke depannya,” timpal Selena sambil terus memperhatikan tubuh Damian yang indah saat Damian sendiri kelihatannya sibuk dengan ponselnya sendiri saat itu. “Menurutmu, aku akan mempertahankan bayi itu tanpa ibunya?!” Damian mendecak frustasi. “Kau harus bicara dengan jelas. Karena kunci hubungan yang baik itu adalah komunikasi yang baik, selain baik harus jelas juga. Kau selalu bersikap abu-abu,” balas Selena. Damian menatap Selena, Selena ja
Benar, Selena tak punya apa pun untuk diberikan ada Damian. Dia datang pada Damian—lebih tepatnya dipaksa hadir di kehidupan Damian tanpa perbekalan apa pun. “Aku sudah punya segalanya, jadi kau tidak perlu memberikanku apa pun,” balas Damian.“Kau memang benar, tapi...” Selena hendak mengatakan sesuatu, sebelum dia menyadari apa yang dikatakan Damian adalah sesuatu yang ingin dia dengar. “Apa maksudmu, kau mau bersamaku?” Damian menghela nafasnya. Bersama Selena, dia harus menjelaskan semuanya. Selena selalu membutuhkan kejelasan sementara dia tak ingin menjelaskan semuanya dan berharap Selena mengerti dengan sendirinya. Namun, sepertinya dia harus terbiasa dengan Selena. Ditatapnya sosok Selena yang matanya terlihat berbinar, dia sepertinya sangat senang dengan apa yang dia dengar barusan. Itu membuat Damian hanya bisa tersenyum tipis dan menaruh tangannya di puncak kepala Selena dan bangkit dari tempat tidurnya.“Aku akan mandi dulu.” Selena menatapi punggung Damian diam-diam.
“Aku sungguh-sungguh. Tuan Hendry sendiri yang mengatakannya. Kau tahu betapa gagahnya dia sangat meminta tolong padaku untuk menjaga calon cucunya? Aku benar-benar terkesan.” Luca berbicara dengan sangat meyakinkan pada rekan-rekannya itu. Mereka yang mendengarnya terlihat terkesan juga dan sepertinya mereka akan lebih mulai berhati-hati pada Selena, dalam artian untuk menjaga calon bayi yang dikandungnya, yang kelak akan menjadi putra atau putri Damian. “Aku benar-benar penasaran, yang lahir akan laki-laki atau perempuan. Jika perempuan, sepertinya akan ada yang berikutnya. Jika laki-laki, mungkin dia akan menjadi satu-satunya hingga dia tumbuh dan meminta adik dengan sendirinya.” Salah satu dari mereka tertawa. “Itu benar. Biasanya selalu begitu.” “Tidak peduli yang ini akan terlahir laki-laki atau perempuan, tapi kita hanya perlu memastikan keamanan dan kenyamanan Nona Selena,” kata Luca dengan lebih serius. “Tapi, bagaimana deng
Damian memegangi keningnya, sekarang kepalanya juga terasa sakit. Hari ini dia sama sekali tidak bisa beraktivitas. Kondisi tubuhnya memburuk setelah dia tertular morning sickness Selena. Perasaan ingin muntah masih ada di dadanya, namun dia benar-benar tidak mau mengeluarkannya. “Jika kau menahannya terus, tubuhmu tidak akan terasa baik sama sekali,” ujar Luca. Selena terkikis geli saat dia menempelkan plester penurun demam karena suhu tubuh Damian meningkat. Dia dalam keadaan baik-baik saja, dan merasa lebih baik saat Damian justru merasa tidak baik. Ini pertama kalinya Selena melihat Damian sakit, di mana dia terlihat sangat tak berdaya. “Aku benci mengeluarkannya. Jika aku mengeluarkannya, itu tidak akan satu kali. Akan ada beberapa gelombang lagi. Kemudian, jeda beberapa menit, gelombang itu akan datang lagi. Aku benci perasaan itu.” Damian terbaring di kasurnya, lebih pucat karena dia tak mau memakan apa pun. “Ya, memang itu yang umumnya
“Selena tidak dibesarkan ibunya. Aku menemukan namanya di daftar panti asuhan.” Pria muda yang melayani Derek menyerahkan tabnya. Di mana dia telah mengumpulkan semua yang dia bisa mengenai Selena. Beberapa informasi yang dia dapatkan terlihat sangat berguna bagi Derek. Apa lagi ketika Derek menerima tab itu dan melihat sosok Selena kecil di antara beberapa anak panti lainnya. Yang mana membuatnya sedikit terenyuh begitu melihatnya. “Panti asuhan, ya?” gumam Derek sambil memperbesar foto di bagian Selena. Pria muda itu sudah memperbaiki kualitas fotonya, yang memungkinkan saat diperbesar, itu tidak akan begitu buram. Dan terbukti dengan Derek yang sekarang menghela nafasnya panjang, karena bisa melihat Selena kecil dengan jelas, yang cukup mirip dengan putrinya saat masih kecil juga. “Dia sepertinya baru saja menangis saat itu.” Derek menatapnya penuh iba. “Foto itu diambil setelah sekitar seminggu nama Selena masuk ke panti asuhan.
Alice Raguano tertawa mendengar ucapan dari wanita yang bersikeras untuk menemuinya dengan iming-iming membawa sebuah informasi besar. Dia tertawa dengan geli mendengarkannya. “Siapa lagi yang akan menggunakan nama Raguano selain anggota keluarga kami?” balasnya sambil tertawa pelan dengan geli, walau terlintas kegelisahan di dalam hatinya sesaat.Sementara si kepala pelayan saat itu mengeluarkan sesuatu dari tasnya dan memberikan sebuah foto. Sebuah foto lama Selena yang diambil ketika Damian sedang menguntitnya sebelum akhirnya menculiknya. Foto yang cukup untuk menggambarkan jawaban dari pertanyaan Alice barusan. Alice masih tersenyum sebelum melihat dengan jelas foto itu. Dia menerimanya dengan santai dan memperhatikan foto itu. Wajahnya belum berubah sama sekali saat menatapi foto tersebut. “Ya ampun, apa ini?” Alice menatapi foto itu cukup lama, keningnya berkerut saat dia merasa familier dengan foto tersebut. Kemudian, Alice me